Menerima Kenyataan

9:14:00 pm

Menerima kenyataan itu tidak semudah yang terlihat. Kalau kenyataan itu buruk, kamu itu seakan harus menelan obat yang pahit banget.

Menerima kenyataan adalah tahap kelima dari proses kedukaan. Oke, gw bukan psikolog memang, tapi gw dapat informasi bahwa ada 5 langkah yang umumnya dilalui seseorang ketika ia mengalami duka. Ini dia:

5 Langkah dalam melewati Proses Kedukaan

1) Penolakan / Penyangkalan
- berupaya melindungi diri dari perasaan emosional
- terisolasi dari dunia nyata, mati rasa
- tapi bukan berarti tak peduli

2) Kemarahan
- kemarahan ditujukan pada orang yang telah meninggal, orangtua, teman, atau pekerja medis
- kemarahan pada almarhum membuat ia merasa bersalah, dan akhirnya semakin marah

3) Tawar-menawar
- tahap ini bisa terjadi sebelum atau sesudah kehilangan berlangsung
- berupa pikiran mengira-ngira apa-apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah kehilangan
- jika dalam tahap ini ia tidak menemukan solusi, akan timbul rasa bersalah

4) Depresi
- merasakan kesedihan mendalam, lebih daripada yang dapat terbayangkan
- dalam tahap ini, mulai muncul pemikiran bahwa "ini akan terjadi selamanya" atau "tidak ada gunanya melanjutkan hidup"
- jangan berusaha lari dari tahap ini karena ini normal

5) Penerimaan
- mulai menerima kenyataan bahwa orang terkasih sudah pergi
- bukan berarti kenyataan itu membuat dirinya baik-baik saja, hanya saja dia menerimanya
- tahap ini terjadi berulang-ulang kali, mengingat proses kedukaan biasanya berlangsung lama

Menerima kenyataan bahwa hal menyedihkan sudah terjadi adalah tahap terakhir dari proses kedukaan, karena setelah tahap ini dilewati biasanya kita mampu memulai kembali 'lembaran hidup baru' dan melihat duka yang ada dari sisi positif.

Tapi menerima kenyataan itu butuh waktu. Ya, lihat saja ke-4 tahap sebelumnya yang mesti dilalui untuk sampai di tahap Penerimaan. Tapi penulis punya keyakinan tersendiri, bahwa jika kita mau memilih untuk melaluinya dengan cepat, kita bisa. Mengapa lebih cepat lebih baik? Karena menangis dan meratapi keadaan adalah proses yang bisa menguras energi, waktu, dan sumber daya. Kita bisa menjadi lemah lesu, malas ngapa-ngapain (males mandi, males makan, makan sikat gigi), atau justru sebaliknya kita malah jadi melakukan hal-hal merusak (seperti makan sebanyak-banyaknya tanpa pedulia bahwa itu junk food, atau tidur seharian yang malah akhirnya bikin kepala pusing dan badan pegel-pegel). Tuh kan, bersedih terlalu lama itu nggak asik. Malah membuat kita kehilangan waktu untuk melakukan hal-hal seru dan berguna.

Itu sebabnya, penulis berpikir, jika kita bis amelalui tahap 1 s.d. 4 dengan cepat, maka dengan mudah pula kita bisa langsung menuju tahap 5. Menerima kenyataan.

[bersambung...]

You Might Also Like

1 komentar

  1. maybe kisah di bawah related :)

    Saya pernah nanya begini kepada beberapa orang peserta pelatihan: "Misalnya anda bangun terlambat menuju ke bandara. Secara kalkulasi jelas gak bakalan kekejar. Tapi anda teruskan itu ke bandara. Eh lha kok macet parah. menurut anda sial atau beruntung?
    Peserta : "Sial pak ... Udah bangun telat eh kena macet"
    Saya : "Lha ... Ternyata pesawat anda delay penerbangannya 4 jam. Sehingga anda bisa naik pesawatnya, alias enggak ketinggalan. Ini anda sial atau beruntung?"
    Peserta : "Wah ya beruntung pak"
    Saya : "Nah di ruang tunggu yang sama, ada orang yang mengejar kerjasama bisnis. Kalau terlambat ia kehilangan proyek bernilai milyaran rupiah. Gara-gara delay pesawatnya, dia kehilangan proyek itu. Menurut anda, orang itu sial atau beruntung?"
    Peserta : "Sial pak"
    Saya: "Nah, tapi beberapa bulan kemudian. Ternyata teman orang itu, yang memenangkan proyek karena orang itu pesawatnya delay, ternyata temannya kena tipu milyaran rupiah. Gara-gara pesawat delay 4 jam, orang itu tidak kena tipu. Orang itu sial atau beruntung?"
    Peserta : "Ya beruntung pak"
    Dari percakapan di atas, nampak bahwa sebenarnya penilaian kita atas peristiwa bisa berubah seiring waktu. Ya, seiring waktu, lalu ada kejadian lain setelahnya, maka judgement kita atas peristiwa, bisa berbalik 180 derajat.
    Sebuah peristiwa yang kita katakan sial pada suatu waktu, 6 bulan, 1 tahun, 10 tahun mendatang, bisa jadi malah kita syukuri.
    Mungkin saja, ada kejadian pagi ini, kemaren, 1 tahun lalu, 5 tahun lalu yang masih sulit anda terima. "Beruntung dimananya? Jelas jelas saya disakiti?". Mungkin begitu penilaian anda. Tapi, lihat saja seiring waktu berlalu. Karena semua hal dalam hidup tidaklah tetap. Semuanya mengalir. Semuanya berubah.
    Penderitaan dimulai, saat Kita kaku dalam menilai. Kita terus menerus memegang penilaian atas sebuah peristiwa yang tidak enak. Dan menutup mata, terhadap peristiwa kelanjutannya. Yang mana sebenarnya peristiwa kelanjutannya itu, menjelaskan fungsi dari peristiwa tidak enak yang sebelumnya.
    Kita akan tersesat di Jakarta, kalau menelusuri kota Jakarta tahun 2015, dengan menggunakan peta Jakarta tahun 1950.
    Kita perlu mengupdate peta kota Jakarta yang kita miliki. Karena Jakarta terus berubah.Kita pun akan tersesat dalam hidup, saat kita tidak mengupdate peta penilaian kita atas peristiwa.
    Kita melihat orang, dengan peta penilaian jadul. Kita menilai peristiwa dengan peta yang kadaluarsa. Bisa jadi orang yang kita benci 5 tahun lalu, sekarang dia berubah 180 derajat jadi orang baik. Lalu mengapa masih jadi penderitaan bagi kita?Karena kita masih memegang erat peta lama dalam menilai orangnya.
    Mari kita update peta kehidupan kita

    ReplyDelete

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest