Book Excerpt: A Slap in the Face
8:35:00 pm
Beberapa minggu
lalu gw baru nyelesain satu buku yang baguuus banget. Ini sebenernya buku
filsafat tapi rasa psikologi praktis. Penulisnya William B. Irvine
adalah seorang Professor of Philosophy. Buku genre begini baru pertama kalinya
gw baca, dan gw langsung suka! Malah langsung gw incer buku-buku Irvine lainnya
di Book Depository.
Ngga sabar!
Oke, berhubung
bukunya yang lain belum dateng—sebab emang belum gw pesen—kita bahas dulu yuk bukunya
yang ini: A
Slap in The Face (Why Insults Hurt—And Why They Shouldn’t)
Dari judulnya udah ketebak, ini buku tentang insults. Dalam bahasa Indonesia enaknya insults diterjemahin jadi apa ya?
Celaan, hinaan, makian, cercaan. Mungkin begitu kurang lebih. Termasuk sindiran dan sarkas juga, menurut saya.
Dalam bahasa
Inggris, insult = a disrespectful or
scornfully abusive remark or action.
Budaya Barat atau
Timur atau di kutub sekalipun, pasti mengenal keberadaan insult sebagai “bumbu-bumbu
relasi”. Kalau ngga ada insult rasanya acara gathering kurang rame. Udah berbulan-bulan
kenal tapi ngga saling insult, kok rasanya kayak belum akrab.
Kalo gw perhatiin,
sesama cowo lebih sering meng-insult, dengan ujaran yang agak kasar. Nama hewan menggonggong atau cercaan soal fisik, seakan lancar mengalir
dari mulut satu sama lain. Tapi ngga ada acara sakit hati atau baper-baperan di antara mereka.
Sementara, sesama
cewe nggak seperti itu. Kompetisi antar-cewe itu tinggi loh. Di permukaan para
wanita terlihat akrab dan saling support; tapi sebenarnya ada rasa iri
yang terpendam di masing-masing individu. Gw bicara general, jadi tentu saja
ngga semua cewe seperti itu (baca: membela kaumku sendiri, LOL). Lagipula, kenapa ya wanita dituntut untuk bertutur kata lebih sopan dan tidak jorok. Ga
ngerti aja, kenapa peraturan yang setara tidak diberlakukan ke cowo?
Kesannya, cowo kalau ngomong kasar dan jorok itu patut dimaklumi—karena mereka
cowo. “Namanya juga laki.” What the
heck deh~
Tapi insult ngga
melulu lewat verbal (perkataan). Misalnya, lo bertemu dengan orang baru di
sebuah seminar. Lo mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. Dia melihat, tapi tidak
mengulurkan tangannya padamu, dan malah melengos begitu saja. Bikin tersinggung?
Jelas! Inilah bentuk insult berupa gesture tubuh.
Hal menarik soal
insult adalah, manusia bisa dengan cerdiknya
menggunakan pujian untuk meng-insult. Ini seringkali dilakukan tanpa sadar.
Contohnya begini.
Seorang guru memuji kepintaran muridnya di depan orang tuanya. Si guru tersebut
dalam hatinya sebenarnya berkata: “Tentu saja dia bisa menjadi pandai karena
kehebatanku dalam mengajar. Jika bukan karena peran aku sebagai gurunya, mana
mungkin dia bisa begitu cerdas?”
Atau, ketika
seorang suami memperkenalkan istrinya kepada rekan kerjanya. Dia dengan
bangganya memuji istrinya yang mengenakan gaun malam anggun dan make-up
yang menawan. Diam-diam, si suami sebenarnya berujar: “Tebukti
kan bahwa aku bisa memilih istri yang rupawan. Betapa hebatnya aku, dan betapa
beruntungnya istriku karena dipilih oleh pria hebat sepertiku.”
Ternyata pujian tidak
terlihat sebagaimana dia terlihat, ya!
Pertanyaannya:
Kenapa kita mencerca? Kenapa kita memaki?
Jawaban sederhananya,
karena kita ingin mempertahankan status sosial kita (Penulis memberinya nama “Social
Hierarchy Game”). Mencerca adalah sarana untuk menaikkan derajat/mempertahankan
derajat yang (menurut kita) sudah tinggi, sehingga orang lain yang
terlihat sebagai “ancaman” bagi kita tidak akan melampaui derajat kita.
Pertanyaan kedua:
Jika cercaan adalah hal yang tak terhindarkan, bagaimana kita harus
menghadapinya?
Jawabannya: jadi
santuy-lah. Insult tidak pernah membunuh kita, tapi reaksi dan respon kitalah
yang bisa. Dan kalau kita menyadari sungguh-sungguh alasan
seseorang meng-insult kita, maka kita akan dengan mudah memaafkan, atau
setidaknya, membiarkan mereka. Penulis menganjurkan penerapan filosofi Stoic
untuk “mempertahankan diri” di tengah masyarakat yang pasti sedikit banyak akan
mencerca kita. Stoicism sendiri
mengajarkan beberapa poin yang menarik, seperti: bagaimana agar kita tidak berkompetisi dengan orang
lain untuk menjadi juara di perlombaan status sosial. Yass! Kuncinya adalah, kita
mesti memahami apakah kadar self-esteem dan self-image sudah cukup tinggi atau
masih sangat rendah, karena itu akan menentukan reaksi kita ketika dicerca.
Seseorang dengan
self-esteem rendah dan self-image buruk adalah mereka yang paling gampang
tersinggung dengan insult—bahkan untuk ukuran insult yang berupa candaan
sarkas sekalipun. Tipe orang seperti ini akan selalu menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai amarah yang ia ciptakan sendiri. Contohnya, sekelompok
teman lagi rame-rame saling mencela. Tiba-tiba si A menjadi target celaan. Jika
A adalah orang dengan self-esteem rendah ditambah self-image buruk, dia akan tersinggung
dan balik menyerang si pembuat insult. Padahal si pembuat insult mencela A
karena merasa akrab dengan si A. Kenyataannya A tidak punya kemampuan emosional
untuk memahami insult sebagai bumbu relasi. Self-esteem yang rendah
membuat A tidak siap menerima insult; ia menjadi tersakiti. Self-image nya yang
rapuh juga memperparah keadaan: ia (selama ini) selalu mencoba terlihat "oke" tapi
sebuah insult yang dilontarkan di forum terbuka telah menjadi ancaman bagi
image yang dia bangun.
Padahal, teasing is a kind of intimacy. Dalam persahabatan
yang sehat kita akan merasa janggal jika tidak pernah dicerca oleh sahabat
kita. Dikatakan, “Teasing implies a level of acceptance and even intimacy.
Indeed, if no one ever teases you, it could well be because you don’t have any
close friends.”
Kemudian, apakah
orang yang meng-insult dirinya, berarti berteman akrab dengan dirinya sendiri?
Hmm mungkin iya, tapi bukan begitu juga membahasakannya. Faktanya: “If you can
make fun of yourself, you make it difficult for others to make fun of you.”
Ketika lo terbiasa insult diri lo (baca: ngehina diri sambil becanda), maka
orang lain, bisa dibilang, tidak punya tempat lagi untuk berperan sebagai
insulter. Apapun makian yang mereka katakan, lo sudah tahu dan lo
sudah pernah denger sebelumnya.
Supaya tidak
tersiksa dengan insult, mulailah dari hal yang paling basic: uruslah
self-esteem lo. Self-esteem yang tinggi menimbulkan jiwa yang sehat, sehingga
lo bisa mengijinkan orang lain
mencerca lo. Cercaan mereka tidak akan menurunkan kadar self-esteem lo yang
kebetulan sudah tinggi. Self-esteem tinggi adalah indikator jiwa yang legowo
(ikhlas).
Buku ini juga membantu kita untuk memiliki pola pikir yang benar tentang Social Hierarchy Game. Sebenarnya ini adalah permainan orang-orang lemah. Kalau kita mengerti triknya dan alasan orang-orang melakukannya, kita akan dengan sendirinya mengundurkan diri dari arena permainan ini. Kita bisa puas dengan apapun yang sudah dan belum kita capai, tanpa perlu merasa terancam dengan insult dari orang lain. (Caranya gimana? Ya, baca aja bukunya! Hihi)
Buku ini juga membantu kita untuk memiliki pola pikir yang benar tentang Social Hierarchy Game. Sebenarnya ini adalah permainan orang-orang lemah. Kalau kita mengerti triknya dan alasan orang-orang melakukannya, kita akan dengan sendirinya mengundurkan diri dari arena permainan ini. Kita bisa puas dengan apapun yang sudah dan belum kita capai, tanpa perlu merasa terancam dengan insult dari orang lain. (Caranya gimana? Ya, baca aja bukunya! Hihi)
Satu hal yang
perlu diingat adalah: orang yang terbiasa meng-insult perlu dikasihani, bukan
dibenci. Pernah ketemu seseorang yang kerjaannya ngejelekin, mengkritik, dan
menghina orang lain? Orang seperti itu—sekali lagi—patut dikasihani. Dalam interaksi
hidupnya yang penuh kompetisi dan upaya untuk menjadi yang terhebat, insult barangkali
merupakan satu-satunya komoditi yang ia pahami. Ia berpikir begitulah
percakapan manusia seharusnya tersusun. Padahal interaksi manusia bisa juga
melibatkan hal-hal mulia dan terpuji, namun sayangnya, sepertinya ia tidak pernah
menerima/mengenal/mencicipi komoditi semacam itu.
“... the social
hierarchy game is so deeply ingrained in them, that they have a hard time
imagining that an interaction between humans can involve anything other than an
exchange of insults. The habitual insulter, rather than provoking our anger,
should provoke our pity.”
0 komentar