Selamat Jalan, Teman Masa Kecilku :'(
10:46:00 pm
Terbangun di pagi
hari, menemukan berita yang baru saja viral di dunia maya: ‘teman masa kecilku’
pergi ke tempat yang sangat jauh.
“Oh yeah, setiap orang pada akhirnya akan berpulang,” pikirku dengan naif, ketika pertama kali mengetahuinya.
Tapi pikiranku
mengajakku mundur, secepat mobil balap di sirkuit, membawaku kembali ke momen ketika aku dan ‘teman masa kecilku’ berada di 'puncak kejayaan’.
Saat itu aku
masih di bangku sekolah, peralihan dari tingkat dasar ke tingkat menengah
pertama.
Labil, rapuh, dan
bodoh. Itulah aku di masa itu.
Dan meskipun
belum pernah bertemu langsung, aku berhutang budi pada ‘teman masa kecilku’.
Waktu kecil aku
tidak terlalu paham saat sedang 'bercakap-cakap' dengan ‘teman masa kecilku’,
tetapi kemudian aku belajar kosakata dan tata bahasa Inggris dengan sukarela
karena ingin mengerti apa yang dia katakan.
‘Teman masa
kecilku’ sangat berjasa, setelah kupikir-pikir.
Dia-lah yang
menemani ‘jalan pikiranku’ ketika teman atau bahkan keluargaku tidak mengerti
apa-apa (dan tidak mau peduli, memang).
Berada bersamanya
dan mendengar cerita dari ‘teman masa kecilku’ sudah bisa membuatku lega
meskipun tak menyelesaikan masalahku.
Ahh, ‘teman masa
kecilku’, kenapa kamu memilih pergi dengan cara yang menyakitkan?
Membayangkanmu punya trauma dan keterikatan sejak kecil, serta pergulatan batin yang kamu hadapi selama 41 tahun hidup di dunia fana ini, itu saja sudah cukup untuk membuatku menitikkan air mata.
Sambil menyaksikan kembali video penampilan-penampilanmu di panggung 17 tahun belakangan ini, tiba-tiba semua lagumu terdengar realistis.
Kamu benar waktu bilang, "Every scar is a story I can tell."
Sangat relevan kalau kamu pernah berkata, "I can't stop what I'm hearing within, it's like a face inside is right beneath my skin."
Kamu bersungguh-sungguh ketika melantun, "Sometimes I just feel like screaming at myself."
Suicide is not a random feeling that you feel once and you act upon it, suicide is a thought that is fed throughout the years.
Membayangkanmu punya trauma dan keterikatan sejak kecil, serta pergulatan batin yang kamu hadapi selama 41 tahun hidup di dunia fana ini, itu saja sudah cukup untuk membuatku menitikkan air mata.
Sambil menyaksikan kembali video penampilan-penampilanmu di panggung 17 tahun belakangan ini, tiba-tiba semua lagumu terdengar realistis.
Kamu benar waktu bilang, "Every scar is a story I can tell."
Sangat relevan kalau kamu pernah berkata, "I can't stop what I'm hearing within, it's like a face inside is right beneath my skin."
Kamu bersungguh-sungguh ketika melantun, "Sometimes I just feel like screaming at myself."
Kini aku
merindukanmu lagi, setelah sekian lama kita sibuk mengurusi hidup masing-masing.
Hai ‘teman masa
kecilku’, kehilanganmu berarti banyak untukku.
Aku tidak tahu
apakah aku bisa menuliskan semuanya di sini.
Banyak perasaan
yang tidak kutemukan istilahnya di dalam Bahasa Indonesia.
Tapi kamu sungguh
hebat, ‘teman masa kecilku’. Kamu biasanya berhasil menerjemahkan emosi-emosi
terdalamku melalui nyanyianmu.
Ngomong-ngomong, beberapa orang pernah bertanya, "Ngapain sih nangisin orang yang nggak dikenal? Ketemu juga belum pernah."
Jawabanku ada dua:
1) Ada orang yang kukenal tetapi kematiannya tidak kutangisi. Jadi, apa salahnya jika ada orang tak kukenal yang kematiannya kutangisi?
2) Aku tidak perlu bertemu langsung dengan Chester untuk menjadikan dia 'teman masa kecilku'. Dengan dia meninggalkan warisan berupa karya-karyanya yang menyentuh hatiku, itu sudah cukup! (Ngomong-ngomong, kamu juga pasti pernah kan, setiap hari bertemu dengan seseorang, hingga bertahun-tahun lamanya, tapi dia tidak meninggalkan jejak signifikan apapun di hatimu?!)
Ngomong-ngomong, beberapa orang pernah bertanya, "Ngapain sih nangisin orang yang nggak dikenal? Ketemu juga belum pernah."
Jawabanku ada dua:
1) Ada orang yang kukenal tetapi kematiannya tidak kutangisi. Jadi, apa salahnya jika ada orang tak kukenal yang kematiannya kutangisi?
2) Aku tidak perlu bertemu langsung dengan Chester untuk menjadikan dia 'teman masa kecilku'. Dengan dia meninggalkan warisan berupa karya-karyanya yang menyentuh hatiku, itu sudah cukup! (Ngomong-ngomong, kamu juga pasti pernah kan, setiap hari bertemu dengan seseorang, hingga bertahun-tahun lamanya, tapi dia tidak meninggalkan jejak signifikan apapun di hatimu?!)
Baiklah kalau begitu, dengan tulisan
sederhana ini kuharap aku bisa mengantarkan teman masa kecilku’ pulang ke tempat dimana rasa sakitnya terhapuskan.
Teriakanmu telah mewakili
pemberontakanku. Eranganmu sudah mewakili kemarahanku. Terima kasih, ‘teman
masa kecilku’.
Ngomong-ngomong, lagu Sharp Edges dari album terakhirmu "One More Light" aku anggap sebagai pesan perpisahan terakhir darimu untukku. Boleh, kan?
Lagipula, pada sebuah wawancara kamu pernah bilang bahwa Sharp Edges adalah satu dari 3 lagu Linkin Park favoritmu (selain Breaking the Habit dan Papercut).
Lagipula, pada sebuah wawancara kamu pernah bilang bahwa Sharp Edges adalah satu dari 3 lagu Linkin Park favoritmu (selain Breaking the Habit dan Papercut).
“I sang things in the lyrics of [One More Light] album that only my wife and closest friends know. I did it because I know there are other people out there who have gone through the stuff I have, and it feels better to know you’re not alone.” -Chester Bennington
#RIPChesterBennington“I sang things in the lyrics of [One More Light] album that only my wife and closest friends know. I did it because I know there are other people out there who have gone through the stuff I have, and it feels better to know you’re not alone.” -Chester Bennington
Mar 20, 1976 – Jul 20, 2017
Visit http://chester.linkinpark.com/
0 komentar