Resolusi 10 tahun lagi

12:10:00 pm

Seringkali aku bertanya-tanya, kenapa keluargaku seperti ini.

Aku tidak bisa mengeluh, karena keluhan hanya akan memperburuk suasana hati sementara situasi tidak akan berubah. Lagipula, kita kan tidak bisa menentukan dari orangtua mana kita lahir. Pekerjaan, pendidikan, dan pasangan hidup bisa kita pilih; tapi kalau keluarga? Lo harus terima-terima aja apa yang Tuhan berikan sama lo, lalu percaya bahwa itu yang terbaik—seburuk apapun ‘kemasan’-nya!

Terkadang aku menjadi mellow dan berkata, “Apa salah gue, Tuhan?” Dan Tuhan seperti tidak mengiyakan atau menidakkan pertanyaan gue itu. Gue cuma seakan disuruh menerima keadaan bahwa, “ya beginilah keluarga lo, apa adanya, dan tugas lo sekarang adalah mencari cara supaya ini berubah.” Dan gw kemudian menjadi terdiam lemas sembari kebingungan.

Dengan ‘konyolnya’ gw memiliki cita-cita mulia: membangun keluarga yang 180 derajat berkebalikan dengan keluarga yang kumiliki sekarang. Tetapi aku sempat tiba di satu titik dimana aku engga tahu dari mana harus memulainya dan bagaimana caranya. Aku tidak punya keluarga yang bisa dijadikan role model, aku hanya sebatas iri dan memendam asa nun jauh di hati saja.

Terlalu naif jadinya, karena aku dengan gampangnya bilang: “saat aku jadi orangtua nanti, aku engga akan melakukan kesalahan yang orangtuaku pernah lakukan kepadaku.” Buktinya, sekarang aku sudah mengimitasi mereka. Aku sudah meniru hampir semua kelemahan mereka.

Being selfish. Yelling almost at everybody. Being silent when someone bullied me. Having suspicious mind. etc.

Lelah dengan semua ini, berkali-kali aku berjanji akan meniru semua kelebihan yang dimiliki orangtuaku SAJA dan untuk sementara belajar bagaimana mengganti kelemahan-kelemahan tadi.

Aku akan menjadi ibu yang lemah lembut terhadap keluarga dan respect terhadap partner hidupnya. Aku akan menjadi ibu yang memeluk anak-anaknya dan mengatakan aku menyayangi mereka, namun tak lupa juga akan akan mendidik mereka—memberikan mereka penjelasan dan hukuman saat mereka melakukan kesalahan, sehingga mereka tidak perlu merasa takut tidak disayang saat mereka berbuat salah.

Aku akan sebisa mungkin menjadi orang yang bertanggung jawab menjalankan perannya, baik sebagai ibu maupun istri. Aku akan semakin lihai menguasai ilmu komunikasi hari demi hari. Aku akan menunjukkan pada tetangga dan teman-teman lainnya bahwa keluarga yang ideal itu nyata dan bisa dibangun, yakni keluargaku.

Aku akan mendidik anak-anakku seperti seseorang kepada sahabat-sahabatnya—dan aku selalu berharap mereka akan terbuka dan sering curhat kepadaku PERTAMA KALI, bukan kepada pembatu atau teman-temannya. Aku akan berusaha keras mendengar cerita mereka dengan penuh perhatian dan memberikan solusi atau motivasi dengan kata-kata yang sanggup mereka mengerti dan dapat mereka terima—entah ketika mereka masih kecil, memasuki masa remaja yang labil, menjadi dewasa dan mandiri, atau sudah berkeluarga pun. I am still their mother.

Aku akan berusaha keras tidak mengucapkan kata-kata yang merusak dan melukai hati mereka (karena kata-kata manusia memiliki kuasa yang dahsyat). Sebaliknya aku akan memperkatakan hal-hal baik dan penuh berkat kepada mereka, karena memang itu yang kuharapkan terjadi.

Saat menulis semua ini, mendadak aku merasa konyol. Mengapa? Karena aku heran, bisakah aku menjadi seperti demikian? Bisakah lima atau sepuluh tahun lagi aku membaca kembali jurnal ini dan tersenyum bangga karena setidaknya aku sudah melakukan sebagian dari yang kuharapkan di atas?

Bisakah? Aku tidak yakin bisa.

Tetapi bersama Tuhan aku pasti bisa. He is able. So, aku akan bekerjasama dengan Dia.


You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest