Bingung Setelah Membaca Buku
10:45:00 am
Judul buku: Mengambil Keputusan Sesuai
Firman Tuhan: Memilih dengan Bijak dalam Zaman yang Penuh Pilihan
Penulis: Haddon W. Robinson
Pernyataan 1
Dari masa ke masa, orang Kristen melakukan berbagai macam
hal untuk bisa mengintip pikiran Allah. Sebagian menjadikan Alkitab sebagai
buku sihir. Mereka membuka kitab suci secara acak danmengarahkan mata mereka
untuk menyusuri halaman yang terbuka. Lalu ketika mata mereka tertambat kepada
sebuah kalimat atau ayat—tidak penting apakah itu sesuai dengan
konteksnya—mereka menerimanya sebagai isi pikiran Allah.
Pertanyaan 1
Apakah telaah Alkitab yang populer saat ini—yang mana
sebagian besar di antaranya memang dibahas dengan menggunakan metode di
atas—merupakan telaah yang keliru atau tidak tepat menurut Alkitab? Apakah
pengajaran-pengajaran yang terkenal bisa jadi bukan merupakan pengajaran yang
BENAR?
Pernyataan 2
Dalam hidup ini, kehendak kita dan kehendak Allah saling
terkait secara ajaib, Petrus berbicara tentang misteri itu ketika berkhotbah di
hadapan sejumlah besar orang yang memadati jalanan Yerusalem pada Hari
Pentakosta:
“Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan
rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa
durhaka. Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara
maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.” (Kisah Para
Rasul 2:23-24)
Implikasi dari perikop singkat itu sangatlah besar.
Petrus mengakui bahwa ketika orang-orang di Yerusalem menyalibkan Yesus, merek
atelah menetapkan pilihan mereka. Para prajurit Roma memilih untuk mengikuti perintah dan menancapkan paku ke
tangan-Nya. Pilatus memilih untuk
membiarkan ambisi yang mengarahkan tindakannya dan menyetujui Yesus disalibkan.
Para pemimpin agama memilih untuk
menghasut orang-orang agar meminta Barabas dibebaskan dan Yesus disalibkan. Ada
berbagai macam pilihan yang dibuat pada hari itu. Dan semua pilihan yang dibuat
secara terpisah itu termasuk dalam kehendak dan maksud Allah yang tak terbatas.
....
Orang-orang di Yerusalem memang bertanggung jawab atas
pilihan mereka, tetapi dalam semua pilihan itu—melalui derita penyaliban yang
mengerikan itu—Allah mendatangkan maksud-Nya yang terbaik.
...
Kita perlu mengingat bahwa ketika berbicara tentang
mengambil keputusan, kehendak Allah tidak ditentukan noleh pilihan-pilihan yang
kita buat. Allah tidak dibatasi oleh yang hendak kita lakukan. Namun dalam
kedaulatan-Nya, Allah bisa bekerja dalam
pilihan-pilihan kita, melalui
pilihan-pilihan kita, dan terlepas
dari pilihan-pilihan kita, untuk menggenapi kehendak-Nya.
Pertanyaan 2
Kalau demikian, bukankah secara tidak langsung
orang-orang Yerusalem yang punya niat membunuh Yesus dan MEMILIH untuk memang
membunuh-Nya adalah orang-orang yang patut dapat “apresiasi”? Bukankah Yudas
Iskariot, melalui ketamakan dan kedegilan hatinya, “dipakai” Tuhan untuk
mengkhianati dan menjual Yesus (meskipun memang dia bisa MEMILIH untuk tidak
mengkhianati dan tidak menjual Yesus)? Dan bukankah Yudas dalam hal ini patut
“dipuji” atas pilihan yang telah dia ambil? (karena kalau dia tidak jadi
mengkhianati dan menjual Yesus maka peristiwa penyaliban tidak terjadi). Atau,
mungkin saat itu Yudas “insyaf” dan MEMILIH untuk tidak melakukan hal tersebut,
namun demi harus-tergenapinya-nubuatan-itu maka Tuhan pun memakai orang lain
lagi untuk mengkhianati dan menjual Yesus, bukan begitu? Lalu katakanlah orang
tersebut kali ini adalah Yakobus. Kalau Yakobus yang akhirnya “menyukseskan”
misi hingga Yesus mati disalibkan, bukankah dia juga berhak dapat pujian dan
penghargaan atas pilihannya itu? Bagaimana? Apakah ada penjelasan dari sudut
pandang nalar yang lain lagi?
Pernyataan 3
Salah satu cara menunjukkan sikap tunduk kita terhadap
kehendak Allah yang berdaulat adalah melalui doa. Ada banyak misteri yang
terkandung dalam doa, tetapi yang jelas, tujuan saya berdoa bukan untuk memberi
tahu cara Allah seharusnya mengatur segala sesuatu. (Jika itu benar, entah apa
jadinya dunia ini.) Sebaliknya, tujuan dari doa adalah untuk tunduk di hadapan
Allah yang berdaulat dan mengakui kedaulatan-Nya dalam hidup dan semua
keputusan saya.
Itulah konsep dasar Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus
kepada murid-murid-Nya. Tiga permohonan pertama terkait dengan Allah—bahkan
kebutuhan pribadi tidak disebutkan, baru disebutkan kemudian setelah tiga
permohonan itu. Dengarlah doa-Nya: “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah
nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga”
(Matius 6:9-10).
Betapa seringnya kita menghadap Allah untuk mendapatkan
persetujuan-Nya atas segala rencana yang kita buat bagi kerajaan, kemuliaan,
dan kehormatan kita sendiri. Namun, ketika kita benar-benar tunduk dalam doa di
hadapan Allah, kita mengakui kedaulatan Allah. Dalam setiap keputusan kita,
sikap itu harus menjadi yang utama.
Pertanyaan 3
Ok, ini sesungguhnya bertentangan dengan konsep populer
di gereja-gereja kharismatik: konsep deklarasikan (atau perkatakan) segala yang
kita minta (tentu permintaan itu harus dalam kerangka kehendak Allah), maka itu
akan terjadi. Yang saya pertanyakan adalah, apakah saat kita dengan penuh urat
dan semangat berkata, “aku perkatakan kamu sembuh!” atas seorang pasien kanker
saraf stadium 3, kita benar-benar menyerahkan itu ke dalam kehendak Allah? Saya
paham bahwa dengan otoritas yang kita miliki kita bisa meminta kehendak Allah
(kesembuhan, pemulihan, kelepasan, dsb) terjadi dalam hidup kita, namun bukankah
ketika kita terlalu sering melakukan hal itu kita akan kurang sadar bahwa
sesungguhnya kita bukan Tuhan, dan DIA-lah Tuhan? Artinya, sekalipun kita tahu
otoritas kita untuk meminta, namun bukan berarti kan semua permintaan dan
deklarasi kita akan terlaksana, toh? Apakah konsep populer ini setuju bahwa
kedaulatan ada di tangan Allah?
Pernyataan 4
Apa pun konsekuensinya—baik yang diketahui ataupun
tidak—ada sejumlah perbuatan yang selalu dinyatakan salah oleh Alkitab.
Berzinah itu selalu salah. Mencuri itu selalu salah. Mengucapkan saksi dusta
itu selalu salah. Dan menyembah berhala itu selalu salah. Setiap masalah ini
adalah masalah hitam-putih; semuanya adalah perbuatan yang salah danmotivasi
apa pun tidak dapat mengubahnya menjadi baik.
Namun yang menarik, tidak ada tindakan dalam Alkitab yang
dengan sendirinya dikatakan benar. Setiap perbuatan baik harus muncul dari
motivasi yang baik; jika tidak, itu bukan perbuatan yang baik. Sebagai contoh,
berdoa itu baik, tetapi berdoa pun bisa dirusak oleh motivasi yang buruk.
Seorang Farisi, yang berdoa supaya dilihat orang, dicela oleh Yesus (Matius
6:5). Pada satu hari Sabat, dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Yang
satu adalah seorang pemungut cukai, dan yang lainnya seorang Farisi. Keduanya berdosa,
tetapi hanya satu yang kembali ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah
(Lukas 18:10-14). Perbuatan yang benar hanya bisa dikatakan benar jika muncul
dari motivasi yang benar.
Setiap tindakan tidak bisa dikatakan benar atau salah
dengan sendirinya. Tindakan itu baru menjadi benar ketika kita melakukannya
berdasarkan kasih. Tindakan itu menjadi salah jika kita melakukannya dengan
sikap egois.
Itu sama seperti bermain piano. Dengan sendirinya, tidak
ada nada yang salah atau benar. Baru pada konteks lembaran musik terdapat nada
yang salah atau benar untuk dimainkan. Kita mungkin tidak suka nada G atau F,
atau sangat suka nada C#, tetapi benar-salahnya nada itu sendiri tergantung
pada lagu yang sedang dimainkan. Demikian juga keputusan. Keputusan itu menjadi
benar atau salah tergantung pad amotivasi yang ada di baliknya.
Pertanyaan 4
Apakah jika tadinya sebuah tindakan yang netral (bukan salah
dan juga bukannya benar) dimotivasi oleh hal yang benar—yaitu kasih—maka
tindakan itu menjadi benar? Misalnya, seseorang memilih agak bermalas-malasan dalam bekerja dengan tujuan agar teman yang
dia cintai yang mendapatkan promosi jabatan dan bukan dirinya. Motivasi: kasih.
Apakah tindakan ini benar-benar tidak dibenarkan?
0 komentar