Hari ini anak-anak di kantor udah pada heboh pagi-pagi, disebabkan oleh postingan Mas Danang (bukan nama sebenarnya) di group chat whatsapp. Postingan doi bukan hanya mencengangkan tapi juga "membangunkan" jiwa-jiwa yang masih ngantuk di pagi yang mendung ini. Postingannya adalah soal perceraian si penyanyi rohani kelas dunia, Israel Houghton, setelah ia mengarungi bahtera rumah tangga 20 tahun lamanya.
Setibanya di kantor, Mas Danang kembali membuka topik diskusi dengan tema "lagi lagi penyanyi rohani ditemukan gagal dalam membangun rumah tangganya" (setelah kasus Franky Sihombing yang bercerai dari istrinya dan kini sudah menikah lagi dengan seorang aktris). Jujur, ini sakit banget didengernya. Apalagi setelah Mas Danang mendapat info dari sebuah portal berita Kristen bahwasanya si Israel ini mengaku telah berselingkuh dari sang istri.
Sedih. Pilu. Bingung.
Itu yang kurasakan saat mendengar kabar duka tersebut. Mungkin kedukaan ini melebihi rasa duka saat pasangan kita meninggal. Kalau seseorang meninggal karena memang sudah waktunya ia berpulang ke surga, tentu kita masih bisa menerima dengan akal sehat dan lebih berlapang dada. Tapi coba kamu bayangkan. Bayangkan. Bila suami/istri yang begitu kamu sayangi memutuskan untuk bercerai darimu. Dia pergi meninggalkanmu. Dia MEMILIH dengan sadarnya untuk pergi meninggalkanmu. Bukankah kamu akan bertanya-tanya, apa arti dari janji nikah yang dulu kalian berdua ucapkan di altar? Apa arti semua pengorbanan dan perjuangan selama 2 dekade pernikahan? Ke mana perginya keringat, darah, dan air mata yang tercurah selama kalian mengarungi bahtera rumah tangga? Memangnya sebesar apa sih, badai yang menggoncang perahu kalian sampai kalian tidak lagi ingin mendayung perahu itu bersama-sama?
Sambil menyeruput segelas teh hangat, aku menghela nafas.
Nyatanya, pernikahan itu tidak sederhana. Pernikahan itu hanya bisa dilakukan 2 orang hebat yang sangat amat berkomitmen ditambah dengan 1 oknum Penyempurna segalanya (yakni Tuhan Yesus).
Pernikahan itu ternyata bukan buat orang cemen, yang dengan gampangnya memilih kabur ketika masalah yang sulit datang. Pernikahan itu ada buat 2 orang kuat yang pantang menyerah.
Ah, aku tahu rasanya putus cinta karena ditinggal pacar, tapi soal pernikahan dan perceraian? Sungguh, itu masih misteri.
Mungkin sama misteriusnya dengan menjadi orangtua. "Aku takkan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi ibu sampai aku benar-benar mempunyai anak."
Tapi sampai kapanpun perceraian adalah hal yang memilukan. Meskipun aku tidak mengenal Israel Houghton atau tokoh-tokoh "rohani" lainnya yang mengalami perceraian, aku bisa menangis memikirkannya.
Hey, dia itu pemimpin pujian, lho.
Dia itu "nge-roh" banget, lho.
Dia itu kalau nyanyi bagaikan menginjak teras surga, lho.
Whatever. Aku tetap berduka ketika tahu bahwa dia bercerai dengan istrinya. Aku merasa, ada hal yang berkurang drastis dari hidupnya, suatu hal yang jauh lebih penting daripada penampilan kerennya di panggung atau karya melodinya yang agung.
Tapi sudahlah. Siapakah aku yang bisa mengekspektasikan pernikahannya harus baik-baik saja? Memangnya aku kenal dia? I mean, lebih baik sekarang aku berjuang keras supaya PERNIKAHANKU NANTI bisa langgeng dan harmonis tanpa perceraian.
Amin.
Menerima kenyataan itu tidak semudah yang terlihat. Kalau kenyataan itu buruk, kamu itu seakan harus menelan obat yang pahit banget.
Menerima kenyataan adalah tahap kelima dari proses kedukaan. Oke, gw bukan psikolog memang, tapi gw dapat informasi bahwa ada 5 langkah yang umumnya dilalui seseorang ketika ia mengalami duka. Ini dia:
5 Langkah dalam melewati Proses Kedukaan
1) Penolakan / Penyangkalan
- berupaya melindungi diri dari perasaan emosional
- terisolasi dari dunia nyata, mati rasa
- tapi bukan berarti tak peduli
2) Kemarahan
- kemarahan ditujukan pada orang yang telah meninggal, orangtua, teman, atau pekerja medis
- kemarahan pada almarhum membuat ia merasa bersalah, dan akhirnya semakin marah
3) Tawar-menawar
- tahap ini bisa terjadi sebelum atau sesudah kehilangan berlangsung
- berupa pikiran mengira-ngira apa-apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah kehilangan
- jika dalam tahap ini ia tidak menemukan solusi, akan timbul rasa bersalah
4) Depresi
- merasakan kesedihan mendalam, lebih daripada yang dapat terbayangkan
- dalam tahap ini, mulai muncul pemikiran bahwa "ini akan terjadi selamanya" atau "tidak ada gunanya melanjutkan hidup"
- jangan berusaha lari dari tahap ini karena ini normal
5) Penerimaan
- mulai menerima kenyataan bahwa orang terkasih sudah pergi
- bukan berarti kenyataan itu membuat dirinya baik-baik saja, hanya saja dia menerimanya
- tahap ini terjadi berulang-ulang kali, mengingat proses kedukaan biasanya berlangsung lama
Menerima kenyataan bahwa hal menyedihkan sudah terjadi adalah tahap terakhir dari proses kedukaan, karena setelah tahap ini dilewati biasanya kita mampu memulai kembali 'lembaran hidup baru' dan melihat duka yang ada dari sisi positif.
Tapi menerima kenyataan itu butuh waktu. Ya, lihat saja ke-4 tahap sebelumnya yang mesti dilalui untuk sampai di tahap Penerimaan. Tapi penulis punya keyakinan tersendiri, bahwa jika kita mau memilih untuk melaluinya dengan cepat, kita bisa. Mengapa lebih cepat lebih baik? Karena menangis dan meratapi keadaan adalah proses yang bisa menguras energi, waktu, dan sumber daya. Kita bisa menjadi lemah lesu, malas ngapa-ngapain (males mandi, males makan, makan sikat gigi), atau justru sebaliknya kita malah jadi melakukan hal-hal merusak (seperti makan sebanyak-banyaknya tanpa pedulia bahwa itu junk food, atau tidur seharian yang malah akhirnya bikin kepala pusing dan badan pegel-pegel). Tuh kan, bersedih terlalu lama itu nggak asik. Malah membuat kita kehilangan waktu untuk melakukan hal-hal seru dan berguna.
Itu sebabnya, penulis berpikir, jika kita bis amelalui tahap 1 s.d. 4 dengan cepat, maka dengan mudah pula kita bisa langsung menuju tahap 5. Menerima kenyataan.
[bersambung...]