Buat gw, pantai dan suara ombak adalah obat/terapi. Nah, jika sudah waktunya mengambil dosis berarti ini saatnya bertualang! Waktu solo travelling ke Bali kemarin, ini yang gw pelajari:
1. Travelling adalah cara paling bener untuk belajar geografi.
Apa nama bandar udara di Propinsi Bali?
Jaman sekolah dulu, susah bener buat kita menjawab pertanyaan ini, secara
nama bandaranya diambil dari seorang pahlawan, dan kebetulan nama beliau
lumayan panjang. Udah lah, daripada ribet mendingan langsung cuss ke TKP.
Sesampainya di sana lo pasti dengan sendirinya akan SELALU ingat: Bandara I
Gusti Ngurah Rai, ya itulah jawabannya.
Bule aja ngerti 'subak'. |
Sistem irigasi ‘subak’ yang seringkali dibahas pas pelajaran IPS pasti
sekedar nyantol di otak lo 10 menit sebelum ulangan, kan? Ngaku ajah! Tapi
bakal lain ceritanya kalau lo berkunjung ke Jatiluwih Rice Fields, menyaksikan
sendiri terasering nan mempesona, sambil denger penjelasan tour guide soal
subak. Lo nggak perlu menghafal apa definisi subak; setelah berwisata ke tempat
ini lo malah sanggup menjelaskannya ke orang lain!
2. Ini backpacker, bukan liburan ala Syahrini!
Pergi berwisata dengan sekumpulan orang (rombongan) akan membuat lo menjadi
wisatawan yang kurang tegar. Kemungkinan
lo akan nurut-nurut doang sama temen-temen lo waktu diajak ke sana ke mari.
Apalagi, kalau kalian nyewa tour guide. Udah deh, lo duduk manis di mobil dan
bobo cantik sambil makan kacang disco (emang bisa yah makan sambil tidur??
Anggap aja bisa!) dan kemudian.. tara! Tau-tau nyampe di tujuan deh. Nggak
perlu nyetir, nggak perlu ngafalin jalan. Nggak perlu mikir.
Menurut gw liburan semacam itu kurang menantang. Sekali-kali coba go show sendiri. Solo travelling akan
memacu sel neuron, persendian, serta hormon-hormon lo untuk bersatu-padu: mulai
dari membuat itinerary, mengobok-ngobok Google Maps atau nyontek blog-blog
untuk menemukan tempat wisata yang layak dijajal, dan bertahan hidup ketika
berada di tempat asing (bahkan di tengah kawasan kayak hutan, kalau malem nggak
ada penerangan, warung-warung nggak pernah didirikan, sinyal smartphone
sekarat, dan tiba-tiba hujan deras datang. Bedeuuh.. di momen itu lo cuman bisa
curhat dan berteriak meminta tolong kepada Tuhan!~)
Lima-belas tahun lalu bom meledak di sini. |
Solo travelling bukan buat keren-kerenan. Kalau lo merasa butuh piknik dan
punya anggaran (serta jatah cuti) yaa silakan di-eksekusi. Pernah nggak sih, lo
dan kawan-kawan (di group WhatsApp misalnya) bikin perencanaan mau berkunjung
ke negeri A atau pulau B atau planet C tapi itu semua hanya WACANA (padahal
udah cari-cari promo tiket pesawat, udah ngecengin objek-objek kece... dan
semua percakapan itu berlalu begitu saja bak angin mamiri, dikarenakan
kurangnya NIAT dan KOORDINASI di antara para member group). Yaudah deh, apa
boleh buat, daripada nunggu-nunggu kapan perjalanan akan dimulai, lebih baik lo
sendiri yang jalanin.
Makan siang di sini: kenyang perut, kenyang mata. |
3. Pilihlah sendiri; jangan membuat keputusan berdasarkan omongan orang.
Banyak tujuan wisata di Bali yang populer dan kerapkali dipamerkan di
brosur, spanduk, flyer, dan majalah. Sebagai contoh: Pantai Sanur atau Pura
Uluwatu. Terima semuanya sebagai referensi,
tapi jangan sebagai pengendali. Kalau
lo nggak suka wisata budaya dan lebih demen alam, kenapa mesti paksain
berkunjung ke pura? Dan kalau lo lebih suka tenangnya Pantai Canggu dibanding
Sanur, kenapa juga lo mesti ke sana?
Yeah, kan belum afdol ke Bali
kalau belum ke Sanur dan Uluwatu?!
Ah siapa bilang? Memangnya orang yang ngomong hal itu bakal bayarin ongkos
lo? Memangnya dia bakal anter jemput lo ke sana? Nggak, kan! Jadi, abaikan apa kata
orang. Ini liburan lo, ini duit lo, ini waktu lo, ini tenaga lo. Pastikan lo
udah memilih mana yang mau lo kunjungi. Sebelum cuss ke suatu objek, lakukan
riset (gw biasanya menggunakan informasi para Local Guides di Google Maps).
Kalau ternyata lo tiba di suatu tempat dan tempat itu nggak sesuai ekspektasi
lo, lo nggak akan menyalahkan siapapun. Lo akan anggap itu sebagai pengalaman
pribadi (dan lo juga akan mengerti bahwa objek-objek tertentu mungkin menarik
bagi orang lain, tetapi tidak bagi diri lo sendiri. Demikian juga sebaliknya.
Dan ini hal yang wajar; hanya soal selera).
Sore di Panglipuran Village |
Gw kurang merekomendasikan majalah-majalah pariwisata Bali versi marketing karena pandangan di media
tersebut adalah dari pihak pengelola resmi. Paragraf pertama sampai akhir cuma
akan memuat hal-hal positif. Sementara kalau lo pantau Google Maps, duh...
semua kekurangan bahkan aib tersembunyi tentang objek wisata tertentu akan
terungkap! Terlebih lagi, komentar di Google Maps adalah hasil pengamatan para
turis yang sudah berkunjung langsung. Menurut saya, ini lebih objektif dan
jujur.
4. Apa yang menarik bagi jiwa versus apa yang menarik jumlah likes di Instagram.
Salah satu dosa besar dalam berwisata adalah menjadi fotografer dadakan
dengan kamera handphone ala kadarnya serta dengan hasil foto yang sungguh
nista. Lo perlu mengistirahatkan tangan lo dari memegang gadget dan mulai
memperhatikan manusia! Lo nggak perlu SKSD ngajak ngobrol mereka kalau lo emang
malu atau enggan, tapi setidaknya lo dengerin deh cara mereka bicara, apa yang
mereka kerjakan, dekorasi rumah mereka, cara mereka berpakaian, dsb. Temukan
apa keunikannya—apa yang berbeda antara lo dan dia.
Nge-babi di Souvlaki |
Solo travelling akan secara drastis mengurangi pemakaian smartphone, karena
nggak akan ada orang yang berseru: “Eh selfie yuk selfie!” atau ocehan klasik
seperti: “Tolong fotoin gw dong, latarnya pohon ini ya!”
Dengan solo travelling lo bisa lebih fokus mencari sudut-sudut kece yang
emang LAYAK buat direkam lewat lensa, daripada sekedar foto massal di depan
Tanah Lot. Selain itu, dalam upaya menghemat baterai smartphone lo juga akan dengan
sengaja meminimalisir penggunaan kamera.
Pemandangan yang kayak di kartu pos - kartu pos. Hanya 2 jam dari Kuta. |
Solo travelling juga membantu lo memiliki me-time yang lebih banyak: membaca buku di pinggir pantai diiringi
sound effect debur ombak, tidur-tiduran beralaskan hamparan pasir sambil
menudungi kepala dengan topi bambu, bertelanjang kaki di atas pasir hangat
sambil berjalan di sepanjang bibir pantai (sst, aktivitas ini ampuh meluruhkan
sel kulit mati di telapak kakimu, loh!), bersepeda di kala fajar dan menantikan
sunrise di ujung cakrawala, mendengarkan instrumen jazz bossa nova sambil
menyeruput air kelapa muda langsung dari batoknya... ahh indahnya hidup ini.
Paradise on earth!
5. Lo sekarang hidup di jaman yang serba mudah, masa’ susah sedikit lo langsung nyerah?
Perhatiin baik-baik apa yang bisa dilakukan smartphone di jaman sekarang. Google
Maps menggantikan peta ukuran 2x1 meter yang mesti dilipet-lepet sampai lecek. Traveloka
dan Tiket.com membuat lo bisa membanding-bandingkan harga pesawat dan mencari
yang termurah, bahkan kalau beruntung lo bisa dapet diskon. Airbnb dan Airy
Rooms membantu lo mencari kamar super hemat dengan fasilitas yang nggak kalah
nikmat (oh iya, penginapan kemaren gw dapet dari Pegipegi dengan harga miring: diskon 50 persen dari harga asli! Gw booking penginapan itu 3 bulan sebelumnya, dan kebetulan waktu itu Pegipegi sedang ngadain promo tersebut. Bukan tipu-tipu.)
Dalam 3-5 tahun semua berubah drastis. Dulunya transportasi di Bali
mengandalkan taksi dan ojek (konvensional), atau rental kendaraan plus
sopirnya. Yah, tentunya dengan menguras kocek yang tidak sedikit! Angkot dan becak
nggak tersedia di Bali (ada andong, sih). Tetapi sejak Grab, Gojek, dan Uber
hadir, para wisatawan kere menemukan penyelamat hidup. Nggak ada lagi cerita
dipaksa-paksa oleh sopir setempat. Nggak ada lagi cerita tawar-menawar tarif
yang di luar logika. Dengan app transportasi, harga sudah mengacu pada sistem,
dan layanan mereka hadir 24 jam. Makin betah deh muter-muterin Bali!
Udah mirip bule belom? |
“Setelah 150 meter, di
bundaran, ambil pintu keluaran kedua.”
“Terus lurus. Setelah 200
meter, tujuan Anda ada di sebelah kanan.”
Ohh, betapa mudahnya hidup ini dengan adanya Mbak Google. Selain sabar dan
nggak pernah ngantuk-ngantukan, Mbak yang satu ini akan membimbing lo
seandainya lo menuju jalan yang salah. “Setelah
100 meter, putar balik.” Eitss, nggak usah cemas, kemungkinan untuk lo
mengambil jalan yang salah adalah hampir 0 persen. Semua arahan Mbak Google
selalu diberikan dengan tepat waktu (kecuali, saat sinyal internet melemah).
Sedia powerbank atau selalu bawa charger untuk mengisi kembali baterai
smartphone. Numpang nge-charge aja di warung terdekat. Sambil lo makan popmie
dan beristirahat selonjor kaki, eh tau-tau baterainya penuh, deh!
Nyetir di Bali emang asik: jalan rayanya minim billboard iklan sehingga lo
bisa menyaksikan sunset sambil menyetir, warganya tertib berkendara (mau belok
kiri aja mereka menunggu lampu hijau, padahal kan kalau lagi bengal kita maunya
belok kiri langsung, hehe), dan kemacetan sangat jarang terjadi.
6. Tinggal dan berlibur adalah dua hal yang BERBEDA JAUH.
“Aduh, gw pengen pindah kerja ke Bali nih. Asik banget bisa mampir ke Kuta
dan mantai tiap pulang kerja,” pikir gw sambil jalan kaki makan eskrim matcha
di Poppies Lane.
Temple of the Day |
Mbak Kadet (nama samaran) yang menjadi pemijit gw malam itu bertanya
darimana gw berasal, berapa hari gw di Bali, dsb. Ketika gw menyampaikan ide
untuk pindah kerja ke Bali karena sepertinya tempat ini menyenangkan, Mbak
Kadet menjawab, “Nah, justru Mbak lebih enak: kerja di Bandung jadi bisa berlibur ke Bali. Kalau
saya: karena kerja di Bali, jadi pengen main ke luar Bali.”
Om Swastiastu. Di sini tempat saya menginap. |
Well, tinggal dan berlibur adalah dua hal yang berbeda. Seandainya gw
beneran kerja (dan itu artinya gw harus tinggal) di Bali, belum tentu gw akan merasakan Bali sebagai tempat yang mengasyikkan. Hari-hari gw sebagai karyawati teladan di sebuah perusahaan di Bali dipenuhi dengan: bagaimana mencapai target perusahaan, bagaimana strategi jitu untuk mendukung ide boss, dll. Hasrat main ke pantai dengan cepat
memudar. Hasrat nongkrong di pinggir sawah Ubud perlahan lenyap. Bali yang
sekarang gw datangi terasa indah karena ini bukan perjalanan dinas—nggak ada
tanggungjawab apapun yang gw pikul. Jadi, beda jauh ya, antara berlibur dan
tinggal? (Well, kecuali kalau lo bisa tinggal di Bali tanpa bekerja sama sekali
dan hanya senang-senang tiap hari. Yah, mungkin lo dapet uang pensiun atau
warisan atau lotere kali ya?)
7. Pantau berita.
Jangan keasikan bertualang sampai lupa dunia. Selama liburan di Bali
kemaren, gw sering memantau berita untuk melihat perkembangan Gunung Agung yang
lagi ngambek. Kalau menurut
pemerintah sih, pariwisata masih aman meskipun ratusan ribu warga di sekitar gunung
sudah mengungsi. Bagaimanapun juga,
sebagai turis dan WNI yang bijak lo pengen mendapatkan informasi terbaru soal
hal ini. Seandainya letusan terjadi, pemerintah sudah bikin planning: penerbangan
di bandara Ngurah Rai bakal dialihkan ke bandara lain di sekitar Bali. Lagipula, dari
berita gw mendapat saran untuk membawa masker dan payung—takut mendadak
hujan abu, euy!
Nah, itulah 7 hal yang gw dapetin selama solo travelling di Bali. Semoga
tahun depan bisa berkunjung ke sana lagi, dan menemukan cerita-cerita seru
lainnya. Gimana dengan cerita solo travelling-mu? Share juga, dong!
Tebak, milik siapakah sepeda pink ini? |