PUTRIKU NGEGANJA, DAN DIA BENAR

7:46:00 pm

4 Cara untuk Benar, 5 Cara untuk Salah

Kalimat di atas adalah subjudul dari buku Edward de Bono, Berpikir Praktis. Meski diterbitkan tahun 1971, banyak hal dalam buku ini yang masih relevan hingga sekarang. Bahkan, menurutku kian perlu untuk ditekankan, mengingat di jaman sekarang orang-orang semakin bersumbu pendek. Kita sok tahu dan terburu mengambil kesimpulan hanya dengan melihat sebaris judul. 



Aku sudah bertekad tidak akan mengawali postingan ini dengan basa-basi amburadul seperti bubur diaduk yang rupanya tidak sedap dipandang. Namun aku sudah menuliskan 1 paragraf penuh tele-tele, dan kini kumemasuki paragraf kedua. Okelah, daripada rentetan kata ini semakin kocar-kacir, langsung saja kubagikan ringkasan menarik dari buku Berpikir Praktis. (note: hanya bagian yang menurutku menarik yang ditulis di sini). 

Berpikir sehari-hari merupakan pengisi waktu ketika Anda tidak tidur maupun meninggal. Masalahnya, tidak semua orang gemar berpikir--sebagian besar lebih suka meminjam pikiran orang lain dan memakai gagasan yang "sudah jadi". Toh tidak ada hukum yang mengharuskan seseorang untuk berpikir sendiri. Di sekolah? Boro-boro... hukumnya adalah menghafal. Bukan berpikir. 

Apakah berpikir itu sebuah bakat lahiriah? Bukankah sepertinya ada beberapa orang yang kritis dan cerdas berpikir sejak lahir, sementara beberapa orang seakan kurang susu formula saat balita hingga pikirannya kurang tajam? Hey.. menurut de Bono berpikir itu adalah sebuah keterampilan, seperti main tenis dan memasak. Tidak ada kaitan langsung antara berpikir dan inteligensi bawaan. Tuan de Bono sendiri sudah kenal beberapa orang berpendidikan tinggi (Ph.D., dosen dan profesor universitas, eksekutif bisnis senior) yang merupakan pemikir yang buruk. 

Mungkin karena berpikir adalah rutinitas sehari-hari, yang bahkan terjadi di level "tidak disadari" (berpikir pakai baju apa, mau makan dulu atau mandi dulu) maka orang cenderung tidak mawas akan bagaimana pikiran bekerja. Ada lebih banyak profesor di Inggris yang lebih menaruh perhatian pada bahasa Sansekerta ketimbang pada berpikir sebagai suatu keterampilan. 

Tapi berpikir bukanlah kewajiban. Orang bisa memilih untuk berkata "Saya tidak peduli" akan apapun isu yang terjadi. Inilah penjelasan yang paling absah, sebab tak seorang pun harus mengerti segalanya. Bila Anda tidak peduli untuk mengerti sesuatu, maka Anda harus meminjam penjelasan dari orang lain atau bertindak sendiri. 

Bila kaidah terpenting dari berpikir sehari-hari dapat diringkas, maka bunyinya:
1. Semua orang selalu benar.
2. Tidak ada seorangpun yang pernah benar.

Di dalam pikirannya sendiri, tak seorangpun yang bersalah secara sengaja. Gagasan yang ia anut benar menurut pengetahuannya, pengalamannya, emosinya, dan cara ia memandang segala sesuatu. 

Jika saya memergoki putri saya menghisap ganja, dia akan berkata bahwa:
- saya tidak suka suka banget kok 
- saya tidak mau tampak kuno 
- saya hanya mengisap sesekali
- ganja kan lebih baik dari alkohol (tidak ada rasa pening atau mual)
- semua temanku melakukan hal yang sama
- ibu tidak memahami dunia remaja saat ini 

Semua argumen, gagasan dan pandangan putriku adalah benar menurut kerangka berpikirnya. Di sisi lain, sebagai ibu aku mempunyai pendapat yang bertentangan dengannya, dan itupun benar menurut kerangka berpikirku. Menurut de Bono, adalah sia-sia jika aku mementahkan semua yang putriku katakan dengan memberi label TIDAK. Misalkan: kamu TIDAK MUNGKIN hanya mengisap ganja sesekali... kamu akan keterusan sampai akhirnya kehilangan kendali, dan kamupun akan akan masuk penjara, dikeluarkan dari sekolah, dan kehilangan masa depan.

Melabeli TIDAK pada gagasan orang lain yang tidak Anda setujui tidak akan membuat gagasan itu hilang. Gagasan tentang betapa santainya ngeganja akan selalu ada di benak putriku, tak peduli berapa kali kata TIDAK atau JANGAN yang kulontarkan. Sebaiknya gimana? 

Alih-alih mengucilkan gagasan putriku, aku harus menerimanya. Bukan membenarkannya, tapi mengakui bahwa itu benar menurut pandangan dia. Setelah menerima, aku akan mengantar pikiran putriku menuju gagasan yang lain. Misalnya: Wah, apa yang kau katakan benar juga, ganja memang lebih baik dari alkohol. Tapi kenapa ya teman Ibu yang juga ngeganja selama 5 tahun baru-baru ini ditemukan tewas di kamar mandi dengan kondisi mengenaskan, blablabla... 

Aku tidak menyalahkannya tapi aku memperlebar dan memperjauh (bahasa apa ini) kerangka pikiran putriku, dengan harapan ia menyadari konsekuensi lebih lanjut dari tindakannya. 

Berikutnya, kita menuju pada kesalahan-kesalahan berpikir. Di kalimat pembuka blog ini, saya menulis ada 5 cara untuk salah. Hanya beberapa yang akan saya bahas. Sisanya? Kamu baca aja sendiri bukunya :D

Terkait kesalahan, de Bono menelurkan hukum yang menarik: Bukti kerap tidak lebih daripada tidak adanya imajinasi--dalam memberikan penjelasan alternatif. Piye iki maksudne?  




Begini loh lur... Apa yang membuat orang begitu yakin akan gagasannya? Tentunya karena ia punya bukti. Misalkan, si Darto dengan yakin mengatakan bahwa jalan yang ia tempuh akan menuju Majalengka. 

"Nih lihat, kalau gw terus jalan ke arah sesuai papan petunjuk ini, gw bakal sampe di Majalengka," kata Darto. Ya iya sih, ada benernya. Tapi pernah berpikir lebih jauh ngga, Dar? Kalo soal arah lo emang udah bener ke Majalengka, tapi jaraknya berapa? Diukur ngga? Emang mungkin dicapai dengan jalan kaki?


Tuh kan.. ternyata Majalengka masih 56 km lagi. Mampus aja kaki lo putus kalo jalan sampe sono. 

Jika hanya berbekal informasi dari papan penunjuk yang pertama, maka Darto punya cukup bukti bahwa ia benar. Tapi bukti yang sama, yang telah membuat dia mempertahankan argumennya, ternyata adalah hasil dari kurangnya imajinasi Darto. Baginya penjelasan tersebut sudah benar karena tidak ada penjelasan lain yang tersedia. 

Padahal jika Darto mengaktifkan imajinasinya, ia akan coba memberikan penjelasan alternatif, misalnya dengan mempertimbangkan ukuran. Segala sesuatu cenderung benar bila ia tidak diukur. 

Orang dengan imajinasi yang lemah adalah orang yang paling yakin akan kesimpulan mereka. 

Darto mungkin hanya kurang terampil dalam berpikir (ini tidak sama dengan bodoh, hanya persoalan kurang latihan saja). Tapi, ada satu kesalahan yang benar-benar sulit diobati: keangkuhan. Orang yang angkuh akan menghentikan evolusi dari gagasan. Gagasan kan terbentuk dari tetesan-tetesan informasi, pengalaman, dan wawasan baru yang terus menerus diterima seseorang. Jadi, adalah wajar jika pandangan seseorang hari ini berbeda dengan pandangannya 5 tahun lalu. Nah, keangkuhan justru menutup kemungkinan pembentukan gagasan baru atau alternatif. Gagasan lain bukannya tidak memadai, tapi gagasan lama telah dijaga begitu kuat oleh keangkuhan sehingga kelihatannya cukup memadai. Bahkan bila ada alternatif yang lebih baik, keangkuhan akan membuat gagasan itu diabaikan. Padahal barangkali alternatif itu akan berkembang menjadi gagasan yang jauh lebih brilian seandainya diberikan perhatian khusus. 

Orang yang tidak mampu bersikap angkuh tidak mungkin menjadi bodoh. 

Itulah yang membawaku ke sebuah kesimpulan: Penting sekali untuk terbuka pada opsi dan memperluas koleksi sudut pandang. Kita perlu mendengar dan membaca banyak pendapat bukan karena mereka pasti benar, tapi karena mereka membantu kita melihat apa yang tidak kita lihat. Mereka bisa memicu percikan baru di benak kita yang polanya begitu-begitu saja. Jika kita tidak bisa meminjam otaknya orang-orang cerdas, setidaknya ambilah kacamatanya. 

Mengapa orang-orang begitu ingin menjadi benar? Di dunia nyata (misalkan dalam pekerjaan) kita dituntut untuk menjadi efektif, bukan benar. Ada beberapa cara untuk mencapai KPI, dan cara paling efektiflah yang dikejar. Sementara itu, pendidikan di sekolah memicu kita untuk mengejar kebenaran yang diwakili sebuah tanda...

Tanda Ceklis. 

Kita ingin mendapatkan tanda itu di lembar ujian kita. Bersamaan dengan ganjaran untuk menjadi benar, di sekolah ada rasa malu yang hebat yang melekat pada keadaan salah.. yakni Tanda Silang Merah! Aww. Tanda silang pertanda kamu harus mengulang dari awal, dan itu membosankan. Tanda silang berarti kamu tidak mendapat persetujuan guru. Tanda silang berarti orang lain dapat merasa unggul di hadapanmu. Teror yang terbentuk dengan baik terhadap kesalahan menciptakan kebutuhan yang luar biasa untuk menjadi benar. 

Dalam praktek, orang dapat merasa sama sekali benar sekalipun ia membuat kesalahan yang paling mengerikan. Tak seorangpun membuat kesalahan dengan sengaja. Anda membuat kesalahan karena Anda merasa Anda benar. Anda bertindak berdasarkan perasaan kebenaran entah ini sesuai dengan realitas atau tidak. 

Kadang kebenaran yang kita yakini termasuk dalam jenis Kebenaran Emosional: alur pikiranmu sudah cocok dengan emosi yang kamu miliki mengenai suatu subjek. Atau, barangkali kamu sekedar menikmati emosi yang dibangkitkan oleh alur pikiran tersebut.

Contoh kebenaran emosional: Mungkin terasa benar jika kamu putus sekolah hari ini dan memutuskan untuk menikmati masa muda di Hawaii. Ada emosi positif yang terkuak dari keputusan tersebut. Tapi jika mengambil skala waktu jangka panjang, ditemukanlah bahwa kesenangan masa depan bergantung dari kapasitas yang harus dikembangkan di sekolah. Skala waktu membantumu untuk terbebas dari reaksi seketika yang dipicu oleh emosi. 

Poin terakhir adalah tentang Pengetahuan vs Kreativitas. Pengetahuan bukanlah kreativitas, tetapi dalam setiap bidang tertentu, sulit untuk muncul dengan gagasan baru bila Anda tidak memiliki sejumlah gagasan untuk dicoba pada mulanya. 

Sebaliknya, terlalu banyak pengalaman di dalam suatu bidang dapat membatasi kreativitas karena Anda telah mengetahui begitu baik bagaimana segala sesuatunya harus dikerjakan sehingga Anda tidak dapat melepaskan diri untuk mengajukan gagasan baru


----
P.S. Buku asli versi bahasa Inggris berjudul Practical Thinking, dapat dibeli di sini.

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest