Blue Ticks

9:47:00 pm

Gara-gara sebuah centang biru, hubungan harmonis bisa retak.

“Kamu cuma read doang tapi nggak bales-bales chat aku. Udah dari 3 jam lalu! Kamu udah nggak sayang sama aku?”

Percakapan ini tidak disadur dari lakon drama murahan; ini murni sebuah kisah nyata.


---


Ketika 3 bulan lalu saya menggunakan WeChat untuk pertama kalinya, saya termenung melihat betapa sederhananya aplikasi ini.

Tidak ada penjelasan apakah lawan bicara kita sedang ‘typing...’

Tidak ada blue ticks (read receipt) yang biasanya kita temui di WhatsApp.

Saya berpikir itu adalah kekurangan; bagaimana mungkin app dengan 800 juta pengguna di seluruh dunia lalai menerbitkan fitur ‘typing’ dan ‘blue ticks’ yang sungguh berguna bagi hajat hidup orang banyak.

Tapi mungkin hanya saya satu-satunya makhluk yang berpikiran seperti itu--800 juta pengguna WeChat hidupnya baik-baik saja dan tetap setia memakai platform percakapan ini.

Kalo dipikir-dipikir, mengapa tampilan ‘typing...’ menjadi penting?

Saya teringat ketika boss saya sedang mengawasi karyawannya yang bertugas membalas pesan singkat di Live Chat. “Jangan terlalu lama meletakkan kursor di area pengetikkan pesan,” kata boss saya. “Lawan bicara akan melihat kamu sedang ‘typing’, dan kalau jeda waktunya terlalu lama, kamu akan terkesan slow response, dan terlihat bodoh di mata pelanggan.”

Buat saya pribadi, ada hal yang lebih penting daripada mengetahui lawan bicara kita sedang ‘typing...’ atau tidak, yakni: apa balasannya.

Entah dia sedang typing atau hanya sekedar copy-paste pesan dari sumber lain, yang paling kita nantikan sebenarnya adalah isi dari pesannya, bukan?

Kegelisahan manusia sejak revolusi industri telah menjelma menjadi kian parah karena penemuan blue ticks dalam percakapan digital. Kalau centang masih abu-abu, kita menunggu-nunggu sampai berubah jadi biru. Kalau sudah centang biru, kita menunggu-nunggu sampai ada balasan pesan yang masuk.

Hidup ini sudah penuh dengan harapan palsu, dan centang biru hanya menambah perkara baru. Kita menuntut orang di seberang sana tidak sekedar membaca lalu pergi--kita ingin mereka segera memberikan respon.

Hal yang berikut ini akan saya ceritakan, cukup menarik. Ini mungkin bukan hanya terjadi pada saya, tapi juga pada kalian. Apabila saya sedang dalam situasi santai dan mampu membalas berbagai chat yang masuk dengan cepat, maka saya berpikiran bahwa orang di seberang sana juga sedang dalam keadaan santai. Jadi, seharusnya mereka membalas semua pesan saya dengan segera, setidaknya sama cepatnya dengan yang saya lakukan pada mereka.

Mengapa kita suka beranggapan bahwa orang lain bertindak seperti kita bertindak? Apakah orang lain pasti berpikir sama dengan kita berpikir? Orang-orang di luar sana tidak memberitahukan aktivitas apa yang tengah mereka kerjakan, tetapi yang pasti semua makhluk bernapas memiliki kesibukan. Entah mereka sedang menyetir, dan enggan membalas pesan kita karena ingin menghindari kecelakaan atau penilangan polisi. Entah mereka sedang menyuapi anak di tengah hiruk pikuknya kafe yang panas, dan akan segera membalas pesan kita jika sang anak sudah berhasil ditenangkan. Entah mereka sedang bekerja membalas email dari klien, dan ingin meluangkan waktu tenang agar bisa membalas pesan tanpa distraksi.

Pesan yang terbaca bukan berarti ‘dilihat-lalu-diabaikan’.


Photo by Corinne Kutz on Unsplash
x



You Might Also Like

2 komentar

  1. Menunggu balasan adalah hal yang menyebalkan. Apalagi disaat kita sudah mengetik panjang lebar, dan lawan chat hanya membalas "Y" atau emoticon 👍 doang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkw, iya banget. Udah ngetik 5 bab, dibalas hanya 5 huruf. Apa-apaan ini.. hihihi.

      Delete

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest