Ditampar Kehidupan

9:30:00 am


Sebagai orang yang emosinya agak-agak tumpul, gw suka kaget kalo tiba-tiba ketemu perasaan senang banget atau sedih banget. Kalau senangnya medium, atau sedihnya medium, ya gw palingan biasa aja. Seperti ngga terjadi apa-apa. Jadi harus di volume high hingga ultra-high dulu baru gw ngeh dan bisa bereaksi (jadi girang banget atau nangis banget).

Tetapi dalam kesedihan tuh gw paling banyak dapet insight sih. Soal perspektif, soal keyakinan... dan gw biasanya dapet banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gw. Ibaratnya setelah nangis, seluruh sumbatan dan racun-racun yang menyebabkan otak gw terbelakang, mendadak luruh. Hahahaha. Sungguh proses yang memuaskan sekaligus menggilakan. 

Udah aah, langsung ke topik pembicaraan. 

#1 Dalam kesedihan, kita dipaksa mendefinisikan ulang tujuan kita. 

"Oh ternyata di dunia ini ada yang namanya A."
"Oh rupanya kalau B dilakuin terus-menerus ujungnya jadi begini."
"Oh ternyata quotes yang bilang C adalah blablabla ternyata salah ya."

Dalam buliran (elah, emang Pulpy Maid) air mata yang bikin sesenggukan, perlahan-lahan kita mulai evaluasi. Mulai aktifin logika. Kemarin-kemarin dikubur entah di mana. Kehidupan udah menampar kita sampai bonyok--sekarang waktunya berpikir keras agar tamparan itu tidak mendarat lagi.

Ada deretan kata yang bagus dari buku Charlie Si Jenius Dungu karangan Daniel Keyes:
"... setiap manusia memiliki barometer penderitaan dengan ukuran satu sampai sepuluh. Tidak seorang pun akan berubah, sebelum penderitaan mereka mencapai angka sepuluh. Sembilan belum cukup. Pada peringkat kesembilan, kau masih takut. Hanya peringkat kesepuluh yang akan membuatmu tergerak."

#2 Kesedihan bikin kita lebih relate dan empatik. 

Coba deh lo dengerin cerita temen lo yang lagi sedih ketika lo sendiri lagi sedih.

Lo bisa bener-bener nyelamin kenapa mereka sesedih itu. Dan semua yang dia bicarakan terdengar masuk akal. Ngga ada yang lebay. Lo bahkan bisa nangis bareng dia. 

Beda kalau lo denger cerita mereka ketika lo lagi hepi atau lagi biasa aja. Kemungkinan besar dalam hati lo bakal menggumam, "Yah elah gitu doang, ngapain disedihin. Santay aja kali." 

Contoh lain: dengerin lagu sedih ketika lo lagi sedih. Itu rasanya setiap kata dalam liriknya berbicara tepat di lubang kuping lo. Seakan lagu itu ditulis untuk elo. Lo ngga sendirian. Angkat topi untuk para pembuat lagu mellow.

Buat my fellow Christian readers, dengerin lagu rohani pas lagi sedih tuh.. setiap lirik jadi aliran sungai di padang gurun. Asli. Salah satu yang gw selalu suka dari Kekristenan adalah betapa puitis lagunya.

"Hadirat-Mu menghanyutkanku... "
"Terima kasih buat cinta-Mu yang tanpa batas..."
"Ku berharga di mata-Mu..."
"Kau singkapkan mataku dengan kasih-Mu..."
"Dekat dengan-Mu, itulah yang kurindukan..."

Romantis semua yaak!

#3 Jangan menyangkali kesedihan--peluk dia!

Ini mungkin bagian tersulit. Mengingat bahwa tangisan itu bikin mata bengkak, kulit keriput, dan hilang nafsu makan, kadang kita mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis. Lagipula kita ingin terlihat bahagia dan kuat, maka kita sebisa mungkin menahan.

Ngga gitu sayang! Ngga bagus buat diri kita. Kesedihan datang menghampiri untuk menandakan bahwa ada bagian dari perasaan kita yang terusik, ada keyakinan kita yang diganggu, ada ekspektasi kita yang tertolak. Terima perasaan itu--lalu menangis kalau perlu menangis. 

Kesedihan mungkin akan berlangsung lama.. tapi tidak permanen. Lambat laun dia pamit sendiri, segera setelah kita meluangkan waktu untuk dikasi kursus kehidupan sama dia. 

Sebagai penutup, ini kutipan yang bagus, sangat berkaitan dengan masa-masa suram pandemik COVID-19 yang membuat kita larut dalam lara.


Kita cukup kuat untuk membuka pintu pada kesedihan yang bertamu. Peluklah dia.


EDIT (15 May 2020)

Nemu riset yang menunjukkan apa yang gw bilang di paragraf pembuka. Ternyata secara ilmiah yang gw rasakan itu valid.


Based on EEG scans showing the INTP is oblivious to social appropriateness until the stimulus reaches a certain threshold. Then s/he gets extremely emmbarassed all at once.

By contrast the ENFJ shows a nice linear increase in embarassment as the stimulus increases.


Gw INTP sejak a few years ago dan ga ganti-ganti meskipun tes MBTI berkali-kali. (Uhm, kalian ada yang antipati sama MBTI? Plis guys itu tuh jauh lebih masuk akal daripada zodiak, LOL)

Maksud dari penemuan Dario Nardi di atas, INTP lambat merespon secara emosional (contoh kasus di sini: embarassment) dan butuh stimulan tinggi baru bisa ngeuh. Nah loh. 

---

Photo by Annie Spratt on Unsplash

You Might Also Like

1 komentar

  1. Likeeee...buliran lara..ih yen tp klo d quora loe kok agak sangar c haha...tulisan blog ama quora emang dbedain ya..

    ReplyDelete

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest