Privilege X Burden

10:47:00 pm

THE PRIVILEGE

Bagaimana rasanya jadi tempat curhat orang-orang? Bagaimana rasanya mendengarkan aib-aib mereka? Jawabannya: ada rasa bangga, sebab itu berarti mereka percaya sama gw. Sedikit terharu juga, karena mereka membiarkan gw tahu (padahal gw siapa sih? Gw bukan ahli, bukan pendeta, bukan orang hebat). Intinya: privilege. Mungkin tidak semua orang tahu rahasia terdalam mereka, tapi gw seakan-akan terpilih untuk tahu. Padahal gw gak nanya. 

THE BURDEN

With the great knowledge, comes great responsibility. Itu kata-kata siapa ya? Kalo ngga salah, seseorang di film Spiderman. 

Dengan mengetahui masalah-masalah mereka, gw kadang merasakan keganjilan. Ada sebentuk pemikiran bahwa, "Tuhan ga mungkin hanya ingin gw sekedar tahu--Dia mungkin bermaksud agar gw melakukan sesuatu."

Tapi gw ga bisa apa-apa. Gw kayak powerless. OK, gw bisa mendengarkan curhatan mereka panjang lebar. Berjam-jam? Gw pernah jabanin. Tapi habis itu apa? Gw jadi pahlawan karena sudah jadi tempat sampah mereka, gitu?!

Memang pernah ada penelitian yang bilang: dengan menumpahkan masalah kita, beban hati kita berkurang dan kita menjadi lega. 

Then what? Gw telah mengamini teori itu bertahun-tahun lamanya… sampai gw tiba di titik di mana "gw gak puas hanya sekedar jadi pendengar". 

Ga bisa dipungkiri. Gw kadang merasa hampa aja ketika mau-ngga-mau harus berhenti di sekedar "mendengarkan cerita mereka". No problems solved, no way out, no nothing. OK, gw bisa ngasi sedikit nasihat, penguatan, atau analisa. Tapi rasanya ngga fair aja. Kita masing-masing pulang, dan saat di jalan gw ga bisa berhenti memikirkan kenyataan bahwa "masalah mereka belum selesai". Tapi apa yang bisa gw lakukan? Gw pulang ke rumah. Gw balik ke kamar gw yang nyaman. Gw tidur nyenyak. Menikmati hidup. Sementara mereka digerogoti masalah-masalah yang GW TAHU itu ngga ringan. 

Gw jadi inget apa yang mentor gw pernah bilang. Apa sih yang mendorong dia jadi mentor dan konseling-in banyak orang? Jadi, dia pernah punya temen, dan temennya itu "agak sakit". Suatu hari dia dateng ke rumah kontrakan temennya, dan dia menemukan temennya gantung diri. That's it. That's the triggering point yang memicu mentor gw untuk melakukan pekerjaannya sekarang. 

Jadi apa yang mentor gw alami kala itu? Sebentuk perasaan bersalah karena ia tidak sempat menyelamatkan temannya? Entahlah. Yang pasti itu sakit banget. Harus nelan pil pahit bahwa kita powerless, dan korban itu ada persis di depan mata…  

Kita berharap kita mampu, ternyata kemampuan kita di bawah standar.
Kita pikir kita udah cukup kuat, ternyata kekuatan kita ngga berarti apa-apa.
Kita pikir kita udah paling tahu, ternyata pemahaman kita hanyalah hal-hal remeh! 

Entah bagaimana, gw kadang bisa dengan santainya menjustifikasi keadaan dengan berkata, "Ah biar aja Tuhan yang selesaikan masalah dia. Selama gw bisa jadi pendengar, ya itulah usaha terbaik yang bisa gw berikan." Tapi sekarang itu terdengar seperti pembenaran yang naif. 

Kalau gw diperkenankan untuk tahu sesuatu (padahal gw ngga minta untuk tahu) maka kemungkinan besar Tuhan ingin gw melakukan sesuatu. Mungkin mendoakan dia? Mungkin membantu dia dengan bentuk pertolongan yang lebih realistis?

Kalau sudah begini, gw berpikir untuk mewawancarai dokter. Apa yang dia pikirkan ketika pasiennya meninggal? Dia pikir dia cukup mampu untuk menyelamatkan nyawa sang pasien, tapi ternyata tidak. Apakah perasaan bersalah menyeruak dengan dahsyatnya? Ataukah, setelah dia jadi dokter belasan tahun lamanya, kondisi itu menjadi lumrah, dan ia sudah kehilangan perasaannya?

Mungkin gw harus membiarkan Tuhan menjadi Tuhan. Mungkin peran gw benar-benar terbatas dan super minim. Mungkin pengaruh gw sampai kapanpun tidak akan luar biasa banget. But I wish I could do better. I think He wants me to do better.

Bagaimana kalau gw ternyata cuma pengen terlihat baik? Mungkin gw ingin membentuk citra bahwa gw pribadi yang peduli, sosial, heroik, dsb. Mungkin sebenarnya tidak ada yang perlu gw lakukan selain jadi pendengar yang sabar, kemudian menyerahkan semua masalah temen-temen gw kepada Tuhan. 

Pada akhirnya gw ngga menemukan jawaban apapun. Mungkin Tuhan akan memberitahu gw tapi sedikit demi sedikit. Mungkin Dia membiarkan gw hidup 30 sampai 40 tahun lagi, agar Dia bisa mencicil untuk memberikan jawaban-Nya ke gw. 

Mungkin juga tidak.

Photo by Andrew Leu on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest