DAHLAH MALES.

Baru aja marah-marah ke sebuah aplikasi food delivery. Gausah sebut namanya, males. Pokonya depannya go belakangnya jek. 

Gw pesen mie ayam langganan gw yg jaraknya sekitar 1.5 km untuk makan malam. Langsung ketemu driver yang accept order tapiiii... Dia tidak bisa dihubungi. Menit-menit pertama gw masih menunggu, mungkin sinyal hapenya dia lagi ngilang sejenak. 10 menit berikutnya tetep tidak ada balasan, chat dari gw pun cuma ceklis satu. Gw mulai mikir skenario sinetron: "Apa drivernya ketabrak terus pingsan?" Dan sejurus kemudian gw berdoa agar imajinasi itu hanya angan-angan busuk gw. 

Sudah 20 menit tidak terjadi pergerakan di maps, chat pun digantungin. Orderan mau dicancel? Ternyata tidak bisa alfonso. Mie ayamnya udah dibuat ama restonya dan tinggal di-pickup aja. Sooo, gw hubungi lah CS nya melalui telepon. Telepon! Males banget dah jaman sekarang telpon-telponan. Why don't they have whatsapp or telegram sih. 

Yang ngangkat di ujung sana adalah seorang pemuda yang memperkenalkan dirinya dengan bermalas-malasan. "Halo saya dengan djfjkwjf, ada yang bisa dibantu?" Sumpah ni orang lemes banget, buka mulut aja kayak ga niat. Apa karena dapet lemburan di hari weekend? Apa karena gaji belum cair? Tau deh. 

Gw jelasin lah perkaranya. Diawali dengan menyebutkan nomor hape yang terdaftar. Kemudian kode orderan yang terdiri dari angka-angka. Di sini gw udah males aja bawaannya. Pengen cancel aja. Tapi da ga bisa! Solusi yang ditawarkan si mas-mas lemes adalah sistem akan mencarikan driver lain. Wokey deh. 

Selesai nutup telepon, ga lama kemudian gw dipertemukan dengan driver kedua. Dia langsung gercep nge-chat duluan. Itu loh, chat template yang bunyinya seperti: "Baik, saya menuju resto." Dan gw bales lah, juga dengan template bawaan. "Baik, saya akan menunggu."

Dann.. kembali ceklis satu. Chat gw ngga diterima sama dia. Gw chat lagi sampe 5x, tetep ga sampe. Kenapa lagi nih bocah? Sampe sini gw udah pengen ganti aplikasi ke yang ijo-ijo sebelah. Tapi mengingat orderan NDAK BISA  DICANCEL jadinya gw mesti hubungi lagi CS nya. Haduh. Ada apa sih dengan driver di Kopo area?

Telepon berdering, dan kali ini yang mengangkat adalah pemuda yang lebih ceria. Kembali dengan proses yang sama: menyebutkan no hape yg terdaftar dan kode orderan. Solusi yang diberikan juga sama: sistem akan mencarikan driver lain. Sebagai konsumen yang cuma bisa misuh-misuh dalam hati, aku terima keputusan CS tersebut meskipun berat. 

Driver ketiga mungkin memang ditakdirkan untukku. Setelah menunggu 1 jam lebih akhirnya mie ayam itu datang. Udah dingin? Ya jelas. Drivernya aja sempet ketawa kecil gitu pas nyodorin orderan: "Katanya sampe ganti-ganti driver dua kali ya mbak?" Haha iya pak. Yaudah pak makasih udah nganterin, saya males bahas-bahas ini. Gw langsung masuk rumah tutup pagar. 

Sambil makan gw cuma kepikiran: betapa tidak terhitung jumlah konsumen yang kecewa ama produk atau layanan tapi memilih buat diem-diem aja. Nggak komentar, nggak ngasi feedback, tapi mereka pindah ke kompetitor. Kasus gw mungkin dialami juga banyak orang lainnya: kalo masih bisa milih app lain, ngapain cape-cape ngurusin orderan 90j3k? Ini mah gara-gara orderannya tidak bisa dicancel aja mangkanya gw bela-belain melalui proses pelaporan yang menjemukan. 

Kalau orang masih peduli untuk mengkomunikasikan kekecewaannya, it means dia masih peduli. Peduli pada hubungannya atau pada brand tersebut. Tapi kalo mereka diem aja dan tau-tau minggat ke lain hati? Yah bukan salah mereka juga. Ada banyak ikan di laut, kenapa mereka mesti ngejar-ngejar elo. 

Untuk customer yang kalo kecewa masih ngomel-ngomel di DM atau kolom review, gw sih salut. Artinya kalian masih peduli. Marah-marahnya kalian nunjukkin tingginya harapan agar seller atau brand berubah. Kalian masih percaya bahwa keluhan kalian didengar.

Aku adalah pembeli yang payah. Aku membeli karena barang-barang di marketplace tampak menarik. Nyatanya tidak ada di antara semua itu yang kubutuhkan. Aku hanya bosan, dan berbelanja jadi pemuas jalur instan. 

Aku bersemangat dengan tibanya paket dari kurir. Secepat aku excited, secepat itu pula aku menjadi bosan lagi. Barang-barangnya bagus memang, bahkan ada yang lebih baik dari foto katalognya. Tapi... Seperti yang sudah kusebut: aku sebenarnya tidak membutuhkannya. 

Dalam buku bagus berjudul LAGOM: Not Too Little Not Too Much tertulis, "Saat berhubungan dengan situasi seperti makan dan berbelanja, kebutuhan kita kerap jauh lebih sedikit daripada keinginan. Sementara saat berurusan dengan perasaan dan emosi, kebutuhan kita mungkin jauh melebihi keinginan." 

Saat aku merasa ingin marah, sebetulnya di balik amarah itu banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi: kecewa, sedih, takut, dan bingung. Keempatnya berembuk dan membuat emosiku remuk, tapi ekspresi yang keluar dikerucutkan menjadi satu, yakni marah.

Ketika aku merindukan liburan, sebenarnya yang kubutuhkan adalah: kebebasan, ketenangan batin, rekonsiliasi dengan diri sendiri, dan jeda. Dan saat aku terus-menerus ingin belanja, sepertinya ada kebutuhan emosi yang terpendam di baliknya: aku sedang tak bahagia, kesepian, ingin perhatian.

Benar, bukan? Kebutuhan fisik kita begitu sedikit tapi kita terus checkout di shopee dan menimbun benda-benda. Di lain pihak, kebutuhan emosi kita sangat banyak tapi kita hanya memenuhi 10 persennya saja barangkali. Bukan masalah. Mungkin kita yang tidak pandai membaca perasaan. Mungkin kita belum punya akses pada si penerjemah sanubari.

----

Photo by Daniel von Appen on Unsplash

Manusia adalah bahan penelitian paling menarik bagiku. Terbuat dari apa mereka, bagaimana jalan pikirannya, mengapa ada kehendak begini dan begitu... semuanya adalah sumber penasaranku. Dan ketika membaca novel karangan Pearl S. Buck ini aku menyadari bahwa karya fiksi pun bisa menjadi objek pembelajaran yang seru terkait tingkah polah manusia.

Aku berharap agar semua semakin baik. Seperti roda yang kadang di atas & kadang di bawah, yang terpenting adalah rodanya bergerak maju. Bukan mundur, bukan tikusruk.

Kenapa harus berharap? Bukankah dengan bertambahnya usia sudah pasti makin dewasa? Tidak. Sama sekali tidak ada jaminan.

Aku bisa berusia 31 tapi mengulangi kebodohan yang kulakukan saatku 24. Insecurity dari usia 15 bisa jadi masih bersemayam. Kenaifan di usia 27 mungkin belum terkikis. 

Kita bisa tua tapi tak juga berubah. Usia itu bertumbuh linear, tapi kedewasan tidak. Rumit, kadang hanya muter-muter di tempat.

Jika aku tidak sabaran, maka Tuhan akan mendekatkanku dengan orang-orang yang merampas kesabaranku sampai limitnya habis. Aku bisa menolak berubah, bahkan melarikan diri dari proses ini. Aku bisa memilih pindah tempat, tapi bahkan di tempat barupun aku akan menemukan orang-orang serupa. Tidak ada diskon untuk perbaikan karakter. Stop mencari jalan pintas, bisa-bisa kita malah berakhir dalam labirin... hanya karena kekerasan kepala kita. 

Aku pikir kesehatan itu penting. Jika kita sehat maka lebih mudah bagi kita menyerap pelajaran hidup yang sedang disuapkan pada kita. Sehat tubuh dan sehat mental, keduanya sama pentingnya. 

Untuk generasiku yang "menua" di tengah pandemi, kita sudah melewati 2020 dengan mahaberat segala ujiannya. Tahun ini mungkin akan lebih membingungkan, tapi menurutku berlari pada Tuhan adalah benteng perlindungan terbaik. Kautahu apa itu benteng? Ketika ada serangan rudal di udara, kita bisa berdiam di dalamnya dan menemukan ketenangan. Rudalnya masih berseliweran, tapi itu tidak lagi relevan. Kita bisa tidur nyenyak atau makan sampai kenyang. Aku bilang begini bukan karena relijius. Hanya ber-Tuhan saja.

Photo by Federica Campanaro on Unsplash

Mungkin menulis adalah hal yang akan selamanya kulakukan di akhir sisa hidupku. Well, mengetik lebih tepat daripada menulis. Memang ayunan pensil menghasilkan mekanisme transfer yang lebih baik dari sel otak ke jari. Tapi, aku harus kerja dua kali. Menulis dan mengetiknya kembali. Aku sudah setua ini, dan waktuku tidak banyak. Jadi, efisiensi durasi harus jadi yang utama. Ah, alasan. Bilang saja malas.

Jarang sekali aku menjadi emosional (baca: mewek) saat membaca buku. Lebih tepatnya, sudah lama sekali itu tak terjadi. Tapi baru membaca buku ini 30an halaman, aku sudah menangis tak karuan. Bukan menangis kecewa karena bukunya jelek, bukan menangis sedih karena isinya tidak kumengerti. Justru sebaliknya: isinya sangat bagus dan mengandung kebenaran, tapi aku sedih karena belum sanggup mempraktekkannya. 

Buku yang merupakan pemberian dari seorang teman ini hampir-hampir tidak menuntut ekspektasiku. Soalnya, sampulnya unyu-unyu gitu. Kartun bergambar beruang yang sedang menatap langit. Sementara aku terbiasa dengan buku serius, sastra yang abstrak, atau nonfiksi yang bukan menye-menye. 

Tapi buku ini bagaikan batu emerald berbalut packaging doraemon. Meski sederhana ia berhasil membuatku merefleksi banyak hal: bahwa aku sudah tahu mana yang benar tapi tidak kunjung melakukannya dalam hidup ini. Aku tahu pentingnya mengampuni, tapi seringkali aku gagal soal ini. Aku tahu tentang penerimaan dan kesetiaan, tapi sampai kinipun aku masih belum mahir. 

Ada satu section dalam buku ini di mana aku hampir-hampir tidak bisa membacanya dengan lancar sampai selesai. Karena baru beberapa kalimat, aku sudah menahan nafas. Terus mewek. Hadeuh. 

Baiklah. Aku lanjutkan dulu perjalanan rollercoaster bersama si buku unyu ini ya.

Pernah mikir ngga kenapa anak kecil suka maen CI-LUK-BA.

PART 1.

Hidup ini penuh dengan: notifikasi tak terbaca, screenshot yang tak lagi dilihat, zoom meeting yang tak sungguh-sungguh didengarkan.

Berapa jam screen-time kita sehari? Berapa ratus kali jempol nge-scroll, hanya untuk konten yang 10 menit kemudian sudah dilupakan?

Riuh. Dunia virtual begitu rusuh. Dan kita jadi bagian di dalamnya. Kita merecoki, juga sebagai yang direcoki. 

No wonder kita cape! (Kita?!) Gw pribadi sih cape ya. Kebayang orang-orang yang WFH dan menjadikan online meeting sebagai sarana brainstormingnya. Bukan apa-apa... masalahnya menjaga attention span tetap stabil saat kita hanya melihat layar berisi muka-muka datar itu, sulit banget. Mudah sekali kita teralihkan. (Kita?!) Iyaaa.. gw deh gw. Gampang banget buat gw loncat dari satu ide ke ide lain. Eits, bukan ide mahadahsyat kayak teori relativitas atau archimedes kok. Cuma letupan pikiran soal: "eh tadi gw belum kasi bintang buat si driver gojek" atau yang lebih remeh lagi kayak "gw mau browsing lirik lagu Didi Kempot yang baris ketujuhbelas soalnya bingung artinya."

Hanya saat tidurlah pikiran ini bisa diam!

--- 

PART 2.

Gw tuh semenjak pandemi kan sering sepedahan nih. Salah satu pergumulan gw setiap kali mau gowes adalah: kali ini mau RUTE yang mana. Awal-awal mah gw seneng ke selatan Bandung, karena traffic-nya relatif lebih sepi dan pemandangannya masih ndeso banget (gunung dan sawah!). Tapi ada satu momen ketika salah seorang temen kantor gw nantangin: "Gowes mah ke Dago Atas dong, ngapain ke selatan." Gw sebagai penghuni Ko-Rea (Kopo Area) jelas merasa terusik. Temen gw juga rumahnya masih di sekitar Korea soalnya. Gw pikir-pikir kemudian: "Kenapa engga? Jangankan Dago, sebandung-bandungeun gw gowesin!"

Tapi sebenernya gw males-malesan gowes ke dago, karena akan banyak ngelewatin rute yang biasa ke kantor. "Apa serunya liatin jalan yang tiap hari gw lewatin? Sementara arah selatan kan hampir ga pernah." 

Singkat cerita, gw memutuskan untuk coba. Yaudah, jalanin aja dulu. Dan ternyata prediksi gw bener-bener salah. 

Gw justru menemukan sudut pandang dan vibes baru dari rute tersebut. Guys, jauh berbeda loh antara naik kendaraan bermotor dengan bersepeda. Secepet-cepetnya sepeda, ga sampe 40km/jam lah ya. Itu menyebabkan kita akan lebih lambat melaju. Kita punya lebih banyak waktu untuk melihat hal-hal yang tidak bisa kita lihat dengan kendaraan bermotor. 

Semakin tinggi kecepatan kita, semakin sedikit yang bisa kita lihat. Coba aja lo nyetir 70 km/jam, masih berani ngga lo noleh kanan-kiri-kanan-kiri? Engga lah, lo akan fokus ke depan. Sebaliknya, semakin lambat maka semakin banyak yang bisa dilihat. Makanya, kalau udah punya titik fokus yang mau dituju lo bisa ngegas kenceng banget, namun tetap aman. Tapi kalo belum bisa fokus dan pengen celangak-celinguk dulu mah ya jangan ngebut-ngebut. 

Gw bisa mengagumi pohon lebat yang rantingnya sampai ke tanah. Gw bisa memandangi arsitektur sebuah rumah lebih lama. Emang penting? Ga penting memang; wajib dilakukan pun tidak. Tapi hal-hal remeh kayak gitu bikin gw bersyukur. Bahwa dunia ini indah kalo kita pake kacamata yang beda. Bahwa Bandung itu cuantik tenan. 

Apakah gw sampai ke Dago Atas? Ngga Maemunah, di Dipatiukur aja gw udah ngga kuat. Tapi udah deketlah sama Dago (bawah). Hehehe. Next, kita muter sekitaran ITB yuu. 

Photo by Ali Yahya on Unsplash

-- 

Photo by Adrian Pelletier on Unsplash