Death as a Part of Life
9:02:00 pmBanyak orang yang belum pernah menghadapi kematian orang tua mereka. Karena itu, aku akan menceritakan pengalaman ini.
Ayahku menderita
kanker paru-paru, dan seiring berjalannya waktu (padahal sudah diobati),
sel-sel kanker yang ganas ini merambat ke otaknya. Dokter memvonis Ayah sudah
di stadium 4, dan umur hidupnya tinggal dua bulan lagi.
Saat mengetahui
hal itu, aku berharap dua bulan akan terasa panjaaaaang sekali.
Tetapi
kenyataannya Ayah bertahan sampai 6 bulan! Hey, diagnosa dokter juga bisa
salah, kok.
Karena telah
diberitahu bahwa Ayah sudah berada di ujung hidupnya, aku bisa mempersiapkan diri secara alamiah.
Setiap pulang dari sekolah (waktu itu aku kelas 3 SMA), aku sudah siap saja
jika tiba-tiba pintu rumah terbuka dan Ibu memberiku kabar bahwa Ayah sudah
tiada. Ya, dengan sengaja aku membayangkan momen-momen seperti itu—bukan karena
aku tidak sabar melihat Ayah meninggal, melainkan karena aku takut tidak bisa
mengendalikan emosiku jika saat itu benar-benar tiba.
Selama hidupnya,
Ayah bukan orang yang suka menyampaikan keluhan. Rasa sakit yang dia alami
sudah lama, mungkin berbulan-bulan lamanya. Tetapi, dia lebih nyaman
menyimpannya sendirian; tidak membiarkan orang lain repot atau khawatir. Dan
wataknya ini rupanya diturunkan kepadaku. Walaupun aku tahu ini bukan kebiasaan
yang baik, aku seringkali sulit menyampaikan perasaan dan pikiranku. (oleh
karena itu, aku menulis).
Enam bulan lamanya
Ayah berjuang melawan penyakit kanker. Ia mengonsumsi obat kimiawi dari dokter,
obat herbal dari tukang obat Tiongkok, dan lainnya yang diklaim bisa memperlama hidupnya meskipun tidak akan
menyembuhkan sakitnya.
13 Maret 2008
adalah hari yang buruk—bukan saja karena langit mendung dan kemudian hujan
turun dengan deras—tetapi juga karena Ayah tidak sadarkan diri.
Untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku naik mobil ambulans. Itulah mobil tercepat di dunia,
menurutku! Sepadat apapun kendaraan di jalanan, ambulans selalu menang!
Bayangkan, di tengah kemacetan Jalan Kopo yang terkenal tanpa ampun, ambulans
yang kutumpangi bisa melaju sampai 120 km/jam.
Setibanya di rumah sakit, dokter bersigap melakukan tindakan-tindakan
medis yang tidak kupahami artinya. Dalam keadaan seperti ini, apa yang
kurasakan? Bukan perasaan takut. Aku (dan juga ibu serta kakak perempuanku yang
kemudian datang menyusul ke rumah sakit) justru merasakan kelelahan yang amat
sangat. Puluhan hari kami tidak bisa tidur nyenyak karena sibuk mengurusi Ayah,
dan sekarang, kami harus melihat pemandangan penuh kerumitan di ruang UGD. Sungguh,
aku benar-benar ingin tidur, padahal jam masih menunjukkan sekitar pukul 8
malam.
Kabel-kabel dan
mesin bergambar grafik detak jantung dan aktivitas paru-paru, itulah yang
mengelilingi tubuh Ayah. Kami yang sejak tadi hanya mengintip dari luar, mulai
diperbolehkan masuk oleh dokter. Dia mengatakan suatu kalimat yang sampai
sekarang masih kuingat, “Meskipun jantung sudah tidak berdetak, otaknya masih
berfungsi. Berbicaralah di telinga Ayahmu, dia bisa mendengarnya.”
Aku tidak tahu
apakah ucapannya benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau
tidak. Tetapi, aku pikir ini kesempatan yang baik untuk menyampaikan
pesan-pesan terakhirku.
“Ayah harus
sembuh, harus melihat aku wisuda, dan harus melihat aku menikah.”
Sungguh begitu
pendek kalimat yang aku sampaikan di samping kupingnya, tetapi aku merasa perlu
energi begitu banyak untuk mengucapkannya, seakan aku sedang berpidato dua
jam.
Kemudian, kami
semua disuruh keluar dan menempati sebuah kamar pasien untuk beristirahat. Aku langsung
tertidur lelap sampai pagi!
***
Pagi itu, kami
pulang ke rumah. Kami pulang tanpa Ayah, tentu saja. Nyawanya sudah hilang tadi
malam. Kami pulang karena harus menyiapkan baju-baju, makan pagi, dan mandi.
Sehabis ini, kami akan pergi ke rumah duka, tempat dimana jenazah Ayah akan
disemayamkan untuk terakhir kalinya.
Apakah aku
menangis pagi itu? Tidak.
Aku keluar,
mencari tukang nasi kuning di sekitar rumah, lalu membeli 4 bungkus.
Pagi itu, aku
merasa telah menjadi seorang Yenny yang baru
sekali—yang tidak berayah.
***
Suasana rumah
duka ramai sekali, terutama karena banyak petugas bolak-balik merapikan ruangan
dan menaruh dekorasi. Tak lama setelah aku datang, jasad Ayah dimandikan dan
dikenakan pakaian lengkap: setelan jas yang rapi sekali. Pakaian itulah yang
tadi pagi kami bawa dari rumah. Kemudian jenazahnya dipindahkan ke peti kayu
yang terbuka namun diselubungi kain putih transparan berjaring-jaring, supaya
setiap orang yang datang bisa melihatnya.
Aku akan berada di
rumah duka itu selama 3 hari. Di hari ketiga, menurut adat kebiasaan di
keluargaku, Ayah akan dimakamkan.
Selama 3 hari di
situ, apakah aku menangis meraung-raung? Hmm, biasa-biasa saja. Aku justru berdoa, hampir
setiap menit, agar Ayah membuka kelopak matanya dan terbangun lalu keluar dari
peti itu. Ya, jika itu sungguh-sungguh terjadi, aku akan menjadi orang pertama
yang melonjak kegirangan. Terserah kalau orang lain ketakutan dan berhamburan
keluar ruangan, aku sih justru akan meraihnya dan membantunya keluar dari peti.
Itu khayalan yang
gila, bukan?
Yah.. tetapi itu
akan sangat normal rasanya jika kamu
yang berhadapan dengan kematian orangtuamu. Bahkan saat Ayah masih hidup, aku rela
menukar kesehatanku dengan kesehatannya. Aku rela menderita demam 3 tahun tetapi
penyakit kanker Ayah hilang—itulah penawaran yang pernah aku sodorkan kepada
Tuhan dalam doaku, yang kemudian ditolak-Nya dengan mentah-mentah. Kini, saat
Ayah terbaring bagaikan patung pucat dan dingin, apa yang bisa aku harapkan
selain melihat dia terbangun?
Hari kedua, yang
merupakan hari dimana peti akan ditutup, harapanku tidak kunjung menjadi nyata.
Tetapi ketika seseorang dalam keadaan sangat terpuruk, bukankah dia akan bersikeras
dengan keyakinannya? Yah, aku akan menjadi orang pertama yang akan kegirangan
jika ada ketukan di balik peti mati Ayah, yang menandakan dia telah sadar dan
minta keluar.
Hari ketiga tiba,
dan kami bersiap-siap mengangkat peti mati Ayah ke tanah pemakaman di daerah Bandung
Selatan.
Aku tidak pernah mendengar
ketukan apapun di balik peti itu. Aku sudah berusaha berkonsentrasi mendekatkan
telingaku di sana, tetapi nihil. Mungkin Ayah sudah nyaman berada di dalam
situ.
Tanah pekuburan
telah digali ketika kami tiba di kompleks pemakaman. Orang-orang menyebutnya: liang
lahat. Menurutku itu kurang enak didengar. Lebih baik kita menyebutnya: tempat
peristirahatan terakhir.
Kami menyanyikan
beberapa lagu rohani sambil melihat peti mati Ayah diturunkan 2 meter di bawah
tanah. Sungguh, nyanyian-nyanyian rohani itu tidak dapat kunikmati sedikitpun.
Cuaca saat itu sedang panas terik, dan kami berdiri di bawah terpal biru. Orang-orang
yang hadir bermuka muram, seakan-akan selaras dengan pakaian hitam yang mereka
kenakan. Aku berusaha menahan dahaga dan kantuk pada saat yang
bersamaan.
***
Kami pulang.
Aku dapat melihat
banyaknya barang-barang Ayah yang masih berada utuh di penjuru rumah. Ranjang
yang terakhir dia tiduri, pakaian terakhir yang dia kenakan, sandal yang
biasanya dia gunakan... semuanya masih ada.
Tetapi ke mana Ayah?
Suaranya? Baunya?
Kenapa tidak ada?
Siapa yang telah menculiknya?
Apakah dia pergi?
Kenapa tidak juga pulang? Hari sudah malam... biasanya pukul 5 sore dia sudah
pulang dari kantornya.
Apakah Ayah
mampir ke rumah temannya, lalu menginap di sana?
Ahh, bukankah Ibu
sudah memasak hidangan makan malam untuk Ayah, dan ia paling suka menyantapnya dengan
lahap?
Mungkin Ayah
sedang di ruang baca, jadi lebih baik aku ke sana.
Hey, tidak ada
juga! Semua bukunya masih berjajar rapi di meja, dan tulisan tangannya
tersimpan tanpa sempat diselesaikan...
***
Berminggu-minggu
aku menunggu Ayah pulang. Tak bosan-bosannya aku menengok ke teras rumah, siapa
tahu dia datang dan minta dibukakan pagar.
Dalam hal
menunggu, aku bisa sabar. Tetapi ketika sudah 90 hari lamanya dia tidak pulang,
aku pun menyerah.
Muncullah tangisan
yang luar biasa, yang tidak tertahan. Tangisan yang mestinya kukeluarkan saat
pemakaman.
***
Sebuah keluarga
bisa sibuk begitu rupa saat seorang bayi akan lahir di tengah-tengah mereka.
Perabotan, hiasan, dan pesta kecil-kecilan dipersiapkan untuk menyambutnya.
Tetapi, seberapa banyak di antara kita yang mempersiapkan kematian orang lain?
Dalam
mempersiapkan kematian kerabat, selain dana, kita membutuhkan mental, dan itu lebih
sulit untuk dihitung dengan mata uang!
Kematian bukanlah
sesuatu yang bisa dipisahkan dari kehidupan. Jangan bayangkan bahwa, hidup ya
hidup terus.
“Sudah bertahun-tahun aku
sehat, aku bahagia, aku baik-baik saja. Apa yang mesti dikuatirkan?”
Hey, setiap orang
yang lahir pasti akan mati. Datangnya satu paket!
Seorang dokter yang
sudah menangani ratusan pasien menjelang ajal, pernah berkata, “Untuk hidup
dalam kepenuhan, kita harus bersedia menerima penderitaan.”
Saya menyarankan
agar setiap orang datang ke rumah duka jika ada kerabat atau teman yang
meninggal. Beberapa orang mungkin malas berhadapan dengan acara yang penuh
kemurungan seperti itu, tetapi bagaimanapun juga kita perlu melihat bahwa
kematian adalah realita. Tidak perlu tinggal lama-lama di sana, jika memang
tidak betah. Namun, sebisa mungkin sempatkanlah untuk merasakan langsung
suasananya. Perhatikan tingkah laku anggota-anggota keluarga yang ditinggalkan.
Tirulah ketabahan dan kerelaan mereka. Pahamilah apabila ada beberapa orang
yang tidak terima dengan perpisahan itu. Jangan lupa juga, berikanlah
penghormatan terakhirmu pada almarhum/almarhumah. Bukankah saat kamu sendiri
meninggal, kamu ingin orang berbondong-bondong datang mengucapkan selamat
tinggal?
3 komentar
sediiiiiih bacanyaaaaaaa..
ReplyDeleteperasaan yang sama -> aku sudah siap saja jika tiba-tiba pintu rumah terbuka dan Ibu memberiku kabar bahwa Ayah sudah tiada. Ya, dengan sengaja aku membayangkan momen-momen seperti itu—bukan karena aku tidak sabar melihat Ayah meninggal, melainkan karena aku takut tidak bisa mengendalikan emosiku jika saat itu benar-benar tiba. truss..
menunggu papa pulang juga gw banget, dan ternyata gak pulang pulang, gw selalu pasang telinga gw kalau2 ada mesin motor yang nyala di depan rumah, itu mesin motor papa gw yang lagi tunggu pager dibuka.
setiap orang yang lahir pasti akan mati. Datangnya satu paket!
Bener banget, kecuali ikutan rapture jadi pemenang di hadapan Tuhan. Amin semoga kita berdua ikutan rapture, mom.
Gw udah lumayan eneg sih ke rumah duka, karena keseringan dan overload banget, thanks udah ingetin mom kita harus bersyukur masi dikasi nafas dan harus memperhatikan org org yang lagi kehilangan.
Hoaaaaaaa... ternyata kita merasakan hal yang sama! Apa perasaan ini pasti dialami anak yang kehilangan orangtuanya yaah? (jadi pengen bikin penelitiannya, wkwkw)...
DeleteHugss, kita senasib sepenanggungan, semoga kita menjadi cewe-cewe perkasa melalui pengalaman ini...
Gw jarang nih ke rumah duka.. lebih sering ke nikahan orang.. udah rada lupa gimana suasananya...
Bagus bgt penggambarannya.
ReplyDelete