Makanan Rumah Sakit Terlezat

7:30:00 am



Terkadang cara termudah untuk membangkitkan kembali semangat untuk menulis adalah, dengan cara membaca tulisan-tulisan orang lain. Semakin sering kita membaca, semakin sering suara-suara mengisi pikiran kita, entah itu baik atau buruk (tergantung dari apa yang otak kita “lahap”). Dan, lama-kelamaan suara itu bukan hanya berasal dari bacaan kita, tapi juga berasal dari hati kita. Ada rangkaian ide yang ingin kita tulis juga, pada akhirnya.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca artikel di internet dengan judul “Wah, Inilah 10 Makanan Rumah Sakit Paling Enak”. Isinya lumayan menarik: foto-foto 10 hidangan buat pasien yang diopname di rumah sakit, dihimpun dari 10 negara berbeda. Tentu saja makanan rumah sakit Indonesia pun masuk dalam salah satunya. Sebelum membuka artikelnya pun saya udah bisa menebak makanan ala rumah sakit Indonesia: milo hangat, bubur, telur rebus, sop kaldu ayam + wortel, beserta pisang. Saya tahu karena saya sempet “menginap” di rumah sakit beberapa kali, tapi momen yang paling membekas adalah saat saya sakit demam berdarah dan diopname di Rumah Sakit Immanuel tepatnya pada saat saya kelas 1 SD.

Sambil mendorong kursor mouse ke bawah, saya rasa semua foto makanan itu tampak menarik, tapi ternyata ada yang lebih menarik, dan sepertinya merupakan yang paling menarik dari antara semua foto makanan itu: ada di bagian bawah artikel, di kolom komentar pembaca. Seorang netizen yang saya lupa namanya, meninggalkan pesan begini: “Makanan rumah sakit mana ada yang enak.”

Coba kita perhatikan baik-baik apa yang netizen itu katakan: “Makanan rumah sakit mana ada yang enak.”
Apakah mungkin dia tidak bisa melihat betapa bergizinya sajian khas rumah sakit?

Apakah dia tidak pernah menyaksikan edukasi kuliner yang dibawakan Mas Bondan Winarno? Bukankah makanan rumah sakit penuh cita rasa?

Ya, tentu saja netizen itu tidak paham. Yang dia peduli cuma satu: makanan apapun—kalau dimakan saat kita lagi sakit—menjadi makanan yang tidak enak.

Dan satu hal lagi: makanan selezat apapun akan menjadi tidak enak jika dikonsumsi di sebuah kamar pengap dengan tirai putih di sekelilingnya yang disertai bau-bau khas obat kimiawi.

Dan setelah berpikir, akhirnya saya pun—ngga bisa ngga—mesti setuju dengan komentar di artikel tersebut.

Apa enaknya duduk manis di ranjang empuk, tapi ketika ingin ke toilet pun kita ngga sanggup?

Apa enaknya menonton televisi 16 jam sehari (karena 8 jam sisanya dipake buat tidur) tapi kita mesti ijin ngga masuk kantor, ngga masuk sekolah, atau meninggalkan anak/istri/suami di rumah?

Bahkan apabila penginapan di hotel berlambang “tanda palang warna merah” itu gratis (karena semua biaya ditanggung asuransi atau BPJS), di mana letak nikmatnya? Bukankah orang yang berada di sana adalah orang yang (maaf) sebentar lagi akan mati?

Dan, jika harapan untuk hidup saja sudah menipis, apalah arti dari daftar 10 makanan rumah sakit (yang katanya) terlezat itu?

Bukankah kita memakannya dengan lidah hambar karena pengaruh obat?

Bukankah tujuan utama kita masuk rumah sakit adalah agar dirawat biar cepet sembuh?

Jadi, makanan itu bukan tujuan kita. Sampai kapanpun, ngga pernah ada orang yang punya cita-cita ingin menikmati makanan rumah sakit dengan cara (sengaja) sakit. Setidaknya, ini berlaku bagi orang waras.

Komentar netizen yang singkat tapi menohok itu, telah membuat saya mengerti satu hal: ada hal-hal yang sebenernya ngga enak, meskipun sekilas terlihat enak.

Korupsi, mana ada yang enak?! Memang, kita bisa belanja barang mewah dan keliling dunia dari duit miliaran hasil korupsi. Tapi benarkah kita bisa hidup tenang? Yakinkah kita, bahwa pihak berwajib tak akan sekali-kali mengetuk pintu rumah?

Ketagihan junk food, mana ada yang enak? Memang, kita bisa menikmati gurih dan renyahnya ayam goreng favorit kita. Tapi benarkah kita sanggup mengonsumsinya tiap hari? Beranikah kita saat disuruh pergi ke laboratorium kesehatan untuk cek kolesterol dan gula darah?

Selingkuh, mana ada yang enak? Memang, kita bisa bermain dengan riang di “rumput tetangga yang jauh lebih hijau”. Tapi mampukah kita terus-terusan berbahagia sementara orang lain (pasangan kita dan pasangan selingkuhan kita) menderita?

Jika itu bukan hal yang benar untuk dilakukan, rasanya ngga akan pernah enak.

Kecuali...


Kecuali hati nurani kita udah mati rasa.


You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest