Emotionally and mentally capek. Banget. You know lah Yen, kenapa sebabnya :( 

Gw baca Quora, isinya kebanyakan (yang viral dan ramai di timeline) adalah soal perselingkuhan, abuse di relationship, pertengkaran antar anak-orangtua, antar menantu-mertua, pernikahan yang dibatalkan… 

Gitu-gitu aja temanya.

Bacanya ya seru. Tapi capek. 

Orang-orang teh kenapa sih, bisa dengan "santainya" bertahan dalam hubungan yang buruk. Atau kantor yang buruk. Atau jalan hidup yang buruk.

Bertahan demi apa? Jangan bilang, "semua karena cinta". Omong kosong lah dengan cinta kalau lo mesti toxic dulu untuk membuktikannya.

Memang ya, ngga ada yang bisa mengalahkan pikiran yang tenang dan damai. Lo bisa berpakaian dan berperilaku sedemikian rupa di luar, tapi kalau pikiran lo yang di dalam kepala ngga karuan, semua itu ngga ada artinya. 

The saddest thing you should mourn about is not losing things, nor losing other people. It's losing yourself.

It is common knowledge that humans are not fully rational beings; that is, people will often do something that is not in their own self interest, even when they are aware that their actions are not in their best interest. | source

===
The pattern is too clear.

Sering ketemu suatu peristiwa, sampai hapal bakal gimana ke depannya?

Katakanlah…

*Anak sekolah yang sering bolos. Bisa tebak gimana nasib dia di akhir tahun ajaran?

*Dua sejoli yang tidak direstui orang tua masing-masing karena beda agama. Bisa tebak akhir kisah mereka?

*Karyawan curang yang gemar korupsi biaya dinas dari perusahaan. Bisa tebak kejadian apa yang bakal dia terima nantinya?

Sedikit banyak kita bisa menebaknya, bukan?

Kenapa?

Karena kita terlalu sering melihat dan mendengar hal-hal di atas. Terlalu lumrah, terlalu umum. Kita belajar dari pengalaman orang lain. Sejarah mengajarkan kita bahwa masa depan bisa diperkirakan.

Ada beberapa hal yang begitu alarming di kehidupan ini, sehingga dengan sekilas informasi saja kita sudah bisa kok menebak ke mana ini semua akan berakhir.

Tapi… anehnya, begitu kejadian serupa menimpa dirimu sendiri, tidak jarang kamu jadi BODOH MENDADAK. Kamu berkeyakinan bahwa nasib berbeda akan kau alami. Kamu begitu pede bahwa keberuntungan akan berada di pihakmu, karena kamu sudah belajar dari pengalaman kegagalan orang lain.

Terdengar dungu ya?

Ya, memang dungu.

Belajar dari kegagalan orang lain TIDAK MENJAMIN kamu sendiri tidak akan gagal. Jika sesuatu sudah jelas berbahaya, tapi kamu malah nekat menerobosnya, kamu sedang MENIPU diri sendiri.

Sungguh sebuah pembodohan terhadap akhlak dan nuranimu.

Diri sendiri saja kautipu--bagaimana dengan orang lain?

===

Jalan yang menuju jurang biasanya memang akan berakhir di jurang. Dan kamu pasti pernah melihat papan peringatan beberapa kali sepanjang perjalananmu.

Jangan berdoa bahwa ujungnya akan berubah menjadi padang rumput. Simpan doamu--nanti Tuhan yang malu mendengarnya.

===

Those who do not learn history are doomed to repeat it. (George Santayana)

Banyak kata-kata yang belum dituliskan, banyak lagu yang belum didengarkan, banyak titik di peta yang belum dikunjungi,

tetapi...

Rutinitas membuat kita terhipnotis. Seakan hal-hal di luar rutinitas tidak penting dan tidak berarti. Padahal mungkin justru sebaliknya: rutinitasmu-lah yang tidak penting!

Kalau kamu sedang di perjalanan menuju kantor dan tiba-tiba sebuah pesawat jatuh di tengah jalan (yang mana membuat jalanan di depanmu terblokir karena puing-puing pesawatnya berserakan di sana), apakah kamu masih berpikir, "Wah, cek google map dulu ah, muter lewat jalan mana ya? Soalnya gw mesti tiba di kantor tanpa terlambat nih."

Dammit. You won't do it. You'll forget everything else, especially your morning routine to the office. Because there's this painful realization right in front of your eyes. You'll be caught by surprise. Time seems to stop. Now nothing makes any sense to you anymore.

Your routine is disrupted, your plans are ruined. You start to question everything.

Is this the only way of life I can choose? Isn't there any other choices?

I'm a female with male brain! Haha. Mimpi apa gue, membuat deklarasi seberani itu.

Let me tell you something about women that men might not understand. Perempuan itu figuratively punya wadah seperti kendi yang dalam, berisi macam-macam perasaan. Mereka seringkali pandai merasakannya satu persatu dan memberinya nama. Nah... gw ga bisa seperti itu.

Apakah segala sesuatu yang nyata harus bisa didefinisikan?

Ada banyak planet di luar galaksi Bima Sakti yang belum diberi nama HANYA KARENA kita memang belum memberinya nama. Tapi planet itu tetap ada. Dia sedang mengambang di jagad semesta raya. Dia sedang rotasi di porosnya dengan kecepatan yang entah berapa.

Well.. hanya karena sesuatu belum diberi nama atau didefinisikan, bukan berarti sesuatu itu tidak nyata. 

Bagaimana dengan perasaan? 

Perasaan adalah entitas paling rumit yang gw benci setengah mati. Perasaan itu rupa-rupa macamnya, dan kalau dia muncul, gw kelimpungan sendiri memikirkan apa arti perasaan tersebut.

Dealing with feeling adalah hal sulit bagi gw setidaknya selama tiga tahun belakangan ini. Tahun 2017 itu puncak keparahannya. Gw bisa nangis out of nowhere, saat lagi duduk di kursi atau nyetir di jalan.

"Ini perasaan apa sih? Sedih? Kalau sedih, apa yang disedihkan? Takut? Kalau takut, apa yang ditakutkan?"

Ga jelas. Ekspresi satu-satunya yang bisa keluar ya melalui air mata.

Gw tipe orang yang ingin bisa mendefinisikan segala sesuatu. Orang lain ga perlu ngerti, tapi at least gw bisa mendefinisikan dulu suatu situasi atau entitas. 

Masalahnya, perasaan seringnya sulit didefinisikan.

Terkadang sebuah amarah itu bukan amarah, tapi lebih cenderung kesedihan. Namun, kesedihan itu secara tak sengaja terejawantahkan menjadi amarah: muka ditekuk, memerah, detak jantung bertambah, plus hidung mendengus bak banteng ngamuk. Padahal dalam hati sih, inginnya menangis.

Tuh kan. Baru satu emosi aja bisa keliru mendefinisikannya. Makanya gw bingung banget kalau mesti berhadapan dengan emosi yang tak pasti. Ini apa sih? Cinta? Gundah? Takut? Excited? Atau apa…

Jadi, solusinya sih (mungkin) abaikanlah segala perasaan sampai ia dapat didefinisikan. I'll be thinking about what to feel first.

--