ANCHOR: The Rest is Background Noise

10:15:00 pm

Di hari yang baik ini (yang cukup jarang terjadi) mari kita menulis hal-hal baik.

Aku bersyukur bisa mengenal olahraga lari. Apresiasiku kuberikan kepada Irma Apriyani yang telah menjebakku dalam dunia perlarian ini. Hahaha.

Mungkin "olahraga" bukan istilah yang tepat. Lari itu lebih ke "rekreasi" atau "hobi" sih. Tidak ada tekanan apapun untuk berlari kencang. Mau lambat-lambat tipis-tipis silakan. Kita tidak berlomba dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri: dengan kemalasan kita, rasa lapar kita, kenyamanan tempat tidur kita, dll.

Bisa bangun dan berlari santai 3 km saja sudah merupakan prestasi. Dan kamu sendirilah yang jadi juara di podium kehidupanmu.

Astaga, apa yang kubicarakan? Ok kembali ke laptop.

Berkaitan dengan lari, ada satu insight yang ingin kubagikan. Beberapa hari ini aku berpikir.... Dalam dunia yang begitu fucked up ini, kita bisa bertahan kalau kita punya ANCHOR.

Anchor adalah jangkar dalam bahasa Inggris. Anchor adalah penahan yang baik saat kapal di tengah laut. Logam besi dan rantai sebuah anchor akan menancap tembus hingga ke dasar laut, menjadi topangan yang kuat bagi kapal raksasa yang beratnya berton-ton. Mau ada ombak, biarin. Kapal akan melenggok agak kiri agak kanan, tapi dia takkan kemana-mana. Mau ada segerombolan anak berlarian di kapal sampe bikin kapal goyang, silakan. Kapal tetap stabil. 

Nah, apa anchor yang kamu punya? Seberapa kuatkah dia menjalankan perannya sebagai anchor? Atau, kamu belum menemukan anchor yang kokoh dan terpercaya? 

Waktu lari Half Marathon (HM) 21 KM di Yogyakarta tahun lalu, aku tak bisa berhenti memikirkan ini. Long run seperti ini adalah momentum yang baik untuk berkontemplasi. Most of the time kita berlari sendirian! Bukan dengan partner kita, bukan dengan teman se-komunitas kita. Dan kita mesti stabil menjalani rute yang super-membosankan ini!

Mengapa kita melakukan perlarian itu? Ya, alasan mendasarnya adalah kita sudah sign up dan sudah bayar. Masa di tengah jalan kita naik gojek terus pulang? Pas ditanya panitia, kita jawab alesannya capek dan kaki pegel. Hastaga.

Bahkan kalau kaki lo mulai kram, tapi lo masih bisa jalan pelan, lo harus menyelesaikan race lo, boss! Kecuali lo udah hampir mati, mesti ditandu dan dilarikan ke ICU. Nah, baru deh lo sebaiknya mundur dari gelanggang pertandingan. Haha. 

Tapi 21 KM itu panjang. Berasa gak berujung. Waktu yang disediakan 4 jam. Dan seperti yang gw bilang tadi, most of the time lo berlari sendiri. Atau, lo berlari dengan sesama pelari yang tidak lo kenal. Dan lo hanya punya pikiran lo untuk diajak berdialog dan bercakap-cakap.

Si Irma punya kisah lucu. Lagi enak-enaknya merayap di KM belasan, ada warga setempat, nenek-nenek gitu, yang ngasi saran absurd. "Mbak lewat sini aja. Saya tau jalan pintas supaya lebih deket."

Ebuset. Jalan pintas sih pasti ada. Tapi kan pelari diharuskan mengikuti track yang sudah ditentukan. Kalau motong jalan ya kena diskualifikasi. 

Si Irma jelas menolak usulan si nenek tua tsb. Doi ketawa. Ada-ada aja. Tapi ya sarannya beliau emang makes sense. Cuman nggak feasible. 

Tanpa anchor yang kuat (yakni peraturan panitia) kami mungkin akan ambil jalan pintas. Tanpa anchor yang kuat mengakar bahwa kami sedang ikut sebuah race, maka saran nenek tua itu bikin kami tergoda.

Coba kalau kami lari mandiri (lari karena latihan sendiri, bukan sedang join race). Kemungkinan saran beliau akan jadi pertimbangan kami. Apalagi kami sudah capek, lari sudah 15 KM-an dan stok refreshment menipis. Ditambah bayangan akan lezatnya lontong kari dan es cendol. Aduh.. mana sih ini jalan pintas biar cepet finish. 

Tapi meskipun lari di luar race, kita bisa kok tetap punya anchor: target kita sendiri. Tujuan kita awalnya berlari mau apa? Ngejar pace (kecepatan) berapa, menempuh berapa KM, dsb. Itulah anchor yang akan memampukan kita untuk bertahan dalam perlarian nan membosankan.

Itu baru perkara sederhana, soal berlari. Lintasan kehidupan lebih rumit daripada ini. Kita tidak melewati jalan datar dan lurus, tapi penuh kelokan dan kejutan. Kadang-kadang jantung dibuat hampir mampus dengan segala tingkah-laku semesta yang di luar prediksi kita.

Tanpa anchor yang kuat mungkin kita takkan survive. Contoh anchor yang tidak kuat: sesamamu manusia. Aku tahu beberapa orang bertahan dalam pekerjaan/lingkungan gereja yang tidak ia sukai/tidak cocok dengannya karena temannya ada di situ. Sesimpel itu! "Karena dia adalah temen gw dan dia ada di situ, maka gw pun harus ada di situ."

How the actual fuck seorang teman bisa jadi alasan yang kokoh untuk bertahan dalam kondisi yang tidak lo sukai?! Maksudnya, lo bukan sedang menjalankan misi mulia dimana lo harus bersama-sama dengan dia. I mean, lo bisa memilih apa yang perlu dan apa yang lo mau. Lalu bagaimana ketika sang teman pergi suatu kali nanti? Apakah lo tidak lagi akan bekerja/beribadah di tempat itu? 

Mengandalkan sesama manusia bukan bentuk anchor yang kuat. Apalagi manusia itu berubah-ubah sifatnya. Dulu begitu, sekarang begini. Dulu setia, sekarang cuek setengah mati. Kalau demikian, apa kamu berkuasa untuk mengembalikan dia ke sifatnya yang dulu? Tidak mungkin. Waktu berputar cepat, setiap orang dirundung masalah, dan semua pergumulan itu telah mengubah mereka. Kadang perubahannya irreversible (kalau sudah maju, tidak bisa diputar kembali/mundur lagi).

Ngomong-ngomong, pernah ngga nonton sebuah film, dan kamu merasa si sutradara membuat film ini khusus untuk kamu dan tentang kamu? Pernah ngerasa se-relatable itu dengan sebuah film? 

Yess. Ini juga yang gw rasain waktu nonton "1917". Gw nonton dua kali. Pertama kali nonton nangis sesenggukan di studio. Untungnya kanan dan kiri gw kosong. Tetep aja tapi, gw mesti menahan suara isak biar ga disangka sakit jiwa.

Kedua kali, gw biasa aja. Nangis dikitttt doang pas adegan Blake mati (eh spoiler deh). Selebihnya aman. 

Gw ga ngerti juga kenapa bisa "dipertemukan" dengan film yang tepat di momen yang tepat--ketika gw lagi di titik terendah, di dasar dimana gw gak sanggup memanjat sedikitpun untuk mencapai ketinggian normal. Film ini brutal tapi menyayat hati. Ada satu kalimat dialog yang akan selalu membekas di otak gw sampe akhir hayat nanti.

Waktu adegan melewati pepohonan penuh bunga ceri, Schofield bertanya pada Blake, "Ini bunga ceri udah pada mati kali ya? Pohonnya udah pada ditebangin gini?" (Kira-kira beginilah kalo ditafsirkan dengan gaya Betawi, hehe).

Lalu Blake bilang, "Mana ada mereka mati? Ini bentar lagi bijinya akan membusuk, tapi setelah itu akan tumbuh bunga yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada sebelumnya."

(( Akan membusuk, tapi setelah itu bunganya akan tumbuh lebih banyak ))

Kalimat sesederhana itu membuat membran yang menyumbat jalan pikiran gw mendadak luruh. Apapun yang mati akan hidup lagi, bahkan kekuatannya bisa berkali lipat dari sebelumnya. Mati dan menjadi busuk bukanlah akhir. Alam telah memberikan kita petunjuknya.

Oke, balik lagi ke laptop. Film 1917 ini juga-lah yang memicu gw merenung banyak soal ANCHOR.

Ih, udah pada nonton belum? Nonton gih. Gw gamau cerita banyak soal film ini, pokoknya ratingnya 10/10.

Singkat kata, film 1917 adalah penjabaran cantik dan mempesona tentang pentingnya melaksanakan tugas sampai TITIK (bukan KOMA) meskipun bahaya mengancam dan nyawamu jadi taruhan. Masalahnya, nggak mungkin si pemeran utama bisa menyelesaikan misinya tanpa berpegang pada ANCHOR. Nah, apa sih anchor-nya? Hadeuh, gemes banget gw pengen bocorin semua isi filmnya di sini. Tapi ogah deh. Spoiler itu dosa.

Jadi, karena kalian sudah rela membaca sampai sejauh ini, saya ingin menutupnya dengan pesan:

1. Nontonlah film 1917 di bioskop terdekat.
2. Nontonlah untuk kedua kalinya. Di bioskop yang berbeda.
3. Carilah anchor-mu. Find your true and solid anchors.
4. Gantilah anchor-mu yang lama (yang ternyata payah kalau dijadikan sandaran) dengan anchor baru yang kokoh, stabil, dan teruji.


=== 

To have an anchor is to be centered and well grounded, so you know where to go and what your life's purpose should be. Then the rest is just background noise. 




You Might Also Like

2 komentar

  1. Uhuy namaku disebut. Terima kasih juga udah jd partner lari yang kece :) dan selalu paling semangat di depan saat race.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anda partner lari + penyemangat yang luar biasa! Patut diberikan apresiasi di hari Valentine yang indah ini. Mwahh...

      Delete

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest