Terkadang cara termudah untuk membangkitkan kembali semangat untuk menulis adalah, dengan cara membaca tulisan-tulisan orang lain. Semakin sering kita membaca, semakin sering suara-suara mengisi pikiran kita, entah itu baik atau buruk (tergantung dari apa yang otak kita “lahap”). Dan, lama-kelamaan suara itu bukan hanya berasal dari bacaan kita, tapi juga berasal dari hati kita. Ada rangkaian ide yang ingin kita tulis juga, pada akhirnya.
Beberapa waktu
yang lalu, saya membaca artikel di internet dengan judul “Wah, Inilah 10 Makanan
Rumah Sakit Paling Enak”. Isinya lumayan menarik: foto-foto 10 hidangan buat pasien
yang diopname di rumah sakit, dihimpun dari 10 negara berbeda. Tentu saja
makanan rumah sakit Indonesia pun masuk dalam salah satunya. Sebelum membuka
artikelnya pun saya udah bisa menebak makanan ala rumah sakit Indonesia: milo
hangat, bubur, telur rebus, sop kaldu ayam + wortel, beserta pisang. Saya tahu
karena saya sempet “menginap” di rumah sakit beberapa kali, tapi momen yang
paling membekas adalah saat saya sakit demam berdarah dan diopname di Rumah Sakit
Immanuel tepatnya pada saat saya kelas 1 SD.
Sambil mendorong
kursor mouse ke bawah, saya rasa semua foto makanan itu tampak menarik, tapi ternyata
ada yang lebih menarik, dan sepertinya merupakan yang paling menarik dari antara
semua foto makanan itu: ada di bagian bawah artikel, di kolom komentar pembaca.
Seorang netizen yang saya lupa namanya, meninggalkan pesan begini: “Makanan
rumah sakit mana ada yang enak.”
Coba kita
perhatikan baik-baik apa yang netizen itu katakan: “Makanan rumah sakit mana
ada yang enak.”
Apakah mungkin dia tidak bisa melihat betapa bergizinya sajian khas rumah
sakit?
Apakah dia tidak pernah menyaksikan edukasi kuliner yang dibawakan Mas
Bondan Winarno? Bukankah makanan rumah sakit penuh cita rasa?
Ya, tentu saja
netizen itu tidak paham. Yang dia peduli cuma satu: makanan apapun—kalau dimakan
saat kita lagi sakit—menjadi makanan yang tidak enak.
Dan satu hal
lagi: makanan selezat apapun akan menjadi tidak enak jika dikonsumsi di sebuah
kamar pengap dengan tirai putih di sekelilingnya yang disertai bau-bau khas obat
kimiawi.
Dan setelah
berpikir, akhirnya saya pun—ngga bisa ngga—mesti setuju dengan komentar di
artikel tersebut.
Apa enaknya duduk manis di ranjang empuk, tapi ketika ingin ke toilet pun kita
ngga sanggup?
Apa enaknya menonton televisi 16 jam sehari (karena 8 jam sisanya dipake
buat tidur) tapi kita mesti ijin ngga masuk kantor, ngga masuk sekolah, atau
meninggalkan anak/istri/suami di rumah?
Bahkan apabila
penginapan di hotel berlambang “tanda palang warna merah” itu gratis (karena
semua biaya ditanggung asuransi atau BPJS), di mana letak nikmatnya? Bukankah
orang yang berada di sana adalah orang yang (maaf) sebentar lagi akan mati?
Dan, jika harapan
untuk hidup saja sudah menipis, apalah arti dari daftar 10 makanan rumah sakit
(yang katanya) terlezat itu?
Bukankah kita memakannya dengan lidah hambar karena pengaruh obat?
Bukankah tujuan utama kita masuk rumah sakit adalah agar dirawat biar cepet
sembuh?
Jadi, makanan itu
bukan tujuan kita. Sampai kapanpun, ngga pernah ada orang yang punya cita-cita
ingin menikmati makanan rumah sakit dengan cara (sengaja) sakit. Setidaknya,
ini berlaku bagi orang waras.
Komentar netizen
yang singkat tapi menohok itu, telah membuat saya mengerti satu hal: ada
hal-hal yang sebenernya ngga enak, meskipun sekilas terlihat enak.
Korupsi, mana ada
yang enak?! Memang, kita bisa belanja barang mewah dan keliling dunia dari duit
miliaran hasil korupsi. Tapi benarkah kita bisa hidup tenang? Yakinkah kita,
bahwa pihak berwajib tak akan sekali-kali mengetuk pintu rumah?
Ketagihan junk
food, mana ada yang enak? Memang, kita bisa menikmati gurih dan renyahnya ayam
goreng favorit kita. Tapi benarkah kita sanggup mengonsumsinya tiap hari?
Beranikah kita saat disuruh pergi ke laboratorium kesehatan untuk cek
kolesterol dan gula darah?
Selingkuh, mana
ada yang enak? Memang, kita bisa bermain dengan riang di “rumput tetangga yang
jauh lebih hijau”. Tapi mampukah kita terus-terusan berbahagia sementara orang
lain (pasangan kita dan pasangan selingkuhan kita) menderita?
Jika itu bukan
hal yang benar untuk dilakukan, rasanya ngga akan pernah enak.
Kecuali...
Kecuali hati
nurani kita udah mati rasa.