Kami perempuan.
Kami terbiasa
memastikan semua dalam keadaan teratur.
Rumah jangan sampai berantakan, pekerjaan kantor tidak boleh keteteran, dan pakaian harus tersusun
dengan pengelompokan berdasarkan fungsinya.
Maka, keadaan
yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kami frustrasi.
Kami perempuan.
Ketika pasangan
kami mendadak diam, kami gelisah bukan main.
Yang kami tahu,
ada sesuatu yang salah sedang terjadi pada orang yang kami kasihi.
Kami jelas paham, betapa berbedanya sorot matanya hari ini.
Tetapi, perang
dingin yang kalian canangkan—sebuah bentuk kesunyian yang mirip tembok tak
tertembus... telah membuat kami risau!
Jika kami membuatmu marah, beritahukan apa salah kami.
Bahkan jika memang ada perempuan lain yang akhirnya membuat kalian memilih
diam terhadap kami.. sungguh, tolong, katakan yang sejujurnya pada kami.
Karena bagi kami,
lebih baik kalian membuat kami menangis karena kejujuran daripada membuat kami
tersenyum karena kebohongan!
Ya Tuhan.. kenapa
kalian tak juga membuka suara.
Kalian mendadak
bisu dan tuli, ketika kami tanya “Kenapa?” sampai puluhan kali.
Haruskah kami memohon seperti seorang narapidana meminta kebebasan pada
hakim?
Perlukah kami berlutut di hadapan kalian, supaya kalian bicara?
Berkali-kali
kalian berkata, “Berhenti bertanya. Ini bukan tentangmu.”
Tapi jawaban
kalian hanya sebuah retorika! Jika bukan karena kami, lalu mengapa engkau
mendiamkan kami?
Kami perempuan.
Kami tidak
mengerti pola-pola logis yang selalu kalian banggakan.
Sekali lagi. Kami
terbiasa mengontrol segala sesuatu: pola makan anak-anak, letak perabotan, dan
jadwal piket di rumah.
Kami merasa aman
saat semuanya terkendali.
Dan apa yang
sedang kalian lakukan—pendiaman yang terus kalian tampilkan... adalah
penghinaan terhadap rasa aman kami.
Kami perempuan.
Jangan tanyakan
mengapa kami tidak bisa tidur nyenyak dan tak punya nafsu makan.
Chat yang tak terbaca, dering telepon yang tak terangkat, surat yang tak
terbalas...
Sikap kalian-lah yang
menyebabkan kami demikian resah.