Quarantine Reading List

10:23:00 pm

Selama karantina emang kita jadi punya keleluasaan lebih, tapi sialnya gw malah lebih sering maen hape (buat browsing, belanja online, huhuhu) daripada baca buku. Pas dipaksain buat baca, eh baru setengah paragraf udah nguap-nguap. Sedihh, sekarang jadi cepet ngantuks, umur emang ngga bisa boong. *jiahh*

Setelah penuh perjuangan untuk melotot dan mengkhusyukkan diri, selesai juga buku-buku ini:

1. Burung Berpagut Emas

Ngga tau kenapa ya, novel dari penulis Indonesia asli tuh menorehkan kesan yang lebih dalam daripada novel luar yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tulisan karya M. Sjohirin ini salah satunya. Kamu suka baca Mira W? Nah, gaya penulisan dia ngga mirip sama Mira, tapi pendalaman karakternya sama-sama jago. Yaelah, komentar gw udah kayak kritikus propesional aje. 

Inilah tipe buku yang mesti dibaca oleh setiap orang (terutama laki-laki) sejak ia duduk di bangku SMA/kuliah. Buku ini menceritakan kegigihan seorang anak kampung dari tanah Sumatera bernama Imran untuk menjadi sukses di ibukota. Yaah, secara plot terdengar membosankan ya? Sepertinya udah bisa ditebak, anak itu jadinya bagaimana. Sukses iya, tapi terjebak juga dalam kebusukan kota metropolitan.

Tapi yang menarik adalah, detil karir politik Imran dijelaskan secara runut. Kalau kamu sering denger jargon politik itu kotor, dalam buku ini tertulis rinci jenis-jenis kekotoran politik. Mulai dari yang agak kotor kayak serpihan debu, sampe yang bener-bener kotor tanpa ampun. Jijik, muak, edan. Itu komentar gw saat membaca satu-persatu strategi gila yang dimainkan para petinggi demi meraih harta, tahta, dan wanita. Kalau kata seorang Quorawan, inilah 5K (Katebelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) yang sudah mentradisi dalam birokrasi negeri kita. 

Dua hal yang gw pelajari dari novel terbitan tahun 2012 ini:

1. Kalau kamu membalas orang yang jahat padamu, maka kamu jadi sama jahatnya dengan dia. Pembalasan dendam itu memang bikin puas--ketika kamu melakukannya. Setelahnya (atau, gw lebih suka menyebut aftertaste nya) kamu akan merasa lebih buruk dari keadaanmu semula. Memaafkan memang lebih sulit, tapi aftertaste nya kamu akan jauh lebih baik dari segala sisi. 

Oya, ada satu lagi alasan kenapa kita sebaiknya tidak balas dendam. Bayangkan kamu balas dendam menjahati orang tersebut, dan beberapa hari kemudian dia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ihh, apa ngga nyesel kamu? Apa ngga kamu habiskan sisa hidupmu untuk meratapi pembalasan dendam-mu? Udah deh. Hidup itu singkat, dan hukum tabur-tuai berlaku. Kamu ngga perlu ngapa-ngapain, orang jahat mah udah takdir alamnya akan mendapatkan ganjaran dari hasil perbuatannya. 

Lebih gampang ngomong daripada melakukan, sih. HAHAHAHAHA. 

2. Jika kata-kata berubah, hidup berubah juga. Ketika ada aliran dana dari International Monetary Fund yang masuk ke kas negara, Imran dan koleganya tidak segan-segan melakukan "bancakan". Tapi di benak mereka, itu bukan korupsi. Itu hanya sekedar komisi yang layak mereka terima setelah kerja keras menyelamatkan perekonomian negara. Komisi--itu istilah yang mereka sisipkan ke pikiran, tapi itu sebenarnya dibuat-buat saja. Istilah yang tepat untuk menggambarkan kegiatan mereka adalah: penjarahan uang negara, tapi kedengerannya sadis dan mengerikan ya? Itu sebabnya mereka mencari pembenaran, bahwa wajar jika keringat mereka dibayar dengan uang lebih. Pemilihan kata yang keliru telah mengubah kriminalitas menjadi normalitas. 

Your words create your world. Ati-ati dengan istilah yang lo benamkan di alam bawah sadar lo.

2. The Big Switch: Rewiring The World from Edison to Google

The Big Switch adalah buku Nicholas Carr kedua yang gw baca. Buku pertama adalah The Shallow: What The Internet is Doing to Our Brains, yang berhasil membuat gw jatuh cinta pada Carr. Gw terkejut karena ternyata ada loh seseorang di luar sana yang sependapat ama gw--dan dia dengan apik menuliskannya jadi buku. Gw dulu tau ada sesuatu yang keliru tentang internet namun gw ngga sanggup membahasakannya. Tapi Carr bisa. Love you so much! The Shallow juga merupakan mahakarya Carr yang jadi finalist Pulitzer Prize. Tepuk tangan.

Seperti The Shallow, The Big Switch masih jadi sajian lezat ala Carr. Garis besarnya ngomongin apa sih? Ngomongin listrik dan internet cloud computing. Dua hal itu memiliki kemiripan lho. Di buku ini diceritakan runut asal mula ditemukannya listrik, kemudian diparalelkan-lah tahap demi tahapnya dengan pengembangan cloud.

Setelah merenungi The Big Switch barulah gw sadar betapa revolusionernya listrik. Tanpa listrik kita ngga ada bedanya sama hewan, tau ga? (Pikirin sendiri di mana kesamaannya).

The Big Switch sebenernya kalah seru dibanding The Shallow, tapi "sidik jari" Carr tetap sama di buku ini. Sidik jari yang gw maksud adalah bagaimana dia melihat internet dan teknologi dari sudut pandang skeptis. Gw sepakat dengan Carr--setiap hal yang memudahkan kita dan diberikan cuma-cuma sebenernya tidak gratis. Ada sesuatu yang ditukar, ada pengorbanan yang diberikan, tapi manusia cenderung bias dan emosional sehingga ia tidak sadar. Contoh sederhana adalah layanan Google Search yang gratis dan sangat menolong kita. Mustahil jika Google tidak mengeksploitasi penggunanya. Privasi kita adalah harga yang harus kita bayar kepada Google atas jasanya. Data pribadi, aktivitas, dan histori browsing kita menjadi milik Google selamanya. Data kita adalah aset--apapun yang Google ingin lakukan terhadapnya bisa jadi di luar kekuasaan dan sepengetahuan kita. Tapi kita tidak mengeluh, karena pengalaman mengajarkan bahwa semakin banyak kita terbuka di internet, semakin relevanlah internet bagi kita--dan itu dipandang sebagai kenyamanan dan kemudahan bagi kita.

Google, Microsoft, Apple mungkin mengenal kita melebihi kita mengenal diri sendiri. Jika raksasa teknologi tersebut mau, mereka sebenarnya bisa membuat statistik hidup kita dengan mudahnya. Bayangkan ada grafik yang menggambarkan mood harian kita (dilihat dari musik yang kita putar, video yang kita tonton, keyword yang kita masukkan di search engine, postingan yang kita sukai di sosmed). Atau, sebuah chart yang memprediksi pekerjaan kita di masa depan (dilihat dari circle kita Linkedin, misalnya?)

Kasarnya, internet dengan segala automatisasi dan intelegensinya sudah bisa membedah isi kepala dan melacak maksud serta tujuan kita. 

Nicholas Carr bukan sang optimis-naif seperti Don Tapscott, yang dalam bukunya berjudul Grown Up Digital malah mengumbar buzzwords tanpa mempertimbangkan sisi manusia sebagai pengguna. (baca resensi singkatnya di sini). Secara terang-terangan, di The Shallow Carr justru mementahkan gagasan Tapscott. Yuhuuu...

Singkatnya, The Big Switch adalah: ketika mata kuliah Elektronika, Jaringan Komputer, dan Grid-Cloud Computing disatuin (berasa balik ke ITHB sejenak). Tapi Carr menambahkan aspek historis, biologis, dan psikologis di dalamnya.


3. Dan Lain-lain :)

Selain dua buku di atas, masih ada yang lain tapiiiii... gw males membahasnya. Bukunya ngga spesial banget buat gw pribadi, jadi sekedar untuk dicatat saja yaak.



Photo by Umberto Del Piano on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest