(How To Not Think That) School Sucks

11:32:00 pm

Photo by JJ Thompson on Unsplash

Seorang miliarder yang telah menulis banyak buku tentang cara menjadi kaya, memiliki sebuah rahasia.


Yah, sebenarnya ini hanya kebiasaan sederhana, namun banyak yang tidak menduga:

Dia memiliki pemegang buku pribadi. Itu loh, orang yang bertugas untuk membuat laporan keuangan dan mencatat investasi maupun aset kita.

Alasan dia mempekerjakan seorang pemegang buku? Karena semua orang punya masalah keuangan. Orang miskin, karyawan, pebisnis, dan investor mempunyai masalah keuangan. Seorang pemegang buku yang baik akan membantu menyelesaikan masalah keuangan tersebut (sementara orang miskin tetap menjadi miskin karena tidak punya solusi yang sama untuk memecahkan masalah keuangan mereka).

Sang miliarder berkata: “Saya lebih tertarik menyelesaikan masalah yang jelas-jelas saya hadapi daripada duduk di sekolah berusaha menyelesaikan masalah yang mengada-ada.”

Saya tertawa terbahak-bahak, bukan karena dia konyol, tapi karena dia benar.

Saya bosan mendengar bahwa pernikahan bisa luluh lantak karena masalah duit, atau orang-orang menjadi depresi karena terlilit hutang (walaupun orang yang kaya juga tidak bebas dari masalah, tentu saja).

Tetapi sepasang suami istri jarang bertengkar karena masalah trigonometri yang buntu. Demikian juga belum pernah ada seorang ayah yang bertanggungjawab akan keluarganya yang menjadi stress karena lupa rumus phytagoras. Atau adakah wanita paruh baya yang mengidap tekanan mental karena gagal mengerjakan soal fisika tingkat Harvard University?

Sistem pendidikan di sekolah (entah di Indonesia, atau di benua Amerika sana) pada umumnya memaksa murid untuk memecahkan persoalan yang mengada-ada. Padahal, masalah tersulit kebanyakan murid di bangku SMP dan SMA adalah bagaimana menjadi anak yang diterima oleh lingkaran pertemanan sebayanya sementara kulit mereka hitam dan jerawat mereka bertebaran di wajah bak meses di atas donat. Intimidasi (bullying) adalah makanan sehari-hari mereka, dan apakah kamu belum tahu bahwa banyak murid di Jepang yang bunuh diri BUKAN karena nilai Biologi mereka di bawah standar kelulusan, melainkan karena dikucilkan?

Sekolah bukan hanya menguras uang orang tua kita, tetapi juga menghabiskan waktu.

Hey, tampaknya ada di antara kamu yang berteriak padaku bahwa bersekolah itu harusnya tidak dipandang sebelah mata, sebab banyak pekerjaan yang sulit diperoleh jika seseorang tidak bersekolah.

Ya, saya setuju, tetapi formula itu tidak berlaku untuk semua orang.

Saya memprediksi (karena saya tidak punya data, jadi saya memang tidak yakin) bahwa kebanyakan orang bekerja bukan disebabkan oleh kesukaaan mereka akan kegiatan itu, tetapi demi mencari uang. Atau, bila dihubungkan dengan dunia akademis, bekerja itu ibarat memperoleh return (imbal hasil) setelah orang tua menginvestasikan sejumlah dana untuk menyekolahkan kita. Jadi, semakin tinggi gajimu di perusahaan, semakin bergunalah jutaan uang sekolah yang telah dihamburkan orang tuamu.

Gagasan yang masuk akal, tetapi...

Seperti yang dikatakan miliarder tadi, buat apa berusaha memecahkan masalah Matematika dan Fisika di sekolah kalau masalah sebenarnya di dunia nyata bukan hal-hal semacam itu. Di lingkungan kerja sekalipun, tetek-bengek yang kita hadapi dengan si boss atau klien tidak pernah dibahas di mata pelajaran apapun di bangku sekolah.

Matematika bukannya tidak berguna; justru di samping bahasa Inggris ia merupakan ilmu yang wajib kamu kuasai (dasar-dasarnya) supaya kamu tidak ditipu ketika berbelanja 2 ekor ayam dan 3 ekor bebek di pasar. Tetapi menghafal nama-nama pahlawan di Perang Dunia I dan isi UUD 1945 bukanlah hal yang krusial. Dalam 1 tahun... tidak.. dalam 1 bulan setelah kamu mati-matian menghafalnya, kamu akan lupa. Dan ilmu apa yang sebenarnya kamu ingat setelah 5 tahun lulus sekolah? Tidak ada. Kenapa tidak ada? Karena daftar-daftar seperti itu tidak penting (baca: relevan) dalam hidup kita, dan lagipula kita punya internet.

Jauh lebih cepat mencari nama wakil presiden RI ketiga melalui Google daripada memeras otakmu sampai panas untuk mengingatnya. Yang perlu kita lakukan sebenarnya simpel: mengetahui bagaimana cara meng-Google yang baik dan benar. Bagaimana cara memasukkan kata kunci untuk menemukan apa yang kita inginkan, dan membedakan yang mana hoax dan mana fakta.

Kembali lagi pada masalah yang sebenarnya: untuk bertahan hidup (baca: nggak punah) di planet ini kita butuh uang, hubungan-hubungan yang membahagiakan, dan kemampuan mengatasi kenyinyiran netizen. Tidak ada satupun bagian dari kalkulus yang berguna untuk masa depan kita KECUALI kita memang mau jadi ilmuwan! (dan berapa persen sih manusia yang benar-benar memilih jalur itu?)

Saya yakin perkara uang atau hutang bukan satu-satunya yang menyebabkan keretakan perkawinan. Saya juga percaya bahwa bullying bukan penyebab utama anak-anak sekolah bunuh diri. Tetapi pertanyaannya, apakah sekolah sendiri mengajarkan cara mengelola keuangan sejak dini dan cara mengatasi tekanan dari teman sebaya? Kan, tidak juga. Sistem mereka terus-menerus mengapresiasi murid yang jago menghafal. Entah sang murid sebenarnya mengerti atau tidak apa yang dia hafalkan , guru-guru (dan juga si murid itu sendiri) “bodo amat”. Sekolah sudah terlalu melelahkan dengan buku-buku tebal yang harus murid-murid bawa tiap hari, belum lagi jam-jam les yang mencuri waktu bermain, jadi target utama mereka adalah naik kelas dengan nilai lumayan. Itu sudah.

Jika sistem pendidikan ketika anak saya lahir tetap sama dengan zaman saya SD, saya akan dengan tegas mengatakan bahwa sekolah hanya permainan. Anak saya akan mendapat “pencerahan” dari ibunya bahwa tugas dan ulangan dari guru hanyalah game yang level-nya harus diselesaikan untuk membuktikan kelihaiannya, dan dia akan mendapat poin kalau cukup pandai atau bisa duduk manis di depan guru. Anak saya tidak perlu tertekan kalau harus bangun pagi-pagi buta, karena tujuan utama dia ke sekolah hanyalah menciptakan pertemanan sebanyak-banyaknya. Anak saya tidak perlu menangis tersedu-sedu kalau nilainya merah karena ibunya memberitahu bahwa semua ilmu yang dia lupakan bisa ditemukan di Google dengan mudah.

Sekolah cuma permainan, tetapi sistem telah membuat ongkosnya begitu mahal, dengan nilai jangka-panjang yang tak seberapa. School sucks.

You Might Also Like

1 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest