Gara-gara
sebuah centang biru, hubungan harmonis bisa retak.
“Kamu cuma read doang
tapi nggak bales-bales chat aku. Udah dari 3 jam lalu! Kamu udah nggak sayang
sama aku?”
Percakapan ini
tidak disadur dari lakon drama murahan; ini murni sebuah kisah nyata.
---
Ketika 3 bulan
lalu saya menggunakan WeChat untuk pertama kalinya, saya termenung melihat
betapa sederhananya aplikasi ini.
Tidak ada
penjelasan apakah lawan bicara kita sedang ‘typing...’
Tidak ada blue ticks (read receipt) yang biasanya
kita temui di WhatsApp.
Saya berpikir
itu adalah kekurangan; bagaimana mungkin app dengan 800 juta pengguna di
seluruh dunia lalai menerbitkan fitur
‘typing’ dan ‘blue ticks’ yang sungguh berguna bagi hajat hidup orang banyak.
Tapi mungkin
hanya saya satu-satunya makhluk yang berpikiran seperti itu--800 juta pengguna
WeChat hidupnya baik-baik saja dan tetap setia memakai platform percakapan ini.
Kalo
dipikir-dipikir, mengapa tampilan ‘typing...’
menjadi penting?
Saya teringat
ketika boss saya sedang mengawasi karyawannya yang bertugas membalas pesan
singkat di Live Chat. “Jangan terlalu lama meletakkan kursor di area
pengetikkan pesan,” kata boss saya. “Lawan bicara akan melihat kamu sedang
‘typing’, dan kalau jeda waktunya terlalu lama, kamu akan terkesan slow response, dan terlihat bodoh di
mata pelanggan.”
Buat saya
pribadi, ada hal yang lebih penting daripada mengetahui lawan bicara kita
sedang ‘typing...’ atau tidak, yakni: apa
balasannya.
Entah dia
sedang typing atau hanya sekedar copy-paste pesan dari sumber lain, yang paling
kita nantikan sebenarnya adalah isi dari pesannya, bukan?
Kegelisahan
manusia sejak revolusi industri telah menjelma menjadi kian parah karena
penemuan blue ticks dalam percakapan digital. Kalau centang masih abu-abu, kita
menunggu-nunggu sampai berubah jadi biru. Kalau sudah centang biru, kita
menunggu-nunggu sampai ada balasan pesan yang masuk.
Hidup ini
sudah penuh dengan harapan palsu, dan centang biru hanya menambah perkara baru.
Kita menuntut orang di seberang sana tidak sekedar membaca lalu pergi--kita
ingin mereka segera memberikan respon.
Hal yang
berikut ini akan saya ceritakan, cukup menarik. Ini mungkin bukan hanya terjadi
pada saya, tapi juga pada kalian. Apabila saya sedang dalam situasi santai dan
mampu membalas berbagai chat yang masuk dengan cepat, maka saya berpikiran
bahwa orang di seberang sana juga sedang dalam keadaan santai. Jadi, seharusnya
mereka membalas semua pesan saya dengan segera, setidaknya sama cepatnya dengan
yang saya lakukan pada mereka.
Mengapa kita
suka beranggapan bahwa orang lain bertindak seperti kita bertindak? Apakah
orang lain pasti berpikir sama dengan kita berpikir? Orang-orang di luar sana
tidak memberitahukan aktivitas apa yang tengah mereka kerjakan, tetapi yang
pasti semua makhluk bernapas memiliki kesibukan. Entah mereka sedang menyetir,
dan enggan membalas pesan kita karena ingin menghindari kecelakaan atau
penilangan polisi. Entah mereka sedang menyuapi anak di tengah hiruk pikuknya
kafe yang panas, dan akan segera membalas pesan kita jika sang anak sudah
berhasil ditenangkan. Entah mereka sedang bekerja membalas email dari klien,
dan ingin meluangkan waktu tenang agar bisa membalas pesan tanpa distraksi.
Pesan yang
terbaca bukan berarti ‘dilihat-lalu-diabaikan’.
Photo by Corinne Kutz on Unsplash |