The Story of An Abusive Woman

9:44:00 am

Perkenalkan. Namaku Dewi. Sapto adalah nama ayahku. Jangan berpikir dia berasal dari suku Jawa karena namanya Sapto. Sebetulnya ayahku adalah orang Manado asli. Hanya karena dia lahir tanggal 7 bulan ketujuh tahun 1957, dan tanggal kelahirannya itu mengandung banyak angka tujuh, maka orangtuanya memberi nama Sapto kepadanya, yang berasal dari kata ‘sapta’ (tujuh).

Yah, cukup panjang juga perkenalan ayahku, ya. Sekarang ibuku. Sebagai wanita satu-satunya dalam keluarganya, ibuku terbilang cukup dimanja. Ah, janganlah dikatakan cukup. Nyatanya, dia sangat dimanja. Namanya Hesti. Ini baru orang Jawa.

Siapa bilang orang Jawa itu kalem dan tenang? Tidak semua. Contohnya ibuku. Siapa yang paling banyak berteriak di rumah? Ibu. Siapa yang menjadi sasaran teriakan (dan bahkan makian)? Ayahku. Sebagai anak tengah (yang katanya lebih sensitif dibandingkan anak pertama atau terakhir, katanya sih) aku jelas membela ayah. Namun pembelaan yang kulakukan nyatanya tak juga membuat pertengkaran ayah ibuku meredam. Biasanya keributan makin meledak, bahkan mereka bisa berteriak balik kepadaku, “Anak kecil gak usah ikut-ikutan urusan orang tua!” Oh mi goat… aku hanya bisa menangis, tapi tidak di depan mereka.

Ayahku yang memang super duper pengalah kadang membuatku kesal juga. Soalnya, dia jarang melakukan perlawanan, sementara aku sudah gemas dengan setiap konflik yang mewarnai hari-hariku di keluarga ini. Kerapkali aku menjadi pendukung ayah yang siap dengan yel-yel untuk memotivasi beliau. Tapi ayahku tidak pernah menyukai atau meresponi hal itu. Seberapa parahpun ayah disakiti, dia selalu mengalah. Memaafkan. Melupakan. Dan menerima kembali. Ayah tidak pernah senang atau tertawa puas kalau aku mendukung dia dan tidak memihak pada ibu. Ayah justru akan mengatakan kepadaku, “Kamu enggak boleh kayak gitu. Kamu harus hormat sama orang tua.”

Bahkan pesan ayah sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya adalah tentang ibu. “Jaga mama baik-baik, ya!” begitu kata-kata ayah yang ditinggalkannya, dan kebetulan saat peristiwa itu terjadi hanya aku yang ada di situ! Ke mana dua anak lainnya? Entahlah. Aku merasa jadi harus bertanggung jawab untuk mengemban pesan terakhir ayah itu. Tetapi dari peristiwa itu pula aku sadar, betapa ayah sangat mencintai ibu, meskipun ibu telah memperlakukan dia dengan kurang baik, kurang hormat, dan kurang sayang kepada ayah. Melihat ayah yang begitu luar biasa mau menerima ibu dan mempertahankan rumah tangganya, aku terkagum-kagum. Tak terlalu berlebihan lah jika aku menyebut ayah sebagai ‘pria terbaik’ yang pernah kutemui. Akan kutemukan pria sebaik ayah atau bahkan yang lebih baik dari beliau.

Semenjak aku mulai bisa mikir (aku tak tahu umur berapa itu), aku mulai penasaran mengapa pernikahan ayah ibuku bisa seperti ini. Pemandangan istri kurang respek kepada suami sudah menjadi pemandangan sehari-hari, yang membuatku yakin bahwa semua rumah tangga seharusnya seperti ini. Mungkin aku kehilangan figur ‘istri yang baik’, tetapi akupun tentu tidak bisa menyalahkan ibuku. Mengapa aku tak bisa menyalahkan dia? Karena sebuah fakta yang akhirnya kutemukan…

Tanpa Restu
Perbincanganku dengan ibu pada suatu akhir pekan membuatku mengetahui banyak hal. Di usianya yang sudah cukup matang (27 tahun), ibu memutuskan untuk menikah. Ibu dan ayah bertemu di kantor. Karena mereka bekerja di ruangan yang sama dan sering bertemu, maka cintapun mulai bersemi. Yah, beginilah yang dinamakan cinta lokasi.

Menurutku, ibu bukanlah wanita yang mudah menerima rayuan atau penawaran manis dari para laki-laki. Artinya tidak sembarangan laki-laki bisa melalui jalan yang mulus untuk mendekati ibu. Apalagi, tujuh orang saudara ibu adalah laki-laki semua. Jelas ibuku menjadi ‘ratu’; dia selalu mendapat kawalan dan proteksi dari para ‘bodyguard’ di sekelilingnya.

Dari cerita ibu, aku mengetahui bahwa ayah memang pemalu sejak mudanya. Dalam beberapa kasus, ayahku kurang mengambil inisiatif. Itu sebabnya saudara-saudara ibuku tidak menyukai ayahku. Saat ayah dan ibu pacaran, pertentangan muncul dari banyak pihak, termasuk dari kedua orangtua ibu.

Semakin ditentang, semakin tertantang-lah ibuku. Ibu ingin membuktikan kepada orang-orang yang meragukannya bahwa pria pilihan ibuku ini adalah yang terbaik dan pastinya tidak salah comot. Untuk keputusan ini, ibu termasuk keras kepala. Dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia rasa benar. Dengan kata lain, ngotot.

Cinta memang memiliki kekuatan yang dahsyat, ya. Ayah dan ibu tetap menjalankan hubungan mereka hingga ke jenjang pelaminan. Di hari-H pernikahan mereka, kedua orangtua dari ibuku hadir. Aku pikir nenek dan kakek sudah melunakkan hati dan merestui pernikahan mereka. Ternyata.. “Mereka datang dengan terpaksa,” kata ibuku. Dan yang lebih parah, orang tua dari pihak ayah sama sekali tak menampakkan batang hidungnya di momen bahagia yang berlangsung di Malang tersebut. Usut punya usut, rupanya kedua orangtua ayah juga tidak menyetujui hubungan ini. Di kampung halaman ayah di Manado, kedua orangtuanya sudah mempersiapkan jodoh yang seyogianya akan dipersunting oleh ayah. Tapi apa daya, wanita hasil comblangan kakek-nenek tidak mendapatkan tempat di hati ayah. Ayahku terlanjur cinta dengan ibu.

Pernikahan ayah-ibu bisa dibilang tanpa persiapan matang. Ibu belum paham betul bagaimana menjadi istri yang baik, bijaksana, dan tunduk kepada suami. Mereka berduapun belum melewati konseling pranikah. Semuanya begitu terkesan diburu-buru. Rupanya pernikahan ayah-ibu dilangsungkan karena tragedi ‘hamil di luar nikah’ yang terjadi pada adik dari ibuku (alias pamanku).  Paman bukan hanya menghamili wanita yang kini menjadi istrinya, tetapi sang bayi juga sudah lahir dan usianya sudah 10 bulan! Hampir saja anak ini dibuang ke sungai, dibiarkan hanyut dan mati begitu saja. Namun pihak kakak dari ibuku akhirnya mengadopsi anak ini. Dan bagaimana nasib paman dengan pacarnya itu? Ya, jelas harus dinikahkan. Masa mau kumpul kebo?

Karena lebih tua, ibuku harus menikah terlebih dahulu—tidak boleh dilangkahi oleh adiknya yang harus buru-buru menikah. Alhasil pernikahan dengan ayahku dilangsungkan dengan persiapan minim. Tapi saat melihat foto-foto pernikahan mereka, aku selalu merasa mereka adalah sejoli yang berbahagia di dunia (apalagi karena mereka dikaruniai anak seperti diriku. ahahaha….)

Menikah dengan ayah bukannya tanpa tekanan. “Mama selalu pusing kalau engga ada duit,” begitu jawab ibu saat aku bertanya apakah dirinya menyesal telah menikah dengan ayah. Jawabannya cukup jelas, bukan? Dia tidak mengatakan menyesal pernah menikah dengan ayah, namun diapun tak menampik bahwa pernikahan mereka memiliki masalah tersendiri yang cukup pelik: masalah finansial.


Setia sampai maut memisahkan
Cerita ibu membuatku mengerti banyak hal. “Restu orangtua itu penting, jangan sampai menikah tanpa mendapat restu orangtua,” kata ibu menyimpulkan kisahnya sendiri. Rupanya ibu sudah memahami betapa banyak masalah dan konflik yang kerap timbul karena tidak mendengarkan saran dari kanan-kiri mengenai jodoh yang harus dipilih.

Tetapi aku yakin ibu memilih untuk tidak menyesali pernikahannya dengan ayah yang telah dibangun selama dua dekade lebih. Di hari-hari terakhir ayah di muka bumi ini, ibu selalu setia menjaga dan merawat ayah dengan penuh pengorbanan. Ibu menunjukkan bahwa sebagai istri dia bertanggungjawab dan berbakti kepada suaminya yang sedang sakit parah.

Ahh, memang ibu tidak luput dari kekurangan, tetapi aku ingin mengadopsi semua sisi positif yang dia miliki dan menjadikannya bagian dari hidupku juga.

Ibu bukanlah wanita cengeng, walaupun aku tahu banyak kali dia menangis meskipun bukan di depanku atau anak-anaknya yang lain. Perilakunya memang terkadang keras, tetapi hatinya belum tentu sekeras itu.

Tak dapat kupungkiri, sosok ayah dan ibu yang seringkali ‘berperang’ (aku malah pernah mengklaim bahwa pertengkaran ayah dan ibu sama dahsyatnya seperti Perang Dunia III) membuatku berpikir bahwa semua rumah tangga adalah seperti ini. Alhasil, meskipun aku tak setuju dengan 85% perilaku ibu, aku tetap saja meniru dan menyerupai ibu dalam banyak hal, terutama dalam bergaul dengan laki-laki.

Sikap dominan, tak mau mengalah, otoriter, dan kasar menjadi karakter yang (tanpa kusadari) berkembang dalam diriku. Aku berpikir itu semua sah-sah saja dan tidak apa-apa (karena menurutku wanita lemah lembut adalah wanita tak berdaya yang akan dipermainkan oleh laki-laki!). Namun sebuah artikel di dunia maya membuatku mengerti bahwa karakter itu sama dengan abusive. Ternyata bukan hanya pria yang bisa abusive, tetapi wanita juga! Dengan cara apa? Ya dengan bersikap mengontrol, merengek, dan tidak menghargai orang lain. Wow, gue banget lah pokoknya!

Hari itu, aku mengerti bahwa Tuhan masih memberikan kesempatan bagiku untuk berubah. Tuhan mengingatkanku bahwa ada banyak kesalahan dan kekhilafan yang perlu kuperbaiki.

Okay, I’ll never give up. Aku akan belajar banyak hal baru di depan sana (dan kuharap aku bisa mengajari orang hal serupa kala aku telah menguasainya kelak). Amen for that!

Thank you Lord!



You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest