Proximity Disrupts Perspective

8:56:00 pm

#TIL: whats's really bad about this Covid-19 pandemic.

Tadi pagi gw nonton berita tentang meningkatnya laporan kasus kekerasan rumah tangga gara-gara corona. Lah?

Jadi, semenjak diberlakukannya isolasi atau karantina atau #DiRumahAja di berbagai sudut dunia, banyak keluarga mulai goyah. Pemasukan yang menurun karena adanya pemotongan gaji dari perusahaan--bahkan PHK secara masif, jelas memegang andil dalam rusaknya hubungan suami istri. Tapi ada satu hal lagi yang memicu kekerasan rumah tangga tersebut: kedekatan pasangan karena mereka harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama. Makin sering ketemu ternyata bikin bencana. 

Dikabarkan juga sepasang selebriti yang bercerai baru-baru ini. Sialnya gw gak nemu link beritanya di internet dan lupa siapa nama artis tersebut. Intinya sang suami menggugat cerai istrinya setelah mereka tinggal serumah selama pandemik. 




Sejak pertengahan Maret 2020, otoritas di Amerika Serikat menerima setidaknya 2.000 panggilan telepon dari korban KDRT. Seperti kita ketahui, negara ini jadi yang terparah dalam jumlah penderita positif corona di seluruh dunia. Ketika tulisan ini dibuat, AS mencatat 887.622 warganya positif corona dengan 50.283 di antaranya tewas. 

Kekerasan rumah tangga ini tidak melulu fisik, tapi juga seksual, emosional, dan finansial. Di AS, 41 persen perempuan dan 14 persen laki-laki yang menjadi penyintas (survivor) KDRT dilaporkan mengalami luka-luka di tubuhnya akibat kekerasan. Lebih parah lagi, KDRT dapat menyebabkan kematian. Sekitar 1 dari 6 korban tewas karena dibunuh oleh pasangan mereka sendiri.

Korban KDRT yang tetap hidup pun mengalami gangguan jantung, sistem pencernaan, sistem reproduksi, dan penyakit tulang atau otot. Penyintas lainnya dikabarkan mengalami gangguan mental seperti depresi dan PTSD (post-traumatic stress disorder).

Gw sama sekali ngga niat untuk membuat kesimpulan, karena bagaimanapun isu ini sangat kompleks. Tapi jika diperbolehkan membuat penilaian, maka gw selalu yakin bahwa "proximity disrupts perspective". Sudut pandang bisa berubah drastis ketika jarak dimainkan--entah itu didekatkan atau dijauhkan. Persis kayak lensa kamera lah. 

Yang menggelitik pemikiran gw adalah bahwa pandemik ini mengungkap sisi asli kita--termasuk bagaimana cara kita memperlakukan pasangan kita. Bekerja di rumah membuat kita berusaha lebih keras untuk bisa "profesional", sebab rumah menelanjangi (hampir) semua pencitraan kita. Di rumahlah kita menjadi asli.

Suami-istri yang dulu terbiasa berkutat dengan pekerjannya, mungkin melakukan itu sebagai sarana melarikan diri dari kejenuhan rumahnya atau kerumitan hubungannya. Sekarang, ketika hampir tidak ada yang memisahkan mereka secara fisik (bisa saling lihat hampir 24 jam sehari), hal-hal di bawah kulit mulai menyembul keluar. Make up yang dulu tebal kini luntur. 

Yang barangkali belum dipersiapkan Kementerian Kesehatan adalah bagaimana mengobati jiwa gara-gara berita buruk corona. Kena virusnya sih engga, tapi bagian tubuh yang lain terjangkiti "virus" kekuatiran dan kecemasan. 

Oke, kembali kepada rumah-rumah dan unit-unit apartemen di daerah isolasi. 

Semua terlihat anteng dari luar, tapi hanya ketika kamu tinggal di dalamnya selama berminggu-minggu baru kamu bisa membedakan mana surga mana neraka. Anak-anak yang sedang belajar di rumah pun tak luput dari kegilaan--mereka mungkin bukan korban kekerasan, tapi mereka terpaksa menyaksikan sendiri konflik antara papa mamanya. 



Saya jadi teringat lagu "aji mumpung" dari Project Pop berjudul "Gara-gara Corona". Saya suka lagu-lagu Project Pop, tapi tidak dengan yang ini. 

Tadinya oh tadinya /
Jarang juga ketemu keluarga /
Gara-gara Corona /
banyak waktu kita bersama //

Bagian yang paling cringe adalah ketika pendengar diajak untuk menikmati lockdown sebab jadi punya banyak waktu dengan keluarganya.

Tidak semua keluarga sebahagia itu, dan tidak selamanya diam di rumah itu menyenangkan. Banyak orangtua yang disfungsi, banyak anak pembuat onar, banyak pasangan yang menyebalkan. 

Banyak rumah yang tidak layak huni, banyak rebahan yang tidak berjalan lancar. Kalau kamu ngga merasakan apa yang rakyat kecil rasakan, simpan dulu komentarmu. *mendadak aktivis hak asasi manusia*

Oooh betapa naifnya lagu tersebut. Ini bencana dunia, dan masing-masing dari kita membayar mahal untuk mencoba bertahan. Tidak usah meromantisasi kepungan virus ini menjadi ajang bertukar cinta. Jijik. 

Photo by Edward Howell on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest