CHAOTIC

9:56:00 pm

Hari ini gw nemu postingan seorang licensed therapist yang cukup menarik. Hmm. Gw coba terjemahin secara bebas ya. 

Jika kamu tumbuh di keluarga yang berantakan (chaotic), kamu akan menemukan hal-hal berikut ini ketika kamu beranjak dewasa:

1. Kamu menikmati bagian-bagian "seru" di awal hubungan 
2. Kamu memulai pertengkaran ketika merasa situasi "terlalu damai"
3. Kamu yakin sesuatu yang buruk akan terjadi jika kondisi sedang terlalu damai atau "terlalu baik"
4. Relasi yang stabil ( = harmonis, tenteram ) terasa membosankan bagimu 
5. Konflik dan pertikaian membuatmu menggebu-gebu
6. Kamu biasanya punya hubungan yang singkat dan penuh drama
7. Kamu terpaut dengan orang-orang yang perlu dibetulin dan terlibat banyak drama
8. Kamu dengan sengaja memutuskan hubungan dengan seseorang, atau sebaliknya, kamu kesulitan untuk lepas dari seseorang

Terapis tersebut, yang diketahui bernama Whitney Goodman, melanjutkan pembahasannya:

Kekacauan bisa mengikat seseorang. Bagi mereka yang masa kecilnya kacau balau: Mereka tanpa henti-hentinya menunggu hal buruk apa lagi yang akan terjadi.

Sampai di sini gw cuma sedikit merenung. Mana di antara poin-poin di atas yang gw banget? Hmm hampir semua. Enam dari delapan lah. 

Well, keluarga gw ngga berantakan-berantakan banget kok kayak di sinetron. Tapi pertengkaran rumah tangga itu selalu aja ada. Every single day. Seakan topik untuk diributkan tuh selalu diupdate daily. Tinggal pilih. Barang-barang dilemparin sana-sini. Remote TV, gelas, taplak meja. Bayangin semua elemen itu melayang dalam slow motion. Juga air mata, teriakan, dan bantingan pintu. Chaotic. 

And it ruined me inside, of course. But many times gw ngga terlalu mikirin hal itu. Gw ngga bener-bener peduli dan ngeberesin. Sampe sekarang setelah dewasa, gw menyadari banyak banget hal ngaco yang termanifestasi dalam cara gw berhubungan sama orang. Harusnya gw cepet-cepet sembuh. Supaya penyakit kronis ini ngga gw turunin ke anak cucu gw. Males aja kan ngulangin lingkaran setan. 

Terus solusinya apa?

Gw akan menyebutkan pepatah super duper klise: Beranjaklah dari zona nyaman. Loh apa hubungannya?

Zona nyaman bukan berarti kondisi yang mapan. (Makanya motivator sering disalahartikan. Kalau udah punya pekerjaan yang bikin nyaman, ngapain mesti beranjak dari situ, betul?!)

Bukan, bukan. Zona nyaman maksudnya area di mana lo familiar terhadap hal itu, padahal itu salah. Contohnya gini.

Gw kenal seorang pengidap bipolar di komsel yang pernah gw ikutin dulu. Jelas bipolar ini mengganggu hidupnya. Tempo-tempo nangis tanpa sebab, tempo-tempo excited sampai berhari-hari ngga tidur. Udah mentalnya ngga stabil, ambruk jugalah fisiknya.

Tapi yang menarik adalah ketika di situ mentor gw nanya ke dia. Pertanyaan sederhana dan mendasar banget: "Kamu mau sembuh ngga?" Dan temen gw yang bipolar ini ngga bisa langsung jawab. Padahal secara teoritis, yaa orang sakit di mana-mana mau sembuh, dong! Tapi doi diem cukup lama, sampe akhirnya dia bilang kalau dia ngerasa NYAMAN dengan kondisinya sekarang. Nah loh. Sakit, tapi nyaman.

Sebenernya bukan nyaman ya. Itu cuma nyaman yang palsu. Yang temen gw rasain sesungguhnya adalah rasa FAMILIAR. Gw udah familiar ama bipolar ini, jadi kalau suatu kali gw sembuh, gw mesti adaptasi dengan "rasa & kondisi" yang baru. 

That's so sick huh? Tapi kadang kita sendiri lakuin itu di hidup kita. Jelas-jelas ada kebiasaan yang menggerogoti kita (artinya, hidup kita dikuasai ama dia...) tapi kita ngga yakin mau lepasin itu. Karena ya itu tadi: Rasa nyaman semu. Kalau kebiasaan itu dilepas, waduhhh mesti mulai dari mana lagi? Ntar janggal dong? Ntar kosong dong hidup gw? 

Sebut aja kebiasaan itu:

Kuatir - Ada orang yang sebegitu familiar dengan kekuatiran, sehingga kalau suatu hari ngga ada apa-apa yang perlu dikuatirkan, dia jadi bingung sendiri. Dia pikir dia sedang berkhayal.

Pemarah - Seseorang yang hampir selalu marah saat dihadapkan sama kondisi apapun. Suatu kali kalau dia mencoba untuk ngga marah, mungkin merasa aneh. Sebenernya dia udah familiar aja ama kemarahan sebagai reaksi spontannya selama ini.

Gara-gara nulis ini, gw jadi inget sama kata-kata John Piper di bukunya Battling Unbelief. Ada satu kalimat yang "damn-iya-banget"

Dia bilang: "Tidak ada orang yang berdosa karena kewajiban. Kita berdosa karena dosa menawarkan kebahagiaan."

Dosa itu salah, tapi tanpa diminta/disuruh, manusia tetep lakuin. Kenapa? Yaa karena ada sisi enak dari dosa. Walaupun memang konsekuensinya ngga enak. Tapi ketika dosa itu dilakuin, rasanya manteb kan? 

Dengan berbohong, kita aman dari tanggung jawab yang harusnya kita tanggung. Dengan mencuri, kita memiliki kecukupan untuk membeli apa yang kita mau. We sin because sin sparks joy! Hahahaha. 

Soo, setelah gw ngalor ngidul panjang lebar gini, kesimpulannya apa? Yaa balik lagi ke pertanyaan mentor gw tadi. "Setelah lo menyadari kebiasaan buruk, adiksi, dan berbagai kelakuan ngaco yang lo tumpuk dan bawa selama ini... lo mau sembuh ngga?" Obat udah ada, dokternya udah ready ngga perlu PO. Nah elo-nya gimana?

Photo by Max Kleinen on Unsplash
Photo by Max Kleinen on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest