SALAH ASUHAN

11:57:00 pm


Kalau kita mau pintar, bacalah tulisan dari orang-orang pintar. Walaupun di lembaran-lembaran awal kita bingung dan dibikin manyun, lama-lama kita akan menyamakan level intelektual kita dengan otak si penulis. Setidaknya itu teori yang gw buat 1 menit lalu. 

Gw baru saja menyelesaikan buku nonfiksi "Man Down". Awalnya boring banget, cuma berisi data-data yang, walaupun gw belum tahu, rasanya bisa didapetin di google. Pernah ngga sih lo baca buku tapi isinya kayak wikipedia yang dicetak dan disampul? Gw pernah beberapa kali, dan nyesel banget belinya.

Meski begitu, gw selalu inget bahwa membaca buku mirip seperti lari jarak jauh. Lo ngga bisa seenaknya berhenti (karena bukunya udah terlanjur dibeli). Istirahat boleh, dan perlu. Tapi jangan berhenti. Kecuali! Kecuali kalau isi buku itu emang menyesatkan dan ngga sehat buat pola pikir elo. Ya langsung aja hempaskan ke tanah lalu kubur dalam-dalam. 

Karena gw terus maksain untuk baca tu buku, akhirnya gw menemukan kenikmatan mulai dari part 2 nya. Jadi buku ini membahas kelebihan wanita dibanding pria dalam aspek-aspek yang jarang kita perkirakan, seperti: wanita menyetir lebih baik daripada pria, wanita menjuarai lomba makan lebih sering daripada pria, polisi wanita lebih dipercayai daripada polisi pria, dan kekebalan tubuh wanita lebih kuat daripada pria. Lumayan seru karena menjelang akhir buku ini gw kayak dapat energi terbarukan--motivasi berapi-api untuk punya keinginan hidup, kepercayaan diri, dan sukacita atas keunggulan gender gw dibanding gender seberang. Apakah gw terdengar seperti SJW feminis? 

Waktu isoman sebulan lalu, gw membaca 2 novel berturut-turut dengan latar Jepang. Keduanya seru! Novel pertama adalah "Tokyo Tower", kisah nyata sang penulis (laki-laki) dalam menjalani naik turun hidup bersama ibunya. Jadi, papanya tuh ngga cerai sama ibunya, tapi ditinggalin aja gitu. Hubungan si penulis dan sang ayah juga kurang begitu baik. Meski demikian ada beberapa fase saat mereka kembali akrab, lekat, dan damai. Fokusnya sih tetep ke ibunya, karena yaa namanya juga anak laki. Lebih deket ke ibu. 

Novel kedua adalah "Convenience Store Woman" yang berhasil gw selesaikan tanpa istirahat. Istirahat yang gw maksud tuh misalnya tidur dulu, makan dulu, pup dulu, dsb. Selama mantengin novel ini, saking mengagetkannya, gw ngga bisa lepasin gitu aja dari genggaman. Tokoh cewe penjaga supermarket ini menurut gw lumayan jenaka dan langka. Bahkan di negara seunik dan se-introvert-friendly macam Jepang aja sosoknya tetap jadi bahan julidan orang-orang. Dan yang bikin kaget adalah keputusan-keputusan ngga lazim yang dia buat dalam hidupnya. Satu sisi mungkin kita kasian, tapi di sisi lain kita salut karena dia seberani itu. Novel ini memenangkan Akutagawa Prize di tahun 2016. 

Dan novel satu lagi yang ingin gw puji adalah "Salah Asuhan" karangan Abdul Moeis. Gw ragu apakah ada deskripsi yang bisa sukses menggambarkan kekaguman gw sama novel ini. Awalnya juga gw dibikin bosen--cape gitu bacanya karena ditulis dengan tatanan EYD jaman Hindia Belanda. Udah mah kadang-kadang ada kosakata dalam bahasa Minangkabau dan Belanda. Untung gaya bertuturnya gemes gemes menggelitik walaupun agak selow. Ini buku sering banget dijadiin referensi pas kelas Bahasa Indonesia jaman SD. Film dari novel ini pun sudah dibuat, dengan disutradarai oleh Asrul Sani.

Menariknya "Salah Asuhan" di mana? Wah, banyak! Pada jaman itu (tahun 1928) tema pernikahan lintas bangsa-suku-agama masih jarang; barangkali karya sastra inilah yang pertama kali dengan "lancangnya" terbit. Jadi layaklah dia menuai perhatian, terutama karena keberanian si penulis untuk bergeser dari tema-tema mainstream yang telah ada. 

Satu adegan terfavorit gw: ketika Hanafi berjaga di tanah kubur Corrie, dengan ditemani selimut tebal dan termos kopi. Semalam-malaman ia bercengkerama dengan istri yang tak lagi bisa diajak bicara itu. Sumpah deh itu menyayat hati banget. Dan ini jenis novel yang bikin susah move on! Ingatan akan pilunya hati Corrie de Busse selama hidup, bikin gw kepikiran terus. Hehehe baperan amat ya gue. Gw sebagai pembaca tuh kayak gemes, karena Hanafi dan Corrie sebenernya bisa banget hidup bahagia. Tapi yaa takdir berkata lain. 

Dan karena itulah gw bertepuk tangan untuk kehebatan bercerita Abdul Moeis. Mungkin kalo gw nonton filmnya bakal ambyar semua angan-angan gw yang sudah terbentuk saat membaca novelnya. Well, pas gw googling filmnya juga ngga nemu sih. 

Jadi inget sama cerita seorang temen yang susah move on dari manga Attack on Titan/Shingeki no Kyojin. Dia bilang, endingnya bikin nyesek karena tokoh utamanya dibuat mati oleh si penulis. Saking nyeseknya, efek itu dia rasakan sampai beberapa hari. Tuh kan, gemes kan. Pasti kita sebagai pembaca yang terlarut dan sempet hadir dalam proses kehidupan si tokoh merasa pingin banget mengubah keadaan. Padahal ini bohong-bohongan loh. 


Photo by Jakob Owens on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest