Ketika Perasaan (Tak) Bisa Diandalkan

6:12:00 pm

Banyak sensasi dalam hidup ini yang “tidak perlu” ditanggapi dengan feeling.

Karena saya adalah seorang cewe, saya tahu dengan pasti bahwa kekuatan sekaligus kelemahan saya terletak pada ‘perasaan’. Perasaan saya saat jatuh cinta mungkin sama kuatnya dengan saat putus cinta. Perasaan saya saat menyiksa orang lain mungkin sama kuatnya dengan saat orang lain menyiksa saya. Dan semua itu menimbulkan sensasi yang membekas dan sulit dilupakan.

Perasaan alias feeling memang berguna, tapi tidak untuk semua kondisi.

Ketika sedang beribadah, saya harus mendorong agar perasaan saya terarah pada lirik dan melodi dari pujian yang sedang dinyanyikan. Ketika saya sedang bekerja, saya harus mengendalikan agar perasaan saya tidak melanglangbuana memikirkan menu makan siang apa yang akan disantap, atau ke mana tujuan weekend minggu ini. Mungkin ada beberapa orang yang bilang bahwa, ini sama saja dengan perasaan yang dibuat-buat. Sesungguhnya, tidak bagiku. Saya menyebut ini sebagai “usaha karena saya punya kehendak bebas yang Tuhan anugerahkan.” Luar biasa, bukan? Saya dan Anda memiliki kehendak bebas untuk memilih respon apa yang hendak diambil berkenaan dengan perasaan (dan juga tentang hal-hal lainnya).

Hmm, daripada muter-muter ke sana ke mari, lebih baik sekarang saya ajak Anda menuju pokok pembicaraan. Saya baru saja melihat situasi yang dialami oleh orang lain (tepatnya, teman saya sendiri). Lalu, entah kenapa, saya merasa kecewa dengan keadaan diri saya. Jujur, saya iri dengan teman saya karena saya gagal mengalami apa yang ia alami. Padahal, duhh serius deh, itu bukan peristiwa yang begitu wah banget. Peristiwa yang teman saya alami itu biasa saja…. dan sangat umum, lazim. Saya sempat ‘meratapi nasib’ selama beberapa menit lamanya. Saya mulai membandingkan pengalaman dia dengan pengalaman saya.

Kemudian, sesuatu yang sudah pernah terjadi berkali-kali, terjadi lagi sekarang: saya ingat bahwa sebetulnya dulu saya pernah mengalami apa yang teman saya alami, hanya saja saya tidak menganggap hal itu spesial pada waktu itu.

Apakah Anda memahami maksud saya? Kalau tidak, tak apa-apa. Karena memang pembahasan ini belum berhenti sampai di sini.

Wahai kaum hawa, saya ingin mengingatkan bahwa kita memiliki siklus periodik dimana emosi kita akan menjadi tidak stabil. Pada masa-masa inilah, perasaan menjadi sangat rentan dan dapat melemahkan mental—bahkan iman kita. Saya pernah mengalaminya ratusan kali (mungkin ya, berhubung usia saya yang juga sudah lebih dari dua dekade ini). Kita tidak bisa menjalani kehidupan dengan mengandalkan perasaan alias feeling. Ingatlah bahwa kita punya periode dimana kita akan lebih sensitif, mudah meratap, dan cepat tersinggung. Dan itu adalah situasi yang normal. Jika kita sudah tahu penyebabnya, akan mudah bagi kita untuk mencari penangkalnya.

Saya ingin mendorong Anda untuk hidup—bukan dalam kebahagiaan, melainkan dalam kesyukuran. Saya kurang paham bagaimana kita bisa memperoleh kebahagian jika kita tidak mulai dari mensyukuri apa yang dimiliki. Beberapa waktu yang lalu, saya mendapati bahwa mesin cuci di tempat kos saya tidak bisa digunakan untuk mengeringkan baju. Jadi, mesin pemutar yang biasanya berfungsi itu, kemarin sempat rusak. Alhasil, semua orang yang sudah mencuci pakaian harus menyingsingkan lengan baju, menyiapkan tenaga dalam, lalu memeras pakaian basah itu kuat-kuat. Hahaha. Nah, saat itulah saya mulai mengeluh dengan kondisi pengering yang rusak itu. Huh, kalau saja pengering ini berfungsi, kan proses jemur-menjemur bakalan cepat selesasi, begitu kataku dalam hati…. Setengah menit kemudian saya tersadar: saya tak pernah bersyukur saat pengering itu masih berfungsi dengan baik! Mengapa saya mengeluh saat pengering itu rusak, jika saya tidak mensyukurinya saat ia tidak rusak?

Saya berhenti mengeluh tentang pengering itu. Saya mulai menerima keadaan, bahwa tidak semua komponen dalam hidup kita akan selalu berjalan baik-baik saja. Jadi, tidakkah luar biasa bahwa Ayub bisa berkata “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil—terpujilah nama Tuhan!” saat dia kehilangan hidupnya yang tadinya baik-baik saja?

Permasalahan manusia tidak terletak pada jumlah derita yang ia alami; melainkan pada jumlah kebaikan yang tidak ia syukuri.

Sebagai penutup, saya cuma ingin mengaitkan feeling dengan rasa syukur.

Jika setiap kali hendak bersyukur, kita harus menunggu adanya feeling, kita akan sengsara. Ucapkan syukur dahulu, barulah kemudian feeling itu akan keluar. Jerome Bruner pun pernah berkata, “Rasanya lebih mungkin bertindak hingga muncul perasaan, ketimbang merasakan hingga mau bertindak!”

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest