Kebanyakan temanku sudah
menikah, dan beberapa di antaranya sedang menantikan kelahiran anak mereka. Semuanya
begitu cepat—kelulusan SMA saja rasanya baru kemarin! Anda mungkin menganggap aku sedang di masa peralihan. Dan memang benar; aku sedang
beralih dari dunia universitas ke dunia karir. Namun aku mulai berpikir: apakah
tepat untuk menganggap masa lajang ini sebagai masa peralihan juga?
Siapakah sesungguhnya diriku
di masa peralihan ini?
“Inilah hari pertama dalam
sisa hidupku,” demikian ucap seseorang di
TV pada hari pernikahannya. Kalimat itu membuatku terusik. Aku bukannya ingin
menganggap remeh nilai sebuah pernikahan, tetapi aku memang bingung dan kecewa
dengan pendapat seperti ini; pendapat yang dianut kebanyakan orang yang
seakan-akan mengklaim bahwa ‘pernikahan adalah awal kehidupan’ atau ‘pernikahan
adalah saat dimana bagian kehidupanku yang baik dan indah dimulai’.
Jangan salah paham dengan
kekecewaanku ini. Tentu saja aku yakin ada hal luar biasa saat kita membangun
keluarga baru dengan pasangan kita. Aku sangat setuju dengan pernikahan ilahi. Tetapi
yang aku takutkan adalah anggapan bahwa pernikahan menjadi sasaran hidup yang
utama—bahwa seseorang harus menunggu sampai dirinya menikah, barulah ia bisa
memulai hidupnya.
Kini aku takut. Aku takut karena anggapan
semacam itu pernah aku yakini dalam hidupku. Aku takut karena cara hidupku selama ini bagaikan sedang menantikan seseorang datang ke
kehidupanku. Dan kini aku khawatir karena ‘seseorang’ itu bukanlah Yesus.
Aku telah menghabiskan banyak
waktu, energi, dan menguras banyak emosi karena pusing memikirkan konsep bahwa
masa lajang adalah ruang tunggu untuk menuju sebuah hubungan. Aku lelah dengan
angapan bahwa hidupku baru dimulai saat aku bangun pagi dan menemukan suamiku
terbaring di sampingku (karena aku yakin hidupku sudah dimulai 23 tahun lalu, saat ibu melahirkan aku). Mentalitas
seperti inilah yang telah merenggut sukacita dalam hatiku.
Aku yakin ini kesalahanku.
Aku telah mempersalahkan trend yang berkembang dalam Kekristenan,
pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi seperti “Masa kamu belum punya pacar?”, dan penuhnya timeline Facebook-ku akan foto-foto pernikahan temanku yang sudah
mirip seperti board Pinterest.
Selama ini aku hidup dengan
pikiran bahwa ‘Tuhan sedang berhutang kepadaku’. Tuhan belum melunasi
perjanjian yang Dia buat. Bukankah Dia yang memberikanku hasrat untuk membangun
hubungan dan menikah, jadi mengapa Dia tidak segera memberikanku pasangan?
Selama ini aku begitu yakin bahwa aku berhak mendapatkan sebuah hubungan dengan lawan jenis. Aku harus
mendapatkannya.
Bohong rasanya kalau aku
bilang pemikiran seperti ini tidak ada hubungannya dengan budaya yang
berkembang dalam Kekristenan. Ada begitu banyak pemahaman dan penghargaan yang
diberikan pada pernikahan, tetapi penghargaan yang sama tidak banyak diberikan
kepada kaum lajang. (bahkan masa lajang mungkin tidak dianggap sebagai hadiah
yang berharga?) Sebaliknya, seseorang yang lajang
bagaikan perlu ‘disembuhkan’. Menjadi lajang seakan sebuah penyakit, dan saat
seorang pria dan wanita lajang dipertemukan, maka keduanya akan ‘sembuh’. Menjadi
lajang adalah bagaikan batu bara yang panas, sesuatu yang tidak pernah
dimasukkan oleh siapapun dalam daftar hadiah Natal mereka.
Tidakkah mereka berpikir
bahwa kami—para lajang—bertebaran di mana-mana dan sedang berpikir, “Kalau
begitu, apa yang harus kami lakukan?”
Aku yakin menjadi lajang
bukanlah kutukan. Tidak ada yang salah dengan hal ini.
Yang harus aku lakukan
bukanlah mencari taktik supaya pacar idamanku tiba-tiba muncul di depan mata.
Tidak. Yang justru harus aku lakukan adalah mengubah tujuan hatiku.
“Lebih baik memiliki Tuhan yang benar daripada memiliki pria yang salah.” (Christen Rapske)
Rasanya cukup sering mendengar pembicaraan bahwa kita seharusnya tidak mengejar
manusia atau benda dengan alasan
yang salah. Tetapi pernahkah kita
berpikir, barangkali kita juga mengejar Tuhan dengan alasan yang salah? Mungkin tanpa disadari aku telah memperlakukan Tuhan
sebagai ‘mesin penjual otomatis’. Dan aku mengejar Dia karena aku ingin
mendapatkan seseorang.
Sejak kapan aku sudah
benar-benar cukup dengan Tuhan dan tidak membutuhkan-Nya lagi? Tidakkah aku lupa
kapan aku akhirnya menemukan harga diri, kepuasan, dan identitasku di dalam
Dia, tetapi kemudian aku hanya menyerahkan diriku kepada-Nya demi mendapat
seorang pria yang bahkan belum pernah aku temui?
Setiap hari adalah anugerah,
dan tidak ada yang perlu kunantikan untuk menikmati hari ini. Sekarang adalah
hadiah (present), dan hadiah ini
selalu baru setiap hari. Memiliki seorang pria atau tidak, aku ingin bangun di
pagi hari dan bersukacita karena aku akan melewati hari itu bersama Tuhan yang
menciptakan alam semesta.
Dan itulah yang akan aku
lakukan di sepanjang sisa hidupku.
Oleh:
Rachel Selinger |
Converge Magazine