Respon
11:48:00 pm
Orang bisa memperlakukan apapun kepada kita (entah
menyakiti ataupun membuat kita senang), tapi yang paling penting adalah RESPON
kita.
Seseorang bisa melukai hati kita karena telah berkhianat,
menipu, atau merenggut hal terbaik yang pernah kita miliki, tapi jika respon
kita adalah ikhlas, mengampuni, dan move on maka kesakitan yang pernah
ditimbulkan orang tersebut tidak lagi menjadi masalah penting bagi kita.
Akhirnya kita terbiasa mengabaikan hal-hal menyakitkan tersebut, dan setiap
kali kita disakiti kita dengan mudah “mengabaikannya karena itu tidak penting.”
Sekarang bagaimana jika seseorang bukan melukai tapi
justru menunjukkan kasihnya kepada kita? Loh,
ya respon yang kita berikan pasti baik, dong! Masa’ orang yang sayang sama
kita, kita responi dengan kebencian?
Memang benar secara teori, tapi kenyataannya tidak selalu
demikian. Sadarkah kita bahwa terkadang orang yang mengasihi kita justru
menunjukkan kepedulian mereka dengan cara yang tidak mengenakkan buat kita?
Jika kita berbuat salah, dan mereka menegur dengan maksud
mendidik kita kembali ke jalan yang benar, apakah teguran itu dengan mudah kita
terima? Seringkali tidak, karena ego dan gengsi kita sedang “disentil” bahkan “disenggol”
saat kita ditegur.
Jika kita ingin membuat sebuah keputusan namun mereka
malah menentangnya dan meminta kita membuat keputusan yang berbeda, apakah
saran mereka akan dengan mudah kita dengarkan? Seringkali tidak, karena privasi
kita sedang “diobrak-abrik” dan kenyamanan kita sedang “diusik” oleh mereka.
Padahal, ini faktanya: jika orang-orang terdekat kita
(keluarga, mentor, sahabat, pemimpin) memberi nasihat/peringatan yang sama
berulang-ulang, berarti memang ada yang salah dengan diri kita atau keputusan
yang kita buat. Hanya saja kita enggan atau malas mengubah keputusan tersebut
karena kita sudah begitu nyaman.
Pernahkah kamu menentang nasihat orangtua atau pemimpinmu
karena menurut kamu mereka terlalu kolot, sok tau, dan tak mengerti perasaanmu?
Pernahkah kamu mengabaikan larangan mereka, dan “menerobos” begitu saja apa
yang ingin kamu lakukan padahal mereka sudah melarangmu sampai berbusa-busa?
Lalu, suatu saat kamu menyesal karena ternyata penilaianmu salah dan “prediksi”
mereka yang benar! Pernahkah itu terjadi padamu, dan kamu kemudian menyesal dan
berkata dalam hati, “Mom, Dad, you were right!”
Ini masalah respon. Sekali lagi, orang-orang di sekitarmu
sebetulnya sedang menunjukkan tanda kasih mereka kepadamu namun saat kamu
meresponinya dengan cuek, pertentangan, bahkan perlawanan, maka kamu sedang
kehilangan bentuk kasih yang mereka tawarkan.
Aku pun pernah (bahkan sering) membuat respon yang salah
atas perbuatan kasih dari orang lain. Aku salah mengartikannya. Kadang aku
berpikir, “Apa yang manusia ini sedang katakan, ya? Kenapa dia terus-terusan
menasihatiku sementara dia tak tahu sejarahku dan cerita hidupku?!”
Padahal, sebenarnya di dasar hatiku yang terdalam aku
sadar bahwa apa yang ia katakan itu “ada benarnya juga.” Aku hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Aku hanya
terlalu malas menerapkan
petuah-petuahnya. Terlebih lagi, aku sebetulnya takut untuk melakukan nasihatnya.
Siapa bilang Tuhan tidak berbicara kepada kita? Tuhan
memakai mulut orangtuamu, sahabatmu, pemimpinmu (di kantor atau di gereja),
atau pasanganmu untuk menyampaikan maksud dan rencana-Nya. Mungkin kamu
meresponinya dengan aksi “tutup kuping” atau “banting pintu kamar” atau “kabur
dari rumah” karena kamu begitu muak dengan segala macam ceramah mereka yang tak
ada habisnya. Tapi ingat: perkataan orang terdekat—yang mengasihi kita—biasanya
benar, dan apa yang mereka perkirakan biasanya akan menjadi kenyataan.
Percayalah.
0 komentar