OMONG KOSONG VS OMONG ISI

8:21:00 pm



Mengejutkan. Baru kali ini aku membaca 2 buku berturut-turut dalam satu pekan dengan omong kosong di dalamnya. Ini menurut pendapatku ya. Buku pertama adalah novel "The Zahir" dari Paulo Coelho, yang telah lebih dulu kuhina di Twitter beberapa waktu lalu. Novel ini awalnya membuat penasaran: tentang seorang penulis Prancis yang ditinggalkan istrinya tanpa notifikasi. Profesi istri sebagai jurnalis perang memang mengharuskan dia berkelana ke antero dunia, tapi ketika sudah bertahun-tahun tidak pulang, sang suami memutuskan untuk mengubahkan statusnya menjadi mantan istri. Ketika tiba di tengah bagian novel, muncul karakter bernama Mikail, yang diduga mengetahui keberadaan istri si penulis. Yang menyedihkan adalah ketika Mikail berkisah tentang pertemuannya dengan makhluk nirwana bersabuk biru, disebut Bunda, yang mampu membisikkan suara tentang prediksi masa depan. Apa? Dan kekonyolan dogmatis itu berlanjut dengan ritual tari-menari yang dipercaya dapat membangkitkan energi cinta. Belum lagi dengan tradisi berdoa pada pohon yang dilakoni warga tempat tinggal Mikail. Plis, aku tidak menganggap ini sebagai aspek yang perlu ada dalam novel romansa. Plis seribu plis. 

Buku kedua yang juga membuatku berujar "well okay bye" dalam hati adalah "Gagasan-gagasan Bertrand Russell", sebuah kompilasi dari buah pikiran filsuf besar asal Britania Raya ini. Tidak ada imajinasi absurd dalam buku ini tentu saja, sebab ini adalah nonfiksi. Namun rentetan tulisan Russell bukanlah makananku. Memang pemikirannya soal agama, budaya, dan pernikahan, seks, dan politik adalah "genre" - nya. Dan aku memutuskan untuk tidak sepakat pada 75% dari yang dia tulis. Tidak ada yang benar atau salah. Aku percaya orang hanya punya pandangan dan pengalaman yang berbeda dengan kita. Tapi kita tidak perlu mengunyah yang tidak bisa kita telan, kan? 

Buku ketiga di minggu ini adalah penghiburanku. "Matinya Seorang Penulis Besar" berisi rentetan kata-kata dari Mario Vargas Llosa. Ia adalah sastrawan asal Peru. Aku suka dengan cara penerjemahnya menjahit dan menyajikan paragraf yang tidak monoton. Baru baca sampai halaman 23, namun aku terkagum dengan kepiawaian Llosa menumpahkan pemikirannya: ia mampu membuat pembaca mencungkil sisi-sisi atomik otaknya untuk kemudian menemukan gagasan yang sebelumnya ada namun belum pernah digali. Oleh karenanya aku akan menulis beberapa penggal buah pikiran Llosa dari salah satu karyanya yang diberi judul: Sastra Itu Api. 

SASTRA ITU API (1967)

Penulis, seperti Anda ketahui, adalah tukang recok abadi.
Panggilan itu indah, tapi juga mencengkeram dan tirani, menuntut dari para pemeluknya pengabdian yang seutuhnya. 
Bagaimana bisa penulis-penulis ini menjadikan sastra sebagai takdir, sebagai militansi, di tengah mayoritas orang yang tidak bisa membaca atau tidak mampu membeli buku, atau minoritas yang bisa, tapi tidak suka membaca?
Tanpa penerbit, tanpa pembaca, tanpa lingkungan budaya yang merangsang dan menuntutnya, penulis Amerika Latin adalah orang yang berangkat berperang dengan tahu sejak awal bahwa ia akan kalah. 

Namun, memang benar bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini keadaan mulai berubah. Perlahan-lahan merayapi negeri kita iklim yang lebih ramah bagi sastra. Sirkulasi buku mulai meningkat, kaum borjuis menyadari bahwa buku ada gunanya, bahwa para penulis bukan sekedar si gila yang halus budinya, bahwa mereka punya peran dalam masyarakat. Namun, kemudian, ketika keadilan mulai berlaku bagi penulis Amerika Latin, atau tepatnya, ketika ketidakadilan yang membebaninya mulai terangkat, ancaman lain bisa timbul, mara bahaya yang subtil mengerikan. Masyarakat yang sama yang dulu pernah mengucilkan dan menolak penulis, sekarang bisa berpikir bahwa ada faedahnya untuk mengasimilasi dia, mengintegrasikan dia, menganugerahinya semacam status resmi. Oleh sebab itu, penting untuk mengingatkan masyarakat kita akan apa yang akan mereka dapatkan. Ingatkan mereka bahwa sastra itu api, yang berarti perbedaan pendapat dan pemberontakan, bahwa alasan keberadaan seorang penulis adalah protes, konfrontasi, serta kritik.

Panggilan sastra lahir dari ketidaksepakatan seorang manusia dengan dunia, intuisinya akan kekurangan, perbedaan, dan penderitaan di sekitarnya. Sastra adalah pemberontakan permanen dan tidak bisa menerima jaket pengekang. Upaya apa pun untuk membelokkan wataknya yang pemberang, pemberontak, ditakdirkan gagal. Sastra bisa mati, tetapi takkan pernah bisa kompromi. 

Misinya adalah untuk membangkitkan, mengganggu, menggelisahkan, untuk membuat manusia berada dalam kondisi ketidakpuasan konstan dengan dirinya sendiri. 

Sastra, dengan cara yang hidup dan ajaib ini, menunjukkan bahwa keputusan sewenang-wenang juga merupakan musuh bebuyutan kemajuan dan martabat manusia, menegaskan bahwa hidup tidaklah sederhana dan tidak bisa pas rapi seperti pola, bahwa jalan menuju kebenaran tidaklah senantiasa mulus dan lurus, tetapi kerap kali berliku-liku dan bergeronjal, menunjukkan berulang kali lewat buku-buku kita kerumitan dan keanekaragaman hakiki dari dunia sertas ambiguitas kontradiktif dari peristiwa-peristiwa manusia. 

Panggilan ini telah membuat kita, para penulis, menjadi kaum profesional ketidakpuasan, perecok masyarakat secara sadar atau tak sadar, pemberontak dengan tujuan, pembangkang dunia yang tak tersembuhkan, penentang tak terbendung atas apa yang dianggap baik.

Caracas, 11 Agustus 1967 


----

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest