Kita dan Matematika

6:42:00 pm


Suatu pekerjaan dapat diselesaikan oleh 10 orang pekerja dalam 5 hari. Jika ada 25 orang pekerja maka dalam berapa hari pekerjaan itu dapat diselesaikan?

Masih inget tuh soal Mat jaman SD?
Gimana coba cara ngerjainnya?

Kalo lo masih inget dengan prinsip 'rasio' menurut kurikulum tahun 1994 yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka cara lo menjawab soal di atas adalah sebagai berikut:

(10/25) x 5 hari = 2 hari.

Jadi, prinsip dasarnya adalah, 
(yang diketahui / yang ditanya) x nilai

Prinsip 'rasio' yang lain justru sebaliknya. Nih, coba cekidot soal yang satu ini:

Untuk membuat 30 buah kue diperlukan telur sebanyak 4 kg. Jika akan membuat 75 buah kue, maka diperlukan telur sebanyak ..... ?

Cara menjawabnya begini,

(75/30) x 4 kg = 10 kg.

Prinsipnya di sini justru,
(yang ditanya / yang diketahui) x nilai

Gw udah tau lo mau nanya apa. (Sok tau akut mode: ON) 
Lo mau nanya "kenapa koq bisa beda ya?"

Sebelumnya, gw mau kita ber-intermezzo dikit. Dikit doank koq, serius.

Yang membuat matematika seringkali menjadi sulit dan seperti kumpulan rumus yang tanpa arti adalah, karena kita tidak melihat relevansinya dengan kehidupan kita sehari-hari. Contohnya, integral. Itu termasuk materi Matematika yang sulit, baru dipelajari kalau kita kuliah di jurusan teknik-teknikan. Nama pelajarannya juga bertransformasi jadi (agak) keren, yaitu "Kalkulus". Hehehe.

Semua yang pernah ngejalanin Kalkulus pasti setuju deh kalau bab tentang Integral tuh nggak gampang. Kenapa? Salah satu alasannya adalah karena integral (tampak seperti) nggak ada hubungannya dengan hidup kita. Kayaknya pas gw bangun pagi, gw bisa aja bangun tanpa mikirin integral. Gw bisa makan enak dan kenyang walaupun tidak menghitung integral dari y kuadrat. Terus, kalo kaki gw gatel-gatel, gw koq nggak memerlukan integral lipat 3 buat menghilangkan rasa gatal itu?

The point is,
kita sejak kecil "dicecoki" indahnya angka dan simbol-simbol Yunani serta rumus-rumus ajubile mengenai Mat, namun seringkali kita tidak melihat hubungan mereka semua dengan hidup kita. 
Phytagoras ya Phytagoras, cowok ganteng ya cowok ganteng.
Aljabar ya Aljabar, manjat pohon ya manjat pohon.
Bangun Ruang ya Bangun Ruang, ayam bakar ya ayam bakar.

Kita melihat Matematika itu sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan ini. 
Tapi menurut gw, seharusnya tidak demikian. Kenapa? Karena matematika itu ilmu. Ia memindahkan logika yang asalnya 'tumbuh liar' di otak Einstein, Aristoteles, dan Descartes ke dalam sebuah perumpamaan yang diwakili oleh angka dan simbol. Logika (dari kata 'logos' = ilmu) itu terejawantahkan ke dalam wujud yang lebih manusiawi. Kalau dicari-cari, dari mana asal logika itu? Semua ilmuwan--meskipun berada pada rentang waktu dan di tempat berbeda di dunia ini--akan sama-sama menjawab: logika itu berasal dari alam semesta. 

Cendekiawan-cendekiawan purba dari peradaban masa lampau memahami bahwa satu hari dapat didefinisikan sebagai bobot 24 jam, dan 1 jam terdiri dari 60 menit. Lalu rata-rata satu bulan memiliki 30 hari. Bahkan penetapan yang mereka lakukan ribuan tahun silam masih tetap awet dan tak lekang dimakan jaman; buktinya di masa kini kita masih mempergunakan standar yang mereka buat. Tak perlu diubah atau direvisi karena pakar-pakar hebat di jaman internet ini pun tidak menemukan adanya kejanggalan dalam teori mereka. 
Dari mana nenek dan kakek moyang kita memperoleh pemahaman itu? Dari alam semesta ini. Mereka melihat, merasa, dan berpikir. Mereka menjalani sendiri keajaiban demi keajaiban di planet bumi ini.

Sebagian dari kita sudah tak asing juga dengan struktur jembatan yang melengkung yang ternyata meniru bentuk telapak kaki manusia, lalu konstruksi kubah stadion yang meng-copycat bentuk cangkang telur, dan lain-lain. Meskipun tampaknya hanya mencontek konsep desain semata, tapi ada alasan kuat di dalam penerapannya.

Semua ilmu berasal dari alam semesta ini. Ilmu (ilmu apapun, termasuk Matematika) tidak berada di luar jagad raya ini. Ilmu ada di dalam perut bumi, ada di tingginya awan-awan, ada di dasar samudera. 

Lalu, bagaimana dengan ilmu mengenai ASAL-USUL ALAM SEMESTA? Jika ilmu berasal dari alam semesta, maka dengan ilmu bagaimana/ilmu apa kita dapat mengetahui permulaan alam semesta?

Jawabannya sederhana. 
Alam semesta (dan isi-isi di dalamnya seperti matahari, langit, lumut, kecoak, dll) tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi telah ada karena DIJADIKAN. Alam semesta tidak menciptakan dirinya sendiri, tetapi ada Oknum lain yang menciptakan dia. 

Tunggu, tunggu! 
Berarti, ada ilmu yang lebih daripada ilmu di dalam alam semesta ini?
Berarti, ada ilmu yang melampaui matematika, biologi, astronomi, geologi, termodinamika, musik dan lainnya?
Ada ilmu LAIN yang bisa menjadi alasan mengapa ilmu-ilmu itu ada!

Yups.
Oknum itu, yang menciptakan jagad semesta raya ini, adalah Tuhan.
Dia tidak dijadikan oleh siapapun/apapun.
Dia tidak pernah tidak ada. 
Dia ada saat manusia pertama belum lahir. Dan saat manusia terakhir di dunia ini matipun, Dia ada.
Kalo bumi gonjang-ganjing, langit runtuh, dunia hancur lebur dan tak bersisa?
Hei, Tuhan tidak ikutan hancur. Dia tetap ada.

Terus, hal apa yang bisa membuat Dia tidak ada?
Jawabannya: Tidak ada.
Tidak ada apapun, mau di langit kek, di bumi kek, di dalam air kek, atau di galaksi lain yang dapat menghilangkan atau mengadakan Tuhan.
Itulah alasannya mengapa "Alpha dan Omega" merupakan salah satu 'gelar' yang Ia sandang. 
Artinya: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir. Kekal.

Suilt untuk memahaminya?
Tentu saja, soalnya kita sebagai manusia (lo masih manusia kan?) hidup dalam waktu (Yunani: chronos). Kita bisa mencatat dengan presisi tanggal, bulan, tahun, bahkan detik di mana kita lahir. Kita bisa menghitung berapa umur eyang tetangga kita. Kita bisa menentukan berapa menit lagi sinetron kesayangan kita akan tayang di tipi. Hari demi hari kita bertambah tua. Itulah MASA. Itu semua menunjukkan, hidup kita dibatasi oleh waktu. Kita perlu jam bukan? Setidaknya, jika kita tidak mampu beli jam di toko-toko jam terdekat, kita perlu untuk melihat siklus pergerakan si Surya agar kita dapat menghitung hari. 

Bagi Tuhan, waktu itu tidak ada. Dia tidak memiliki batas. Beberapa kosakata (vocabulary) dalam bahasa Inggris mendefinisikan Pribadi ini sebagai The One who is everlasting, eternal, infinity, lasts forevermore, etc.

Nangkep maksudnya tapi bingung?
Wajarlah. Namanya juga Dia tuh Tuhan. Masa' kita yang diciptakan bisa lebih mengerti dari Pencipta kita?!

Suatu kali, lo hendak membuat ukiran batu pahat. Lo membuat ratusan ukiran dengan hasil yang berbeda-beda, baik dari segi ukuran, bentuk, warna, dll. Tapi apa kesamaan yang terdapat dalam semua karya lo itu? Semuanya memiliki sidik jari lo. Di suatu area, di suatu tempat. Ada identitas lo yang 'melekat' di sana. Ada nafas lo dalam setiap karya lo. 
Begitu juga dengan segala ciptaan Tuhan di jagad raya ini. Ada 'partikel' Tuhan yang melekat di bebatuan, aliran air, embun pagi, gunung menjulang, burung merak, dan terutama di manusia. (Karena di antara semua ciptaan-Nya, tahukah elo bahwa hanya manusia-lah yang Tangan Tuhan sendiri langsung membentuknya dari debu tanah? Ciptaan-Nya yang lain selain manusia, terbentuk dengan firman (perkataan, bukan tangan)).

Jadi sekarang, kita menyadari bahwa Tuhan menciptakan bumi dan segala isinya dan di dalamnya terkandung ilmu-ilmu yang merujuk kepada-Nya, karena Dia adalah The Creator, The Maker. Dari sinilah, gw secara pribadi sangat yakin bahwa tidak ada ilmu yang tidak berasal dari Tuhan dan tidak untuk Tuhan. Semua berasal dan kembali kepada Dia.

Ilmu yang sesungguhnya, pasti selalu mengarahkan si murid kepada pengenalan akan Tuhan. Saat kita belajar biologi, seharusnya kita mengenal Tuhan. Saat kita belajar Matematika, seharusnya kita jadi menemukan Tuhan. Saat kita belajar teori ilmu musik dan memainkannya, seharusnya kita makin mendekat pada Tuhan. Pokoknya, the center is God.
Selain dari itu, maka ilmu tersebut pastilah sesat. Tetapi kesalahan bukan terdapat pada ilmu itu sendiri (karena, coba deh bayangkan, mungkinkah kita menciptakan ilmu 'baru' yang di luar dari alam semesta ini? Bukannya hanya alam semesta ini yang kita lihat?). Kesalahan ada pada manusia yang mengetahui ilmu itu, lalu ia mencampuradukkannya dengan rasional dari otaknya yang cuma seberat 1,4 kilogram (maksudnya, terbatas). Jadilah, ilmu yang model demikian tidak lagi menjadikan Tuhan sebagai pusat, melainkan manusia sebagai pusat. Atau hal lain. Yang bukan Tuhan.

"Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan." - Yohanes, dalam kitabnya di pasal satu ayat tiga.

Karena itu kita bisa memahami bahwa pemahaman akan semua ilmu diawali terlebih dahulu dengan pengenalan akan Tuhan.

"The fear of the LORD is the beginning of knowledge."
- Raja Salomo, dalam kumpulan amsalnya di pasal satu ayat tujuh.
(knowledge = hikmat = ilmu) 

Yuk balik lagi liat soal pertama.
10 orang pekerja dalam 5 hari. Jika ada 25 orang pekerja maka dalam berapa hari pekerjaan itu dapat diselesaikan?

Kalau mengikuti rumus : (yang diketahui / yang ditanya) x nilai, sudah pasti kita akan dapetin jawabannya. Yakni (10/25) x 5 hari = 2 hari. Tapi, dijamin deh lo akan sebatas TAHU tapi NGGAK NGERTI. Apalagi kalo soalnya berupa Pilihan Ganda, wuihh langsung aja contreng opsi A, B, C, D, atau E. Abis itu, lo gak akan 'ngeh' dengan apa yang baru saja lo jawab. Maksud gw, selama ini sistem pendidikan yang ada memampukan kita untuk DAPET JAWABAN secara INSTAN. Proses untuk mengerti, merenungkan, dan memahami, tidaklah penting. Apalagi proses untuk menerapkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Yah, seperti yang udah gw ungkapkan di atas tadi. Matematika ya matematika, tapi kalo gw ngantuk ya tidur, bukannya mikirin berapa sinus 230 derajat! Hehe.

Makanya, sekarang coba kita 'meditasi'-kan soal tadi.
Ada 10 orang pekerja. Kira-kira proyek apa sih yang sedang mereka kerjakan? Anggaplah mereka adalah 10 orang pegawai teladan yang dapet petuah untuk membangun menara Triple Tower (nggak mau kalah sama menara Twin Tower di Kuala Lumpur ceritanya. Hehe). Triple Tower itu rencananya dibangun untuk gedung baru DPR. Soal budget? Nggak usah dipikirin. Itu urusan mumetnya si Seksi Pendanaan.
Dalam 5 hari haruslah proyek megabiaya ini selesai. Kita bayangkan saja 10 pekerja tadi antara lain terdiri dari Hulk, Superman (walaupun katanya sih Superman is Dead), dan Spiderman. Konon, 5 hari bikin gedung untuk DPR sih bukan masalah besar. 
Oke, sekarang ada tawaran untuk menambah jumlah personil mereka yang tadinya cuma 10 menjadi 25. Mantabs. Nalar kita langsung 'jalan'. Kalau 10 orang kuat bisa kerja dalam waktu 5 hari, maka 25 orang kuat pastinya bisa mengerjakan kurang dari 5 hari. Antara 1 atau 2 atau 3 atau 4 hari.

Kalau 'meditasi' yang tadi nggak dikasitau, gw yakin sebagian besar dari kita akan menghitung begini:
10 orang selesai dalam 5 hari.
20 orang selesai dalam 10 hari.
30 orang selesai dalam 15 hari.
Jadi, kalau 25 orang selesainya sekitar 12 atau 13 hari lah...

Ngaco kan? Mana mungkin, tambah tenaga, malah tambah lama.
Inilah yang namanya "mengerti", bahwa kita gak boleh hanya tahu dan dapet jawaban. Kita harus paham. Betul-betul meresapi sebuah persoalan. Jawaban 12 atau 13 hari (yang ngaco tadi) itu dijawab dengan nalar yang rasional juga kan, tapi dapet hasilnya salah. Dan malah nggak masuk di akal. 
Sesuai dengan penghitungan rumus, kita mendapati bahwa jawabannya ternyata adalah 2 hari.

Budaya instan di masa kini tampaknya membuat generasi kita gagal untuk memahami pentingnya sebuah proses. Ini itu gampang, ini itu cepat. Pake lama? Udah basi, cyinn! Sekarang jamannya GAK PAKE LAMA. Butuh data, ngapain susah-susah menggali di buku di perpustakaan? Pakai aja internet, copy-paste, nilai dapet 90. Nyari arti kata-kata sulit, ngapain pake ritual buka kamus tebel? Males banget, deh. Tinggal pake fasilitas Google Translate atau kamus online. Apa lagi? Nyari pacar pake doa dulu? Duhh, kelamaan atuh. Comot sana sini aja, bertebaran. Sekarang pilihannya bisa lebih luas lagi: mau yang di dunia nyata atau di dunia maya? Mau yang bertahan hitungan tahun, bulan, atau hari? Gitu aja kok repot!

Inilah kita, dan termasuk gw di dalamnya. Perjalanan tidak lagi penting, yang penting tujuan. Tapi sadar nggak sih, selama ini kita sering banget lihat dan alami bahwa apa yang cepat diperoleh, cepat juga hilang. Kayaknya koq nggak awet melulu.

Ya sudah, itu tidak perlu dilanjutkan, karena bukan inti dari pembahasan kita kali ini. 

Kembali lagi ke soal Matematika, yang kedua.
Untuk membuat 30 buah kue diperlukan telur sebanyak 4 kg. Jika akan membuat 75 buah kue, maka diperlukan telur sebanyak ..... ?

Mulai membayangkan.
Ada 30 buah kue rainbow cake yang lezat. Kue ini butuh 4 kg telur. Lalu suatu hari kita mau buat 75 buah kue yang sama. Apakah telur yang dibutuhkan semakin sedikit? Engga, kan? Justru makin banyak, pasti jumlahnya lebih dari 4 kg. 
Jadi, perhitungan kita sederhana aja.
30 buah kue butuh 4 kg telur.
60 buah kue butuh 8 kg telur.
90 buah kue butuh 12 kg telur.
Berarti, 75 buah kue butuh sekitar 9 sampai 11 kg telur. Setuju, kan?

Rumus yang sudah ditentukan adalah seperti ini:
(yang ditanya / yang diketahui) x nilai

Jadi, kita bisa menghitung bahwa telur yang dibutuhkan adalah
(75/30) x 4 kg = 10 kg.
Tepat seperti prediksi kita, yakni antara 9 - 11 kg. Bingo!

Perbedaan pada soal pertama dan kedua adalah, soal pertama disebut perbandingan (rasio) terbalik, sedangkan soal kedua disebut perbandingan (rasio) lurus. 

Berbanding terbalik tuh kayak gini: semakin banyak input, output malah semakin sedikit.
Berbanding lurus tuh kayak gini: semakin banyak input, maka output pun semakin banyak.

Konsep inilah yang harus dijejalin ke otak. Bukan cuma rumus semata, yang gw yakin akan mudah dilupakan seiring pertambahan uban. #eh

Itulah cerita tentang Si Ilmu.
Dia berasal dari Tuhan, Sang Pencipta Yang Maha Agung.
Si Ilmu ternyata tidak jauh dengan kehidupan kita. Dia dekat, dia bisa 'diraba' dan 'diajak bicara'. Maksudnya, dia tidaklah terpisah dari alam semesta ini. Aku dan kamu dan ilmu, kita bersinergi.

Memang ada sejumlah besar ilmu yang sulit untuk dimengerti. Itulah alasan kenapa ada beberapa di antara kita yang harus mengulangi mata pelajaran tertentu lebih dari satu kali dan beberapa ujian membutuhkan aksi begadang 7 hari 7 malam. Itu berarti, tidak semua ilmu mudah dimengerti. Memang beberapa ilmu cukup sulit, bahkan sangat sulit. Contohnya yang pernah gw alami adalah, mempelajari bahasa pemrograman. Waduh, cenat-cenutnya luar biasa. Menganalisa, bikin algoritma, ngoding, mencari error, memperbaiki, ngoding lagi. Lalu dalam satu kondisi gw mulai memaki-maki, siapa sih orang yang 'iseng' banget bikin bahasa pemrograman? Kurang kerjaan aja! Kenapa nggak bikin bahasa pemrograman berbasis bahasa Indonesia atau Sunda? haha. Kenapa mesti banyak kode-kode aneh di dalamnya? Dan sejuta makian lainnya. Lalu gw tersadar bahwa yang membuat bahasa pemrograman ini kan manusia, maka pasti hal ini bisa dimengerti oleh manusia lainnya! Hanya saja, mungkin perlu waktu yang lebih lama, perlu latihan yang lebih sering, dan perlu konsentrasi yang lebih fokus. Bukan mustahil ilmu itu dimengerti.

Terlepas dari itu semua: apakah kita pinter dalam berbagai bidang, mengerti semua ilmu, atau bahkan mampu menemukan teori terbaru.. itu semua nggak begitu penting. Yang lebih penting daripada mengetahui ilmu-ilmu di dunia ini adalah, mengenal Sang Sumber Pengetahuan, yakni Tuhan.

Semua adalah sia-sia dan usaha menjaring angin ...
Karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan. ...
Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah ...
- Raja Salomo
Photo by Md Mahdi on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest