Mendisiplinkan Keinginan-keinginan
5:53:00 pmEmas itu ibarat air laut—semakin banyak diminum, semakin orang itu merasa lebih haus. [Arthur Schopenhauer, filsuf]
Ada kebingungan yang besar mengenai bagaimana kita membedakan
kebutuhan dengan keinginan. Daftar dari apa yang kita sebut “kebutuhan” pada
masa kini pastilah lebih panjang daripada daftar sejenis pada tahun 1900, serta
jauh lebih panjang daripada daftar serupa semasa Kristus hidup di dunia. Jika
daftar itu bertambah setiap tahunnya, apa yang kita pikirkan mengenai hal ini?
“Perkembangan dan pengembangan kebutuhan adalah … lawan yang tepat dari
kebebasan,” pakar ekonomi E. F. Schumacher mengajarkan. “Setiap peningkatan
kebutuhan cenderung meningkatkan kebergantungan seseorang terhadap
kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang tidak dikendalikannya.”
Sangatlah bijak jika kita menjernihkah kembali perbedaan antara
kebutuhan dan keinginan, kemudian bersikap jujur mengenai hal itu di hadapan
Allah. Kebutuhan-kebutuhan kita yang sejati sesungguhnya sedikit dan bersifat
mendasar: Kita butuh iman, kasih, persahabatan, pekerjaan yang berarti, makanan,
pakaian, dan naungan. Sebagian besar dari apa yang kita sebut kebutuhan
sebetulnya adalah keinginan, yang berhubungan dengan usia dan lokasi tempat kita
tinggal.
Secara ringkas saya nyatakan bahwa saya tidak berpikir Allah
membatasi kita dengan hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita saja. Ia Allah
yang pemurah, penuh rahmat, dan mengizinkan kita memiliki banyak dari yang kita
inginkan. Jadi, bila saya ingin memasang karpet di rumah saya, saya tidak harus
berusaha menipu Allah atau diri saya sendiri dengan menyebut hal itu sebagai
suatu kebutuhan. Pada waktu yang bersamaan, saya harus menyadari bahwa Allah itu
pemurah, dan mungkin Ia berkenan memenuhi keinginan tersebut.
Pokok permasalahannya adalah kita tahu ketika Allah berkata,
“Cukup sampai di sini saja dan tidak lebih.” Bagi saya, ketika dalam keinginan
saya terselip keangkuhan, sikap pamer, kemalasan, sikap boros, atau kenyamanan
yang berlebihan, maka keinginan itu tidak akan saya bawa ke hadapan Allah.
Dalam proses ini kita akan sangat terbantu bila kita
menghilangkan iklan-iklan, yang tidak lebih dari sekedar penciptaan
kebutuhan. Bila kita mendengarkan iklan-iklan tersebut, maka margin
keuangan kita akan menghilang, karena kita akan mengejar kepuasan berlebihan
yang tak akan pernah kita dapatkan.
Kalau kita berkeinginan memiliki margin keuangan,
definisikanlah kembali apa itu keinginan dan kebutuhan, dengan menggunakan
definisi dari Allah. Dan dalam prosesnya, janganlah mendengarkan
iklan-iklan.
Pikirkanlah untuk mendefinisikan praktik berpuasa secara
luas. Baik sekali jika secara berkala Anda memisahkan diri dari hal-hal duniawi
dan menjalankan kehidupan tanpa hal-hal itu. Dalam pemikiran tradisional,
berpuasa itu biasanya berpuasa yang dihubungkan dengan makanan. Namun, dalam
konteks margin keuangan, sangatlah baik jika Anda puasa berbelanja selama
beberapa waktu. Gunakan apa saja yang ada di lemari es Anda. Pakailah
pakaian-pakaian yang ada di lemari Anda. Sesuaikanlah diri dengan barang apa
saja yang ada di rumah. Dunia tidak akan berhenti berputar, keluarga juga tidak
akan tercerai-berai ketika kita mengundurkan diri dari konsumerisme untuk
beberapa waktu tertentu. Satu-satunya hal berharga yang akan terjadi adalah
keuangan Anda akan dipulihkan kembali oleh transfusi margin yang banyak
dibutuhkan.
Semakin banyak yang Anda miliki, semakin banyak yang akan Anda butuhkan [pepatah Baque]
0 komentar