Solo Travelling to Bali: What I Learn

1:29:00 am

Buat gw, pantai dan suara ombak adalah obat/terapi. Nah, jika sudah waktunya mengambil dosis berarti ini saatnya bertualang! Waktu solo travelling ke Bali kemarin, ini yang gw pelajari:


1. Travelling adalah cara paling bener untuk belajar geografi.

Apa nama bandar udara di Propinsi Bali?

Jaman sekolah dulu, susah bener buat kita menjawab pertanyaan ini, secara nama bandaranya diambil dari seorang pahlawan, dan kebetulan nama beliau lumayan panjang. Udah lah, daripada ribet mendingan langsung cuss ke TKP. Sesampainya di sana lo pasti dengan sendirinya akan SELALU ingat: Bandara I Gusti Ngurah Rai, ya itulah jawabannya.

Bule aja ngerti 'subak'.

Sistem irigasi ‘subak’ yang seringkali dibahas pas pelajaran IPS pasti sekedar nyantol di otak lo 10 menit sebelum ulangan, kan? Ngaku ajah! Tapi bakal lain ceritanya kalau lo berkunjung ke Jatiluwih Rice Fields, menyaksikan sendiri terasering nan mempesona, sambil denger penjelasan tour guide soal subak. Lo nggak perlu menghafal apa definisi subak; setelah berwisata ke tempat ini lo malah sanggup menjelaskannya ke orang lain!


2. Ini backpacker, bukan liburan ala Syahrini!

Pergi berwisata dengan sekumpulan orang (rombongan) akan membuat lo menjadi wisatawan yang kurang tegar. Kemungkinan lo akan nurut-nurut doang sama temen-temen lo waktu diajak ke sana ke mari. Apalagi, kalau kalian nyewa tour guide. Udah deh, lo duduk manis di mobil dan bobo cantik sambil makan kacang disco (emang bisa yah makan sambil tidur?? Anggap aja bisa!) dan kemudian.. tara! Tau-tau nyampe di tujuan deh. Nggak perlu nyetir, nggak perlu ngafalin jalan. Nggak perlu mikir.

Menurut gw liburan semacam itu kurang menantang. Sekali-kali coba go show sendiri. Solo travelling akan memacu sel neuron, persendian, serta hormon-hormon lo untuk bersatu-padu: mulai dari membuat itinerary, mengobok-ngobok Google Maps atau nyontek blog-blog untuk menemukan tempat wisata yang layak dijajal, dan bertahan hidup ketika berada di tempat asing (bahkan di tengah kawasan kayak hutan, kalau malem nggak ada penerangan, warung-warung nggak pernah didirikan, sinyal smartphone sekarat, dan tiba-tiba hujan deras datang. Bedeuuh.. di momen itu lo cuman bisa curhat dan berteriak meminta tolong kepada Tuhan!~)

Lima-belas tahun lalu bom meledak di sini. 

Solo travelling bukan buat keren-kerenan. Kalau lo merasa butuh piknik dan punya anggaran (serta jatah cuti) yaa silakan di-eksekusi. Pernah nggak sih, lo dan kawan-kawan (di group WhatsApp misalnya) bikin perencanaan mau berkunjung ke negeri A atau pulau B atau planet C tapi itu semua hanya WACANA (padahal udah cari-cari promo tiket pesawat, udah ngecengin objek-objek kece... dan semua percakapan itu berlalu begitu saja bak angin mamiri, dikarenakan kurangnya NIAT dan KOORDINASI di antara para member group). Yaudah deh, apa boleh buat, daripada nunggu-nunggu kapan perjalanan akan dimulai, lebih baik lo sendiri yang jalanin.


Makan siang di sini: kenyang perut, kenyang mata.


3. Pilihlah sendiri; jangan membuat keputusan berdasarkan omongan orang.

Banyak tujuan wisata di Bali yang populer dan kerapkali dipamerkan di brosur, spanduk, flyer, dan majalah. Sebagai contoh: Pantai Sanur atau Pura Uluwatu. Terima semuanya sebagai referensi, tapi jangan sebagai pengendali. Kalau lo nggak suka wisata budaya dan lebih demen alam, kenapa mesti paksain berkunjung ke pura? Dan kalau lo lebih suka tenangnya Pantai Canggu dibanding Sanur, kenapa juga lo mesti ke sana?

Yeah, kan belum afdol ke Bali kalau belum ke Sanur dan Uluwatu?!

Ah siapa bilang? Memangnya orang yang ngomong hal itu bakal bayarin ongkos lo? Memangnya dia bakal anter jemput lo ke sana? Nggak, kan! Jadi, abaikan apa kata orang. Ini liburan lo, ini duit lo, ini waktu lo, ini tenaga lo. Pastikan lo udah memilih mana yang mau lo kunjungi. Sebelum cuss ke suatu objek, lakukan riset (gw biasanya menggunakan informasi para Local Guides di Google Maps). Kalau ternyata lo tiba di suatu tempat dan tempat itu nggak sesuai ekspektasi lo, lo nggak akan menyalahkan siapapun. Lo akan anggap itu sebagai pengalaman pribadi (dan lo juga akan mengerti bahwa objek-objek tertentu mungkin menarik bagi orang lain, tetapi tidak bagi diri lo sendiri. Demikian juga sebaliknya. Dan ini hal yang wajar; hanya soal selera).

Sore di Panglipuran Village

Gw kurang merekomendasikan majalah-majalah pariwisata Bali versi marketing karena pandangan di media tersebut adalah dari pihak pengelola resmi. Paragraf pertama sampai akhir cuma akan memuat hal-hal positif. Sementara kalau lo pantau Google Maps, duh... semua kekurangan bahkan aib tersembunyi tentang objek wisata tertentu akan terungkap! Terlebih lagi, komentar di Google Maps adalah hasil pengamatan para turis yang sudah berkunjung langsung. Menurut saya, ini lebih objektif dan jujur.


4. Apa yang menarik bagi jiwa versus apa yang menarik jumlah likes di Instagram.

Salah satu dosa besar dalam berwisata adalah menjadi fotografer dadakan dengan kamera handphone ala kadarnya serta dengan hasil foto yang sungguh nista. Lo perlu mengistirahatkan tangan lo dari memegang gadget dan mulai memperhatikan manusia! Lo nggak perlu SKSD ngajak ngobrol mereka kalau lo emang malu atau enggan, tapi setidaknya lo dengerin deh cara mereka bicara, apa yang mereka kerjakan, dekorasi rumah mereka, cara mereka berpakaian, dsb. Temukan apa keunikannya—apa yang berbeda antara lo dan dia.


Nge-babi di Souvlaki


Solo travelling akan secara drastis mengurangi pemakaian smartphone, karena nggak akan ada orang yang berseru: “Eh selfie yuk selfie!” atau ocehan klasik seperti: “Tolong fotoin gw dong, latarnya pohon ini ya!”

Dengan solo travelling lo bisa lebih fokus mencari sudut-sudut kece yang emang LAYAK buat direkam lewat lensa, daripada sekedar foto massal di depan Tanah Lot. Selain itu, dalam upaya menghemat baterai smartphone lo juga akan dengan sengaja meminimalisir penggunaan kamera.

 Pemandangan yang kayak di kartu pos - kartu pos. Hanya 2 jam dari Kuta. 

Solo travelling juga membantu lo memiliki me-time yang lebih banyak: membaca buku di pinggir pantai diiringi sound effect debur ombak, tidur-tiduran beralaskan hamparan pasir sambil menudungi kepala dengan topi bambu, bertelanjang kaki di atas pasir hangat sambil berjalan di sepanjang bibir pantai (sst, aktivitas ini ampuh meluruhkan sel kulit mati di telapak kakimu, loh!), bersepeda di kala fajar dan menantikan sunrise di ujung cakrawala, mendengarkan instrumen jazz bossa nova sambil menyeruput air kelapa muda langsung dari batoknya... ahh indahnya hidup ini. Paradise on earth!

5. Lo sekarang hidup di jaman yang serba mudah, masa’ susah sedikit lo langsung nyerah?

Perhatiin baik-baik apa yang bisa dilakukan smartphone di jaman sekarang. Google Maps menggantikan peta ukuran 2x1 meter yang mesti dilipet-lepet sampai lecek. Traveloka dan Tiket.com membuat lo bisa membanding-bandingkan harga pesawat dan mencari yang termurah, bahkan kalau beruntung lo bisa dapet diskon. Airbnb dan Airy Rooms membantu lo mencari kamar super hemat dengan fasilitas yang nggak kalah nikmat (oh iya, penginapan kemaren gw dapet dari Pegipegi dengan harga miring: diskon 50 persen dari harga asli! Gw booking penginapan itu 3 bulan sebelumnya, dan kebetulan waktu itu Pegipegi sedang ngadain promo tersebut. Bukan tipu-tipu.)

Dalam 3-5 tahun semua berubah drastis. Dulunya transportasi di Bali mengandalkan taksi dan ojek (konvensional), atau rental kendaraan plus sopirnya. Yah, tentunya dengan menguras kocek yang tidak sedikit! Angkot dan becak nggak tersedia di Bali (ada andong, sih). Tetapi sejak Grab, Gojek, dan Uber hadir, para wisatawan kere menemukan penyelamat hidup. Nggak ada lagi cerita dipaksa-paksa oleh sopir setempat. Nggak ada lagi cerita tawar-menawar tarif yang di luar logika. Dengan app transportasi, harga sudah mengacu pada sistem, dan layanan mereka hadir 24 jam. Makin betah deh muter-muterin Bali!

Udah mirip bule belom?

Kalau ingin lebih hemat, rental motor aja. Dengan tarif 60K untuk 24 jam pemakaian, lo bisa menjelajah barat-utara-timur-selatan Bali. Asal lo nggak gempor aja! Sebagai persiapan, pastikan smartphone lo dalam keadaan full-battery. Aktifkan app Google Maps sebelum berangkat, pasang headset, dan dengarkan petuah-petuah Mbak Google (karena ini suara cewek) sepanjang perjalanan berlangsung:

“Setelah 600 meter, belok kanan.”
“Setelah 150 meter, di bundaran, ambil pintu keluaran kedua.”
“Terus lurus. Setelah 200 meter, tujuan Anda ada di sebelah kanan.”

Ohh, betapa mudahnya hidup ini dengan adanya Mbak Google. Selain sabar dan nggak pernah ngantuk-ngantukan, Mbak yang satu ini akan membimbing lo seandainya lo menuju jalan yang salah. “Setelah 100 meter, putar balik.” Eitss, nggak usah cemas, kemungkinan untuk lo mengambil jalan yang salah adalah hampir 0 persen. Semua arahan Mbak Google selalu diberikan dengan tepat waktu (kecuali, saat sinyal internet melemah).

Sedia powerbank atau selalu bawa charger untuk mengisi kembali baterai smartphone. Numpang nge-charge aja di warung terdekat. Sambil lo makan popmie dan beristirahat selonjor kaki, eh tau-tau baterainya penuh, deh!

Minta difoto.


Nyetir di Bali emang asik: jalan rayanya minim billboard iklan sehingga lo bisa menyaksikan sunset sambil menyetir, warganya tertib berkendara (mau belok kiri aja mereka menunggu lampu hijau, padahal kan kalau lagi bengal kita maunya belok kiri langsung, hehe), dan kemacetan sangat jarang terjadi.

6. Tinggal dan berlibur adalah dua hal yang BERBEDA JAUH.

“Aduh, gw pengen pindah kerja ke Bali nih. Asik banget bisa mampir ke Kuta dan mantai tiap pulang kerja,” pikir gw sambil jalan kaki makan eskrim matcha di Poppies Lane.

Berhubung kaki makin pegel, mungkin karena faktor U ditambah angan-angan untuk meregangkan otot yang kaku, gw pun mampir ke tempat pijat.


Temple of the Day


Mbak Kadet (nama samaran) yang menjadi pemijit gw malam itu bertanya darimana gw berasal, berapa hari gw di Bali, dsb. Ketika gw menyampaikan ide untuk pindah kerja ke Bali karena sepertinya tempat ini menyenangkan, Mbak Kadet menjawab, “Nah, justru Mbak lebih enak: kerja di Bandung jadi bisa berlibur ke Bali. Kalau saya: karena kerja di Bali, jadi pengen main ke luar Bali.”

Om Swastiastu. Di sini tempat saya menginap.

Well, tinggal dan berlibur adalah dua hal yang berbeda. Seandainya gw beneran kerja (dan itu artinya gw harus tinggal) di Bali, belum tentu gw akan merasakan Bali sebagai tempat yang mengasyikkan. Hari-hari gw sebagai karyawati teladan di sebuah perusahaan di Bali dipenuhi dengan: bagaimana mencapai target perusahaan, bagaimana strategi jitu untuk mendukung ide boss, dll. Hasrat main ke pantai dengan cepat memudar. Hasrat nongkrong di pinggir sawah Ubud perlahan lenyap. Bali yang sekarang gw datangi terasa indah karena ini bukan perjalanan dinas—nggak ada tanggungjawab apapun yang gw pikul. Jadi, beda jauh ya, antara berlibur dan tinggal? (Well, kecuali kalau lo bisa tinggal di Bali tanpa bekerja sama sekali dan hanya senang-senang tiap hari. Yah, mungkin lo dapet uang pensiun atau warisan atau lotere kali ya?)
  

7. Pantau berita.

Jangan keasikan bertualang sampai lupa dunia. Selama liburan di Bali kemaren, gw sering memantau berita untuk melihat perkembangan Gunung Agung yang lagi ngambek. Kalau menurut pemerintah sih, pariwisata masih aman meskipun ratusan ribu warga di sekitar gunung sudah mengungsi. Bagaimanapun juga, sebagai turis dan WNI yang bijak lo pengen mendapatkan informasi terbaru soal hal ini. Seandainya letusan terjadi, pemerintah sudah bikin planning: penerbangan di bandara Ngurah Rai bakal dialihkan ke bandara lain di sekitar Bali. Lagipula, dari berita gw mendapat saran untuk membawa masker dan payung—takut mendadak hujan abu, euy!

Nah, itulah 7 hal yang gw dapetin selama solo travelling di Bali. Semoga tahun depan bisa berkunjung ke sana lagi, dan menemukan cerita-cerita seru lainnya. Gimana dengan cerita solo travelling-mu? Share juga, dong!

Tebak, milik siapakah sepeda pink ini?

Yang pasti bukan milik adek ini. Lihat aja bentuk sepedanya, berbeda dengan yang atas. (Misteri Sepeda Pink)

You Might Also Like

3 komentar

  1. Aku juga pernah ke Bali solo travelling di sekitar tahun 2008. Kelar dari kerjaan di Aceh dan kepala rasanya penuh sampah termasuk kenangan dengan seseorang disana, jadi aku memutuskan utk solo travel ke Bali.

    Jaman itu msh primitif ngga kayak skrg. Jadi sampai airport yang pertama aku lakukan adalah comot brosur ttg Bali yg didalamnya ada peta dan macem2 tujuan wisata.

    Drop off oleh sopir taksi dg harga 100k dijaman itu yg bisa buat beli nasgor 20 piring akhirnya jalan cari2 penginapan di poppies lane 2. Kamar non AC dg TV n kipas angin seharga 60k.

    Sewa motor dan mulai jalan2.

    Liat pantai kuta pertama kali dan adrenalin sbg laki2 mulai berontak. Selama 2 jam disana harus nahan "sesuatu" karena liat bule2 pakai bikini dan mikirnya mulai ngeres hahha....

    Tapi aneh, sesudah itu jadi normal dan 2 hari kemudian liat orang pakai bikini jadinya biasa aja. Entah otakku yg mulai menyesuaikan atau mulai sinting, entahlah.

    Paling stress saat ke uluwatu dan kacamataku di ambil oleh monyet sialan. Panik ngga karuan karena tanpa kacamata gimana aku bisa bawa motor balik ke kuta? Tapi setelah dibantu (baca dengan imbalan) bapak tua penduduk lokal disana, akhirnya itu kacamata bisa balik dengan kondisi mencong sana sini ngga karuan.

    Btw, setelah solo travelling ke Bali, kamu harus coba solo travelling ke Singapore. That's very cheap and easy. Experiencenya beda bgt. Pokoknya asik deh.. Kalau aku msh jomblo boleh ajak2.. Hahha...

    ReplyDelete
  2. ue belum pernah solo travelling nih jd belum bisa sharing..
    next..

    ReplyDelete
  3. musti banyak belajar berani dari si eneng ini nih

    ReplyDelete

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest