Aku Lajang. Apa yang Harus Kunantikan?

8:17:00 pm

Aku wanita, usiaku 23 tahun, dan aku baru saja lulus dari perguruan tinggi. Oya, aku masih lajang.

Kebanyakan temanku sudah menikah, dan beberapa di antaranya sedang menantikan kelahiran anak mereka. Semuanya begitu cepat—kelulusan SMA saja rasanya baru kemarin! Anda mungkin menganggap aku sedang di masa peralihan. Dan memang benar; aku sedang beralih dari dunia universitas ke dunia karir. Namun aku mulai berpikir: apakah tepat untuk menganggap masa lajang ini sebagai masa peralihan juga?

Siapakah sesungguhnya diriku di masa peralihan ini?

“Inilah hari pertama dalam sisa hidupku,” demikian ucap seseorang di TV pada hari pernikahannya. Kalimat itu membuatku terusik. Aku bukannya ingin menganggap remeh nilai sebuah pernikahan, tetapi aku memang bingung dan kecewa dengan pendapat seperti ini; pendapat yang dianut kebanyakan orang yang seakan-akan mengklaim bahwa ‘pernikahan adalah awal kehidupan’ atau ‘pernikahan adalah saat dimana bagian kehidupanku yang baik dan indah dimulai’.

Jangan salah paham dengan kekecewaanku ini. Tentu saja aku yakin ada hal luar biasa saat kita membangun keluarga baru dengan pasangan kita. Aku sangat setuju dengan pernikahan ilahi. Tetapi yang aku takutkan adalah anggapan bahwa pernikahan menjadi sasaran hidup yang utama—bahwa seseorang harus menunggu sampai dirinya menikah, barulah ia bisa memulai hidupnya.

Kini aku takut. Aku takut karena anggapan semacam itu pernah aku yakini dalam hidupku. Aku takut karena cara hidupku selama ini bagaikan sedang menantikan seseorang datang ke kehidupanku. Dan kini aku khawatir karena ‘seseorang’ itu bukanlah Yesus.

Aku telah menghabiskan banyak waktu, energi, dan menguras banyak emosi karena pusing memikirkan konsep bahwa masa lajang adalah ruang tunggu untuk menuju sebuah hubungan. Aku lelah dengan angapan bahwa hidupku baru dimulai saat aku bangun pagi dan menemukan suamiku terbaring di sampingku (karena aku yakin hidupku sudah dimulai 23 tahun lalu, saat ibu melahirkan aku). Mentalitas seperti inilah yang telah merenggut sukacita dalam hatiku.

Aku yakin ini kesalahanku. Aku telah mempersalahkan trend yang berkembang dalam Kekristenan, pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi seperti “Masa kamu belum punya pacar?”, dan penuhnya timeline Facebook-ku akan foto-foto pernikahan temanku yang sudah mirip seperti board Pinterest.

Selama ini aku hidup dengan pikiran bahwa ‘Tuhan sedang berhutang kepadaku’. Tuhan belum melunasi perjanjian yang Dia buat. Bukankah Dia yang memberikanku hasrat untuk membangun hubungan dan menikah, jadi mengapa Dia tidak segera memberikanku pasangan?

Selama ini aku begitu yakin bahwa aku berhak mendapatkan sebuah hubungan dengan lawan jenis. Aku harus mendapatkannya.

Bohong rasanya kalau aku bilang pemikiran seperti ini tidak ada hubungannya dengan budaya yang berkembang dalam Kekristenan. Ada begitu banyak pemahaman dan penghargaan yang diberikan pada pernikahan, tetapi penghargaan yang sama tidak banyak diberikan kepada kaum lajang. (bahkan masa lajang mungkin tidak dianggap sebagai hadiah yang berharga?) Sebaliknya, seseorang yang lajang bagaikan perlu ‘disembuhkan’. Menjadi lajang seakan sebuah penyakit, dan saat seorang pria dan wanita lajang  dipertemukan, maka keduanya akan ‘sembuh’. Menjadi lajang adalah bagaikan batu bara yang panas, sesuatu yang tidak pernah dimasukkan oleh siapapun dalam daftar hadiah Natal mereka.

Tidakkah mereka berpikir bahwa kami—para lajang—bertebaran di mana-mana dan sedang berpikir, “Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?”

Aku yakin menjadi lajang bukanlah kutukan. Tidak ada yang salah dengan hal ini.

Yang harus aku lakukan bukanlah mencari taktik supaya pacar idamanku tiba-tiba muncul di depan mata. Tidak. Yang justru harus aku lakukan adalah mengubah tujuan hatiku.

“Lebih baik memiliki Tuhan yang benar daripada memiliki pria yang salah.” (Christen Rapske)

Rasanya cukup sering mendengar pembicaraan bahwa kita seharusnya tidak mengejar manusia atau benda dengan alasan yang salah. Tetapi pernahkah kita berpikir, barangkali kita juga mengejar Tuhan dengan alasan yang salah? Mungkin tanpa disadari aku telah memperlakukan Tuhan sebagai ‘mesin penjual otomatis’. Dan aku mengejar Dia karena aku ingin mendapatkan seseorang.

Sejak kapan aku sudah benar-benar cukup dengan Tuhan dan tidak membutuhkan-Nya lagi? Tidakkah aku lupa kapan aku akhirnya menemukan harga diri, kepuasan, dan identitasku di dalam Dia, tetapi kemudian aku hanya menyerahkan diriku kepada-Nya demi mendapat seorang pria yang bahkan belum pernah aku temui?

Setiap hari adalah anugerah, dan tidak ada yang perlu kunantikan untuk menikmati hari ini. Sekarang adalah hadiah (present), dan hadiah ini selalu baru setiap hari. Memiliki seorang pria atau tidak, aku ingin bangun di pagi hari dan bersukacita karena aku akan melewati hari itu bersama Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Dan itulah yang akan aku lakukan di sepanjang sisa hidupku.



Oleh: 
Rachel Selinger | Converge Magazine


You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest