Flashpacking: Pangandaran Beach (part 1)

8:04:00 pm

Gw mau flashback perjalanan flashpacking gw beberapa waktu lalu. 

Lagi suntuk-suntuknya ngerjain tugas kantor yang kian hari kian membuat berat badan gw berkurang 0.5 ons (dikit banget yah), gw pun memutuskan untuk pergi liburan!

Tujuannya sederhana: supaya gw kembali waras!

Gw yakin banget, ada korelasi antara "keseringan bekerja" dengan "gangguan jiwa".

Nah, berhubung gw nggak mau makin parah, gw harus tinggalin sebentar kerunyaman di kantor, berkemas pake ransel andalan, terus cusss ke pantai.

Kenapa pantai? Gw emang suka air. Gw suka dengerin debur ombaknya, liatin laut (yang tampaknya) tak berujung, teruss... gw juga demen nonton bintang sambil leyeh-leyeh di atas pasir. 

Pas gw nyari-nyari pantai mana buat dituju, gw langsung kepikiran Pangandaran. Selain jaraknya nggak terlalu jauh, biayanya juga hemat mat mat. 

Sebagai seorang remaja milennial, gw pun melakukan riset sebelum berangkat ke TKP dengan cara browsing. Kayaknya udah nggak jaman banget, kalau gw buka atlas Indonesia terus melototin Ensiklopedia untuk cari tahu rute menuju Pangandaran. 

Gw ubek-ubek jagad internet, menemukan banyak blog dan postingan Kaskus soal "gimana cara berangkat dari Bandung ke Pangandaran."

Ahh, seneng banget, tanpa menunggu lama gw berhasil mengumpulkan banyak data soal biaya, angkutan umum apa yang mesti gw pakai, dan things to do yang layak dijajal saat mencapai Pangandaran.

Sebenernya, ini bukan pertama kalinya gw ke Pangandaran. Dulu gw sempet ke Pangandaran 2x bareng temen-temen (bukan gw koordinator-nya, jadi gw nggak tahu apa-apa pokoknya nyampe di tempat). 

Okay, tanpa perlu berlama-lama, mari kita cabut.

Hari Jumat, pagi-pagi buta sekitar jam 5 gw udah bangun, karena mesti sampai ke Stasiun Bandung jam 07.00 WIB. Aseli dah gw excited banget. Coba kalau ke kantor, ngga mungkin gw bangun subuh begini. 

Dalam perjalanan kali ini, gw ngajak nyokap gw, yang selama ini selalu membanggakan dirinya sebagai pendaki gunung Bromo dan Merapi (waktu doi muda dulu). 

Nah, untuk membuktikan kemampuan nyokap gw, gw ajakin aja doi untuk ngebolang bareng ke Pangandaran. Dan doi mau-mau aja. Itung-itung ditraktir ini sama anaknya, mungkin begitu pikirnya....

Kita jalan ke Stasiun Bandung, dari rumah gw di daerah elite dan prestise, Kopo, naik motor. Sampai di sana, kita parkirin motor di area parkir inap Stasiun Bandung. Tenang Broh, kalau lo parkir inap kendaraan di sini (baik mobil maupun motor), itungannya bukan perjam tetapi perhari. Untuk motor, tarif parkir perhari adalah Rp 15.000 (nggak terlalu mahal yaa, apalagi area parkirnya cukup aman, ada atapnya). Untuk mobil, gw kurang tau. Tetapi berdasarkan info dari internet, nggak beda jauh sih harganya. Yaa palingan Rp 20.000 perhari.

Stasiun Bandung udah rame, mungkin karena beberapa orang mulai mudik. FYI, gw pergi ke Pangandaran ini tepat 1 minggu sebelum Lebaran. Gw liatin banyak orang yang antri di loket.

Gw laper, dan kepikiran untuk beli Dunkin Donuts biar dimakan di KA. Tetapi gw inget bahwa ini lagi bulan puasa, dan rasanya segan untuk mengunyah di dalam kereta sambil diliatin sejumlah orang yang mungkin akan merasa keberatan. Jadi, kita akhirnya beli cemilan yang bisa dimakan sambil nyumput-nyumput, seperti kacang-kacangan.

Sangat disarankan ya, untuk dateng ke stasiun maksimal 30 menit sebelum keberangkatan. Soalnya, lo nggak bakal langsung terjun ke dalam gerbong kereta sesampainya di sana. Lo mesti melakukan beberapa ritual seperti, nge-print Boarding Pass (kalau beruntung, lo nggak perlu ngantri, 2 menit selesai. Tapi kalau pas rame, dan lo dateng ke stasiunnya pas mepet, lo bisa panik sendiri).

Setelah dapet Boarding Pass, lo mesti berjalan ke jalur tempat KA lo berada. Lo mesti nanya-nanya dulu lah, ke penjaga gerbongnya. Terus, belum tentu gerbong lo tuh deket dari tempat masuk lo. Ditambah lagi, lo mesti nyusun-nyusun barang di bagasi. Jadi, sebagai pencegah kerempongan, lo wajib dateng maks 30 menit sebelum keberangkatan.

Kita masuk ke kelas Bisnis kereta Argo Parahyangan, tapi tempat duduk gw dan nyokap terpisah, di gerbong yang berbeda. Jaman sekarang, naik KA udah enak Bro. Tempatnya full AC (malah sangat dingin! Kalau lo nggak bawa jaket atau selimut pas di KA, siap-siap aja lo berasa di kulkas!), terus jalannya juga pastinya nggak pake macet-macetan kayak kalo naik bus.

Pagi-pagi marathon nyariin gerbong kereta di Stasiun Bandung

Kalau lo punya kebiasaan merenung dan mencari ilham di kamar mandi saat lagi pup, di KA juga lo sangat bisa melakukannya! Kamar mandi di sini cukup bersih, ada di setiap gerbong, dan dari dalem kamar mandi tersebut lo bisa liat pemandangan soalnya ada jendelanya. 

Di KA juga ada pramugari yang senantiasa menawarkan makanan dan minuman, Tapi, harganya lumayan mahal. Tapi kalo lo udah laper banget dan perjalanan masih jauh, yaa silakan lo pesan makanan dari mereka. Seorang pramugari juga sempet kasitau gw, bahwa di kereta ini ada gerbong khusus restoran! Wah, betapa noraknya gw, baru tahu fakta ini. Sayangnya, gw nggak sempet mampir ke restoran itu karena gw emang lagi nggak pengen jalan-jalan.

KA yang gw tumpangi ini bakal turun di Stasiun Banjar. Gw baru tahu Banjar itu adalah nama kota yang nggak jauh dari Tasikmalaya. Sungguh, pelajaran Geografi jaman SD dan SMP seakan tidak berarti, jika dibandingkan dengan bertualang langsung ke sebuah daerah.

Untuk harga tiketnya, Rp 100.000 per orang. Lumayan lah, buat ukuran perjalanan yang nyaman dan eksklusif ini.

Novel di Kereta

Sepanjang perjalanan gw disuguhi pemandangan yang serba hijau: bukit, jurang, gunung dan sawah. Mendadak gw merasa lagi di pedesaan, kembali ke jaman saat Pak Tani memacul dan Bu Tani menyajikan ikan asin dan sayur asem di saung... Sambil mendengar kicauan burung jalak yang bertengger di atas punggung kerbau... Ditemani si Ujang yang mengalunkan lagu Bubuy Bulan dengan seruling bambunya... 

Pemandangan dari jendela Kereta Api 

Kereta ini doyan banget memutar lagu-lagu, dengan beragam genre, terkadang tidak diduga-duga. Saat gw lagi asyik-asyiknya baca novel Mira W, gw cukup kaget karena terdengar lagu seriosa (suara emak-emak teriak dengan nada tinggi kayak di opera) dari speaker kereta. Mendadak gw merasa salah jurusan. Apakah kereta ini lagi menuju ke Paris? Kemudian gw pun mengambil headset dan menyetel lagu Eminem kenceng-kenceng.

Perjalanan dari Bandung ke Banjar memakan waktu 4 jam. Turun di Stasiun Banjar, gw merasa lagi ada di belahan dunia lain. Sepi banget di sini!

Stasiun Banjar ini termasuk stasiun kecil, beda kelas banget sama Stasiun Bandung. Nggak ada kafe atau bahkan alfamart. Tapi lo jangan pandang sebelah mata soal pelayanan di Stasiun Banjar ini... kebersihannya terjaga banget! Toilet-nya punya interior kayak toilet mal, terus wangi dan kinclong lagi. Tanpa berpikir panjang gw langsung kasi rating bintang 5 di Google Maps Contribute.

Toilet di Stasiun Banjar

Stasiun Banjar yang Bersih

Dari Stasiun Banjar, kita naik becak menuju perempatan Tanjung Sukur. Dengan membayar Rp 10.000 per orang, kita sampai di sana. Sebenernya ada rasa penyesalan karena jarak dari Stasiun ke perempatan Tanjung Sukur ternyata deket banget. Kalau jalan palingan 15 menit nyampe. Tapi, yaudahlah, kita kan emang belum tahu jarak karena ini di tempat baru.

Dari Tanjung Sukur kita menunggu kedatangan bus yang akan menuju Pangandaran. Ngaso cantik dulu 10 menit, akhirnya si bus dateng juga. Kalau lo mau milih tempat duduk, disarankan untuk naik busnya dari terminal aja langsung. Jadi, lo naik becak dari Stasiun Banjar tadi (atau naik angkot aja sekalian), lalu minta berhentiin di Terminal Banjar. 

Bus ini lewatin perempatan Tanjung Sukur hampir 3 menit sekali, tapi kalau udah penuh dia nggak mau berhenti. Bus yang kita tumpangi adalah bus ketiga yang lewat. Ada beberapa jurusan yang bisa lo pilih. Kalau nemu bus ke arah Pangandaran atau Cijulang, naik aja langsung. Jangan lupa, minta berhentiin di Pangandaran.

Tarif busnya Rp 30.000 per orang. Meskipun ber-AC, bus ini kurang nyaman karena tempat duduknya sempit banget. Kursi yang buat 2 orang terasa kurang lebar. Apa lagi, jarak antara kursi depan dan belakang irit banget. Susah kalau mau selonjoran. Buat yang kakinya panjang, pasti lo merasa kejepit. Mendingan lo duduk di bagian paling belakang aja, yang kursinya rada tinggi. 

Tapi rasa kesempitan ini terobati dengan pemandangan kanan-kiri yang menyejukkan mata. Hampir sama dengan pemandangan di kereta tadi, lo bakal melihat bukit-bukit hijau. Kadang juga lo lihat rumah penduduk. 

Mau ke pantai (dataran rendah) tapi perjalanannya kok berkelok-kelok dan ngeliat gunung melulu? Tenang, ini bukan nyasar namanya. Mungkin ini karena konturnya daerah Pangandaran menyatu dengan gunung-gunung di sekeliling Jawa Barat (sok tau banget).

Yeeah, setelah 2 jam merem-melek di bus (karena pengen tidur tapi terlalu bersemangat untuk pengen buruan nyampe), akhirnya kita turun di sebuah bundaran yang ada patung ikan.

Patung Ikan di Bundaran Pangandaran


Jadi, total perjalanan dari Bandung ke Pangandaran adalah 6 jam. Lama perjalanan ini kurang lebih sama jika lo naik kendaraan pribadi (mobil atau motor). Oya, kalau lo dari Jakarta dan mau "mewah dikit" lo bisa naik pesawat. Berangkat dari Bandara Halim Perdana Kusumah, naik maskapai Susi Air, turun di Bandara Cijulang Nusawiru Pangandaran. Pastinya bakal lebih cepet nyampe!

Gw merasakan perbedaan besar saat travelling ke Pangandaran waktu masih kuliah dulu (sekitar 6 tahun lalu) dibandingkan dengan sekarang. Waktu itu, jalanannya ancur parah, berbatu-batu, dan naik turun bikin mual. Kalau sekarang, masih naik-turun sih, tapi mulus banget karena udah diaspal. 

Lanjuutt....

Setelah turun dari bus, kita langsung dicegat sama abang tukang becak. "Neng, kalau jalan masuk ke dalem jauh loh, naik becak aja." 

Dalam hati gw, "Iya Mas, saya juga tau.. kalo jalan bisa gempor.." (tapi di akhir petualangan gw baru sadar bahwa ini salah besar. Akan gw ceritakan nanti).

Gw sebutin lokasi hotel tempat gw menginap. Rencananya, kita mau simpen ransel dulu, baru jalan-jalan ke pantai. Lagian, saat itu udah hampir 2 siang, pas untuk check-in. Saat gw nyebut nama hotelnya, si abang becak pelanga-pelongo. 

"Hotel saya ini (sebut aja Hotel Mawar) ada di belakang Horison," kata gw sambil ngeliatin peta di Google Maps.

"Oh, Horisan ya," kata abang becak ngangguk-ngangguk. 

Kita deal-dealan tarif, dan dia minta Rp 30.000. Buset dah, untuk ukuran becak itu sama sekali nggak murah. Kalau itu ojek masih mending dia minta segitu untuk 2 orang. Tapi karena kita adalah turis yang rendah hati dan bermartabat maka kita memutuskan untuk mengiyakan tawaran si abang becak.

Jalanan di sepanjang Pangandaran mulus, dan lalu lintasnya cenderung sepi. Maklum, lagi bulan puasa. Gw emang seneng kalau tempat wisata nggak terlalu padet. Biar nggak kayak pasar.



Lurus terus sampe 200 meter lebih, batang hidung si Hotel Mawar belum juga tampak. Terus abang becak nanya, "Neng, nggak mau nginep deket sini aja? Saya bantuin cariin, ya."

Yaelah, belum juga ngegowes 5 km, si abang udah menyerah. Emang sih, cuaca saat itu panas terik, tapi kan kita udah deal tadi. Duh, kesel juga jadinya. Pertama, kita disambut di lokasi wisata dengan cara "dipalakkin" dan kedua, kita diperlakukan seakan nggak ngerti jalanan.

Gw berusaha bikin si abang becak fokus untuk sampai ke tujuan semula. 

"Mas, kita ini udah booking hotelnya dari jauh-jauh hari, jadi nggak bisa pindah-pindah seenaknya," kata gw sambil noleh ke bangku si abang becak. Eh abis itu, si abang diem aja, terus curhat bahwa saat tsunami berlangsung dia lagi narik becak di sekitar sini.

Akhirnya, setelah perjalanan sekitar 15 menit sampailah kita di Hotel Mawar. Ini hotel emang letaknya di ujung Pangandaran, tepatnya sebelum Cagar Alam. Berdirinya juga nggak di Pantai Barat (yang banyak penginapan) tapi di Pantai Timur (yang lebih sepi). Sengaja banget gw milih yang lokasinya anti-mainstream. Soalnya dari 2 kali kunjungan ke Pangandaran, gw selalu nginep di Pantai Barat alias West Coast. Bosen..

Turun dari becak, si abang bilang, "Kalo ini mah jauh banget, udah deket ke Cagar Alam. Kalo gitu tambahin ongkosnya dong jadi Rp 40.000."

Ihh, pengen banget gw dorongin becak abang ini ke dalam laut yang ada di sebelah kanan gw. Biar hanyut sekalian.

Penginapannya nggak angker, kok.. Percayalah ama gw, jangan percaya abang becak itu!


Tapi karena gw adalah turis yang penuh ketabahan dan belas kasihan, gw pun membayar lebih. Tapi gw lebihin Rp 5.000 doang, jadi totalnya Rp 35.000. 

Sambil bilang terima kasih, gw langsung buru-buru mau masuk ke hotel. Ehh si abang masih sempet ngajak ngobrol dan mengatakan hal super-nggak-penting.

"Dulu, sebelum hotel ini berdiri, di sini jadi tempat pengumpulan jenazah korban tsunami itu Neng..."

Astagaa... si abang niat banget ya mau bikin gw takut??

"Oh gitu ya? Makasih Mas infonya," terus gw buru-buru nyosor ke dalem penginapan. 

Semoga si abang ini segera kembali ke jalan yang lurus.


(bersambung... )


You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest