Ketika Kau Percaya Kepada Tuhan tapi Mengejar Kebahagiaan Berapapun Harganya

6:54:00 pm

oleh: 
Craig Groeschel
Suami dari Amy, Ayah dari 6 orang anak, Pastor di LifeChurch.tv
Tinggal di Oklahoma
Twitter: @craiggroeschel
Facebook: www.facebook.com/craiggroeschel

Suatu hari Minggu di gereja setelah aku selesai berkhotbah, aku berpapasan dengan Lisa dan Amanda, anggota-anggota setia dari gereja kami. Mereka melayani dengan penuh pengorbanan, rutin berdoa, dan memberi dengan konsisten. Banyak orang di masyarakat akan menggambarkan kedua wanita ini sebagai orang Kristen yang kuat. Saat mereka hendak pergi, aku bertanya bagaimana kabar mereka. Teman-temanku ini dengan sopan menjelaskan bahwa mereka tidak bermaksud untuk tidak sopan, tapi mereka harus cepat-cepat pergi untuk mengejar film yang mau mereka tonton di bioskop. Karena aku selalu mencari rekomendasi film-film bagus, aku bertanya apa yang mereka mau tonton. Lisa berseri-seri saat menjawab, "Kami mau menonton Wedding Crashers ... lagi! Ini salah satu film terlucu yang pernah kutonton!" Hanya dengan memikirkannya saja, mereka berdua cekikikan dan berpegangan tangan, seperti sepasang gadis sekolahan yang bersemangat.

Tiba-tiba mereka ingat bahwa Craig bukanlah "teman biasa", Craig adalah "teman pendeta". Waktu senang-senang sambil tertawa cekikikan tiba-tiba berakhir dalam kesunyian yang tidak nyaman. Kemudian Amanda menambahkan, "Tapi kau dan Amy tentu saja tidak boleh menontonnya."

Aku benar-benar bingung, "Mengapa tidak?"

"Yah," Lisa mulai dengan malu, memilih kata-katanya dengan hati-hati, "Kau kan seorang pendeta. Dalam film ini ada banyak adegan yang kurang baik. Kau tidak seharusnya melihat yang demikian."

Apa? Tunggu sebentar!

Sekarang kau mungkin sedang berpikir, Kau benar, Craig. Memangnya kau apa, bocah umur lima tahun? Memangnya mereka siapa, berani-beraninya memutuskan apa yang pantas untukmu? Kau kan sudah dewasa! Kau sudah punya enam anak! Aku ragu kalau Owen Wilsen dan Vince Vaughn bisa menunjukkan kepadamu sesuatu yang belum pernah kau lihat sebelumnya.

Itu mungkin benar, tapi bukan itu intinya. Mari kita putar ulang adegan kita. Lisa dan Amanda adalah orang Kristen yang aktif di gereja kami, dan mereka mau pergi menonton Wedding Crashers yang sangat lucu, tapi agak vulgar, untuk yang kedua kalinya. Aku mencari tulisan pada film itu: "Golongan R untuk konten seksual/ketelanjangan dan bahasa." Apakah hanya perasaanku saja, atau memang aneh untuk seseorang untuk mempercayai bahwa menonton sebuah film bisa menjadi sesuatu yang salah untukku karena profesiku, tapi bisa diterima sepenuhnya untuk orang-orang Kristen lain, hanya karena mereka tidak berkhotbah di akhir pekan?

Tentu saja, aku sendiri punya andil dalam hal standar ganda. Jika sesuatu bisa membuatmu bahagia, mudah untuk mempercayai bahwa pastilah itu yang Tuhan mau untuk kulakukan.

Mengejar Kebenaran
Sementara memang benar bahwa Tuhan ingin memberkatimu dan punya rencana-rencana besar untukmu, kita mengambil resiko dengan memasuki area yang sangat-sangat berbahaya ketika kita mulai percaya bahwa rencana Tuhan yang utama bagi kita adalah kebahagiaan. Sebagai Kristen Ateis, kita bisa dengan samar-samar percaya kepada Tuhan dan dengan percaya diri mengejar kebahagiaan berapapun harganya.

Kesalahpahaman yang kelihatannya kecil ini dengan radikal membalik peranan kita dengan peranan Tuhan. Jika kita percaya bahwa Tuhan menginginkan kita bahagia di atas segalanya, maka bukannya mengakui bahwa peranan kita adalah untuk melayani Tuhan, kita malahan salah mempercayai bahwa Tuhan ada untuk melayani kita. Tuhan menjadi alat untuk mencapai tujuan kita: kebahagiaan. Bagi Kristen Ateis, Tuhan semesta alam yang kudus perlahan-lahan berubah menjadi mesin penjual minuman soda kosmik. Jika kita memberikan cukup uang, atau menaikkan doa yang benar, atau hidup secara benar, Tuhan harus memberikan dan melakukan apa yang kita minta. Ia adalah pribadi yang ada untuk memberikan kepada kita penghargaan tertinggi dunia, yaitu kebahagiaan yang tidak bisa diganggu gugat.

Pikirkanlah tentang maksud dari teologi yang sudah tercemar ini: "Aku mencoba agama, tapi itu tidak membuatku bahagia. Aku pergi ke gereja dan itu juga tidak membuat hidupku lebih baik. Tuhan tidak menolongku untuk memperoleh hidup yang lebih baik, jadi entah Dia mengecewakanku atau Ia tidak nyata. Apapun jawabannya, aku tidak tertarik."

Pada hakekatnya setiap pesan yang dikirimkan oleh masyarakat kita memperkuat hasrat kita terhadap hidup yang penuh kebahagiaan. Putarlah acara talk show apa saja dan kau akan mendengar tentang bagaimana kau seharusnya bahagia. Carilah di toko buku mana saja, dan kau akan tersesat di bagian self-help alias pertolongan terhadap diri sendiri. (Ketika aku mengetik kata "happy" ("bahagia") di amazon.com, aku menemukan 10.635 buku-buku yang memiliki kata happy di judulnya.) Bukanlah sesuatu yang tidak umum mendengar pesan ini dikhotbahkan di gereja-gereja seluruh dunia: "Tuhan ingin kau bahagia dan menikmati hidup. Kau layak segala sesuatu yang lebih, lebih besar, lebih baik, dan lebih cepat." Kita dibombardir dengan pesan untuk sujud dan menyembah Allah yang palsu, yaitu kebahagiaan.

Mengejar kebahagiaan kelihatan seperti hal yang baik untuk dilakukan. Jika kita bahagia, maka segala sesuatu akan berjalan lancar bagi kita, bukan? Masalahnya ialah, apa yang kelihatannya benar belum tentu benar. Amsal 14:12 berkata, "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut."

Seperti keledai mengejar wortel, banyak orang mengejar apa yang mereka percayai akan memuaskan, tapi tidak pernah terjadi. Baru-baru ini setelah ibadah gereja, aku bercakap-cakap dengan seorang wanita muda yang menelusuri kembali rangkaian keputusan yang pada waktu dibuat kelihatannya benar. Ketika Rachel berjumpa Mitch dalam liga softball kampus, ia berpikir pria itu luar biasa menyenangkan dan manis. Kelihatannya adalah hal yang benar baginya untuk berkencan dengan pria itu, meskipun ia bukan seorang Kristen. Ketika sang pria terus-menerus menghindari topik tentang pernikahan, ia berpikir bahwa dengan pindah ke apartemennya dan tinggal bersamanya akan membuat sang pria bahagia, jadi ini kelihatannya benar. Meskipun Rachel tahu bahwa ia tidak seharusnya berhubungan seks dengannya, namun karena hal itu membuat pacarnya bahagia dan membuatnya sendiri merasa dikasihi, ia melakukan apa yang kelihatannya benar. Ketika Rachel mendapati bahwa ia hamil, kelihatannya benar bahwa mereka seharusnya menikah. Dengan kelahiran anak pertama mereka, kelihatannya benar untuk menukar mobil sedan mereka yang sudah lunas dan mencicil mobil SUV baru. Karena tidak bahagia di apartemen kecil mereka, kelihatannya membeli sebuah rumah akan membuat mereka bahagia. Minggu lalu, Mitch berkata ia tidak pernah mencintainya dan pergi, meninggalkan Rachel hancur, terpukul, dan sendirian dengan seorang bayi. Meskipun setiap keputusan pada saat dibuat kelihatannya akan menuju kebahagiaan, semuanya itu membawa kepada satu situasi yang menyedihkan dan kelihatannya tidak ada harapan.


Kebahagiaan Bukanlah Tujuannya
Tuhan tidak menginginkan kita menjadi bahagia.

Aku sadar bahwa hal ini mungkin kelihatan picik, dan sangat bertentangan bila dibandingkan dengan khotbah-khotbah yang digembar-gemborkan oleh budaya kita 24 jam dalam 7 hari. Hal ini juga membuat beberapa di antara kita menjadi gelisah. Tapi itulah intinya.

Kadang apa yang kita pikir dapat membahagiakan kita bertentangan dengan apa yang Tuhan inginkan bagi kita. Ingat, Tuhan tidak 'adil' dan tidak selalu berkata 'ya' kepada semua doa kita. Untungnya, Tuhan menginginkan sesuatu yang lebih baik--jauh lebih baik--tetapi kita tidak bisa mendapatkannya sampai kita mengerti bahwa cara 'kebahagiaan-di-sini-dan-sekarang' tidak cocok dengan kerinduan Tuhan bagi hidup kita.

Pertama, Tuhan tidak menginginkan kita bahagia ketika hal itu dapat menyebabkan kita berbuat salah atau tidak bijaksana. Dalam rencana Tuhan, kita tidak dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang kita inginkan, walau untuk tujuan yang baik sekalipun.

Sebagai contoh, anakku yang paling kecil berusia lima tahun. Namanya ialah Rebecca Joy, tapi kami memanggil dia Joy, atau singkatnya JoJo. Baru-baru ini kami berada di rumah teman menghadiri sebuah pesta, dan temanku mempunyai zip line (dikenal juga dengan istilah flying fox) di halaman belakangnya. Tapi ini bukan zip line biasa; ini adalah zip line on steroids (zip line yang sangat berlebihan). Bentuknya panjang dan terjal dan tak bisa dihentikan kecuali dengan melompat, jadi kami membuat peraturan bahwa hanya anak-anak yang berusia empat belas tahun ke atas yang boleh menaikinya.

Di akhir hari, para orang tua tidak lagi mengawasi anak-anak dengan ketat. Jojo dan rekan pelaku kejahatannya yang berusia 12 tahun melanggar peraturan dan memutuskan ini adalah waktu yang tepat untuk terbang. Temannya mengangkat dia cukup tinggi untuk menggapai pegangannya, dan meluncurlah dia. Jojo melesat, berteriak kegirangan, "Wuiiiiiiiiiiiiiiiiiii!" Evel Knievel kecilku tersenyum lebar, sangat menikmati waktu terbangnya--tepat sampai dia menghantam pohon--wajahnya lebih dulu. Bunyi bukk!! yang keras saat tubuh kecilnya menghantam pohon terdengar sangat mengerikan. Tubuhnya yang kecil jatuh lemas ke tanah. Darah menutupi wajahnya saat dia terbaring tak sadarkan diri. Syukurlah, dia bangun. Dia hanya harus mengalami dua lapis jahitan di dagunya, dan proses pemulihannya berjalan cepat dan tuntas. Tetapi intinya sangat jelas: tidak peduli betapa menyenangkannya permainan itu--dia mendapat ganjarannya pada akhirnya.

Banyak dari kita melewati hidup ini seperti Jojo dengan zip line-nya. Wuiii! kita berpikir, saat menjalani gaya hidup yang tidak bijak atau berdosa. Dosa dapat menjadi sangat menyenangkan untuk waktu yang singkat (lihat Ibrani 11:25), tetapi selanjutnya mengikat kita. Allah tidak menginginkan engkau bahagia bila kau melakukan sesuatu yang salah atau tidak bijaksana. 

Kepercayaan yang Salah Tidak Membuat Hidup Menjadi Benar
Baru-baru ini di sebuah toko kelontong, aku berpapasan dengan seorang pria yang aku kenal. Aku melayani konseling pra-nikahnya dan memimpin pernikahannya. Karena gembira berjumpa dengannya, aku segera memeluknya dan bertanya kepadanya tentang keluarganya. 

Ia menjelaskan bahwa ia dan istrinya telah bercerai, jadi aku bertanya apakah ia nyaman untuk menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Selama beberapa saat berikutnya, ia menjelaskan bagaimana istrinya tidak membuatnya bahagia dan ia juga tidak membahagiakan istrinya. Karena tidak ada lagi yang bahagia satu dengan lainnya, mereka bercerai.

Ketika kita percaya upaya kita mengejar kebahagiaan mengizinkan kita untuk berbuat dosa, kita menjadi Kristen Ateis. Tuhan tidak pernah membenarkan dosa, tidak peduli betapapun dosa itu membahagiakan kita, atau terlihat membahagiakan kita. Kita ahli dalam merasionalisasikan, tapi tidak ada jalan lain selain daripada prinsip pertama dari kebahagiaan yang benar.

Tuhan juga tidak menginginkan kita berbahagia bila kebahagiaan kita itu berdasarkan hal-hal yang dari dunia ini. Semalam ketika aku menonton TV, dan aku menemukan bahwa aku tidak bisa berbahagia tanpa Ab-Cruncher (alat olahraga sit-up), satu set berisi 110 pisau, dan sebuah selimut dengan lubang sehingga aku bisa memasukkan lenganku ke dalamnya. Sekarang aku tahu mengapa aku selama ini sengsara. Aku telah dengan polosnya melewati hidup ini berpikir apa yang kurang. Ternyata jawabannya selama ini adalah sebuah Snuggie (selimut dengan lubang tangan).

Biasanya, tanpa kita tahu, upaya kita mengejar kebahagiaan melalui barang berakhir dengan kegagalan karena itu berlandaskan pada suatu kebohongan. Perbuatan kita membuktikan bahwa dari antara kita, ada orang-orang dalam jumlah yang mengkuatirkan, yang sungguh-sungguh mempercayai persamaan ini: harta yang lebih baik + keadaan damai + pengalaman-pengalaman yang menggetarkan hati + hubungan-hubungan yang benar + penampilan yang sempurna = kebahagiaan.

Banyak dari kita hidup seakan-akan kita sungguh-sungguh mempercayai formula palsu ini. Bahkan jika kita menyangkalnya dengan mulut kita, dari cara kita menghabiskan waktu, uang, dan pikiran kita hampir bisa dipastikan bahwa memang kita mempercayainya.

Budaya kita telah mengkondisikan kita untuk mempercayai bahwa barang-barang yang tidak kita miliki adalah barang-barang yang akan membuat kita bahagia--tidak usah dipikirkan bahwa banyak dari barang-barang itu bahkan belum ada lima tahun yang lalu. Kita dengan membabi buta mengejar apa yang lebih baru, lebih bersinar, atau lebih cepat.

Kita mendambakan keadaan yang damai. Jika kita tidak suka suatu pekerjaan, seorang bos, gaji, atau seorang rekan kerja, kita pindah. Jika suatu mata kuliah terlalu sulit, kita tinggalkan. Jika sebuah komitmen menghabiskan terlalu banyak waktu atau usaha, kita memutuskannya. 

Ketika kita tidak sedang mengejar kedamaian, kita mencari-cari sensasi. Bisa jadi itu adalah hobi, olahraga, liburan, atau hiburan akhir pekan favorit kita. Ketika satu sensasi memudar, saatnya untuk mengejar yang lainnya, berapapun harganya.

Atau kita mungkin hidup selalu di dalam pengejaran romantis "cinta sejati" yang misterius. Dibutakan oleh cerita-cerita tentang penyelamatan Putri Salju oleh Sang Pangeran, atau kisah putri yang mencium seekor kodok yang kemudian berubah menjadi pangeran yang tampan dan kaya, kita menghabiskan hidup kita dengan mendambakan "si dia" yang sempurna. Bukannya berusaha untuk saling melayani, kita keliru mempercayai bahwa ada seseorang di luar sana yang diciptakan hanya untuk membahagiakan kita.

Jika usaha kita bukanlah tentang pencarian pasangan yang ideal, mungkin tentang penampilan kita. Jika kita kelihatan sedikit lebih baik, segalanya juga akan ikut menjadi lebih baik. Lebih langsing, lebih tinggi, lebih kuat--dan tidak ada pilihan yang tidak dapat dipertimbangkan. Diet, operasi, obat-obatan, kosmetik pemutih kulit, itulah alat-alat yang kita gunakan untuk membuat kita kelihatan sempurna--untuk membuat kita bahagia.

Ketika kita percaya hal-hal yang berasal dari dunia ini akan memberikan kebahagiaan, kita akan menghadapi kepalsuan. Suatu hari istriku menyuruhku pergi berbelanja sendirian, yang adalah hal berbahaya. Ketika aku berjalan melewati pintu otomatis, aku melihat sekotak besar kepiting goreng hanya seharga $4,99. Melihat itu adalah harga yang murah sekali, aku cepat-cepat mengambil dua. Setelah pulang ke rumah dan mencoba hadiahku, aku memuntahkannya sebelum tertelan. Daging kepitingnya ternyata imitasi.

Tuhan benci ketika kita melewatkan kehidupan yang sejati dan memusatkan diri dengan janji-janji palsu dari dunia ini.

Lebih dari Bahagia
Ketika kita mencapai prinsip akhir dari kebahagiaan yang sesuai kehendak Tuhan, kita menemukan sebuah janji untuk berkat-berkat yang luar biasa. Tuhan tidak menginginkan kita bahagia karena Tuhan ingin kita diberkati. Kata dalam bahasa Yunani "makarios" dalam Matius pasal 5, juga dikenal dengan Ucapan Bahagia, bisa diterjemahkan sebagai "amat sangat diberkati". Dengan kata lain, Tuhan ingin kita lebih dari sekedar berbahagia. Kebahagiaan dari dunia ini dilandaskan atas kejadian-kejadian yang tidak menentu, tetapi berkat-berkat dari Tuhan melampaui segala hal yang ditawarkan oleh dunia ini. Firman Tuhan berkata di Mazmur 112:1, "Berbahagialah orang yang takut akan Tuhan, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya." Cara lain melihatnya ialah: "Lebih dari berbahagia orang yang takut akan Tuhan." Alkitab tidak pernah berkata, "Diberkatilah orang yang melakukan sesuatu yang salah dalam mengejar kebahagiaan," atau, "Lebih dari berbahagia orang yang memuaskan diri dengan barang palsu yang duniawi dan murahan."

Beberapa tahun yang lalu di gereja kami, kami menghabiskan satu bulan untuk mempelajari apa yang Alkitab katakan tentang kehidupan dan kematian. Kami mewawancarai Staci, seorang ibu di usia akhir tiga puluhan yang menderita tumor otak. Para dokter memberitahu bahwa ia hanya punya sedikit waktu untuk hidup. Sayangnya, mereka benar. Aku mendapat kehormatan membantu memimpin upacara pemakamannya. Suami Staci dan dua orang anak perempuannya duduk dengan tegar di baris depan. Mereka berbagi cerita, membaca puisi, dan memutar rekaman Staci menyanyikan salah satu dari lagu-lagu pujian paling indah yang pernah kudengar.

Ada cukup air mata yang tertumpah untuk mengisi sebuah kolam renang kecil--sungguh. Tidak ada perasaan bahagia sama sekali dalam semua peristiwa kehilangan yang manusia hadapi. Tetapi aku bisa memastikan, tidak ada seorangpun di dalam gedung gereja itu yang tidak merasakan hadirat Tuhan. Bahkan di tengah kesedihan kami, ada damai yang melampaui kemampuan kami untuk mengerti. Kami sudah pasti tidak bahagia, tapi tidak bisa disangkal bahwa kami diberkati dalam penghiburan ilahi dari Tuhan kita yang kudus.

Hanya ketika kita berhasil membungkam Kristen Ateis dalam diri kita dan mencari Tuhan dan Kerajaan-Nya di atas hal-hal yang kosong dan hampa dari dunia ini, barulah kita bisa mengalami berkat yang sejati dan kekal. Dan ketika kita mengalaminya, kita akan dengan senang hati mematikan televisi, mematikan komputer, keluar dari toko mahal, dan mencari Tuhan lebih lagi. Kita akan melepaskan cengkraman materialistis kita pada hal-hal yang dari dunia ini dan kita akan sadar bahwa para pembawa damai, dan mereka yang lapar dan haus akan kebenaran, yang rendah hati, dan yang berbelas kasihan, mereka semua lebih berbahagia.

Max Lucado menceritakan sebuah kisah tentang seekor ikan dalam bukunya When God Whispers Your Name (Ketika Tuhan Membisikkan Namamu). Versiku sedikit berbeda. Mari mulai dengan sebuah pertanyaan: apakah kau pikir seekor ikan akan senang berada di pantai yang berpasir? (Jika kau harus bertanya kepada anak kelas 5 SD, aku jadi kuatir tentangmu). Jawaban yang pasti ialah, tentu saja tidak. Insang kecil si ikan akan menggelepar-gelepar, bergerak ke dalam dan ke luar seperti tangan sedang bertepuk, tubuhnya akan melompat-lompat dari ujung satu ke ujung lainnya seperti pemain akrobat yang menggila.

Bayangkan kita memberikan ikan kita ini uang tunai bebas pajak sebesar $100.000. Apakah kau pikir Si Ikan akan bahagia sekarang? Bisakah kau membayangkannya masih tetap menggelepar-gelepar dan melompat-lompat? Mungkin sebaiknya kita berikan sebotol bir Corona dingin dan majalah Playfish. Sekali lagi, Si Ikan tidak akan bahagia. Tidak peduli apapun yang kita berikan kepada si ikan yang berada di pantai, itu tidak akan bisa memuaskannya. Tidak ada yang bisa membuat ikan itu bahagia di pantai--karena ia tidak diciptakan untuk hidup di pantai. Pasir itu bukan rumahnya. Apapun selain dari air akan membuatnya ingin kembali ke tempat di mana ia memang diciptakan untuk tinggal.

Sama halnya dengan kita. Kita tidak bahagia dengan hal-hal yang dari dunia ini karena kita tidak diciptakan untuk dunia ini! Kita adalah orang asing, alien di dunia. Kita diciptakan untuk berdiam selamanya bersama Tuhan kita di surga. (Lihat Fil 3:20). Kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang kekal dalam hal-hal yang sementara dari dunia ini karena kita tidak diciptakan untuk hidup dalam suatu hidup yang sementara. Dunia ini bukan surga. Tidak pernah dimaksudkan demikian. Itulah sebabnya tidak ada jumlah uang, rumah baru, perabot rumah tangga baru, perlengkapan dapur baru, pakaian baru, rambut baru, bayi baru, liburan baru, pekerjaan baru, penghasilan baru, suami baru, atau apapun yang baru yang akan pernah memuaskan kita, karena kita tidak diciptakan untuk hal-hal dari dunia ini.

Seperti Mazmur 97:12 berkata, "Bersukacitalah karena Tuhan, hai orang-orang benar, dan nyanyikanlah syukur bagi nama-Nya yang kudus." Kebahagiaan sejati ditemukan hanya di dalam Tuhan, dan ketika kita menemukannya kita akan mengerti, mungkin untuk pertama kalinya, betapa diberkatinya kita.


Sumber:
The Christian Atheist: Percaya Kepada Tuhan tetapi Hidup seakan Dia Tidak Ada, bab 9
oleh Craig Groeschel
Penerbit Benaiah Books

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest