Minder dan Sombong

1:41:00 pm

Siapa yang punya nyali memakai handphone jadul di depan banyak orang? Atau membeli barang obralan di departemen store? Atau memakai mobil butut menemui para sahabat lama?

Semua orang bisa memakai barang-barang yang bagus dan termahal tetapi tidak semua orang punya keberanian untuk memakai barang murahan, bekas, ketinggalan jaman, dan tidak berkelas. Dan kalaupun terpaksa memakainya, seringkali seseorang harus menanggung rasa malu yang disertai dengan berbagai upaya menutupi kondisi itu.

Semua anak bangga mempunyai orang tua yang mapan, terpandang, cantik dan ganteng. Tetapi tidak semua anak mampu menerima kenyataan bahwa orang tuanya (maaf) miskin, jelek dan tidak pintar.

Setiap orang harus memiliki rasa malu, tetapi jika berlebihan akan membawa seseorang terdampar di dalam kondisi rendah diri dan itu adalah ketidakmatangan kepribadian.

Mengapa minder? Perasaan itu muncul lantaran tidak puas dan tidak bisa menerima kekurangan diri. Ia membandingkan dirinya dengan orang yang ada di atasnya. Akibatnya tidak bisa menerima keadaan. Lebih daripada itu, minder berarti mengukur diri dengan ukuran yang keliru. Seharusnya seseorang diukur berdasarkan apa yang ada di dalam dirinya dan bukan segala sesuatu dari luar yang menempel padanya.

Minder juga berkaitan dengan pikiran negatif di mana seseorang berpikir bahwa semua orang akan berpikir dengan cara dan perasaannya. Padahal, tidak selamanya orang berpikir seperti yang ia pikirkan; malah justru bisa sebaliknya. Karena itu, sementara orang yang cacat merasa minder berada di tempat umum, orang-orang normal justru merasa kagum akan kepercayaan diri dan penerimaan diri dari orang itu.

Terus-menerus memikirkan kekurangan juga membuat seseorang menjadi minder. Seharusnya seseorang mengubah kekurangannya menjadi kekuatan. Perasaan tidak mampu melakukan apa yang orang lain bisa lakukan seharusnya memacu ia untuk meningkatkan diri sehingga memiliki kemampuan yang lebih baik lagi.

Ada banyak faktor yang menjadi sumber keminderan. Misalnya tidak dapat menerima kondisi tubuh, ukuran badan, susunan gigi, bentuk wajah, warna kulit, ketidaksempurnaan fisik, kondisi keuangan, skill, intelektualitas, status sosial, ekonomi dan termasuk kondisi fisik dan status sosial orang-orang di dalam lingkungan keluarga inti.

Orang-orang yang mempunyai alasan kuat untuk minder tetapi bisa mengatasi kerendahdiriannya, niscaya akan menjadi pribadi yang kuat dan istimewa. Kita bisa melihat banyak tokoh hebat justru dari kalangan yang sangat terbatas secara fisik maupun mental.

Kelemahan tentu saja perlu diperbaiki sejauh hal itu bisa dikoreksi. Tapi bagaimana kalau tidak bisa diapa-apakan lagi? Fransiskus Assisi berkata demikian di dalam doanya, “Tuhan berilah ketenangan pada saya untuk menerima hal-hal yang tidak dapat diubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa diubah, dan hikmat untuk mengetahui perbedaan keduanya.”

Saya kira itu adalah perkataan yang bijaksana. Namun kadang-kadang tidak disadari bahwa orang yang minder juga menyimpan suatu potensi arogansi yang mungkin tidak disadari. Setelah seseorang keluar dari jalur minder, maka ia akan masuk ke jalur arogansi. Orang yang minder tidak ingin orang lain tahu tentang kekurangannya tetapi setelah memiliki segala sesuatu, maka kecenderungannya adalah justru memamerkan apa yang dipunyainya. Dulu malu karena tidak memiliki apa-apa, tapi kini bangga dapat memperlihatkan apa-apa pada orang lain. Mungkin boleh dikatakan bahwa kesombongan adalah semacam balas dendam dari keminderan; minder adalah kesombongan dalam wujud yang berbeda.

Tidak susah menguji arogansi itu yaitu jika kita memiliki nafsu untuk memamerkan segala prestasi, mempertontonkan kehebatan pada orang-orang yang kita kenal. Keinginan untuk menonjolkan diri, tampil lebih daripada orang lain, tidak ingin dikalahkan oleh orang lain. Itulah sebabnya di saat menghadiri resepsi kita akan berpenampilan sebaik-baiknya, berdandan seanggun mungkin dan memakai perhiasan yang seindah dan semahal mungkin. Mengapa? Kita tidak ingin merasa minder dan malu di saat bertemu dengan teman-teman lama, kita tampak tidak sukses dan hidup biasa-biasa saja.

Sama seperti orang yang minder, orang sombong pun menurunkan derajat kemanusiaan yaitu sama-sama mengukur diri dan juga orang lain berdasarkan sesuatu yang di luar diri manusia. Padahal sukses tidak harus berarti punya banyak harta, terkenal, banyak pengaruh, serta status sosial yang tinggi. Bukankah orang-orang yang telah mengalami musibah yang ekstrim dan kebangkrutan yang dahsyat tetapi tetap waras dan tidak mengutuki Tuhan adalah sukses dalam wujud yang lain?

Kekurangan kita tentu harus diatasi, namun bukan karena kita minder dengan kondisi tersebut. Dan setelah kelemahan teratasi, mari kita waspadai supaya kita tidak jatuh dalam kecongkakan.


Djie S. Mahony, M.Div.
Dikutip dari Majalah Standard vol IX No. 4 (Agustus 2013), hal. 40

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest