Gelanggang Pertandingan Si Ego

3:15:00 pm

Sejak dulu gw paling sebel kalau harus memilih. Apalagi kalau pilihannya hanya dua. Coba kalau pilihannya bisa lebih banyak, tentu risiko melakukan kesalahan makin kecil, kan. Ah, masa iya sih seperti itu. Engga juga ya? Risiko kesalahan hanya terasa makin kecil karena penyesalan itu dibagi dengan lebih banyak nilai x, dengan x adalah jumlah pilihan yang tersedia. Oke, oke, jangan kita arahkan topik sakral ini ke cabang ilmu statistika.

Gw bingung jika harus memilih, meskipun apabila hanya ada satu di depan mata, gw tetap mengeluh juga. Duh, apa sih maunya gw? Engga jelas banget, yee. Gw terlalu nggak siap menghadapi konsekuensi yang akan timbul setelah memilih sesuatu. Soalnya, cepat atau lambat apa yang gw takutkan itu tiba. Dan setelah krisis demi krisis menghadang, gw mulai berpengharapan secara tak realistis, yakni agar gw bisa menekan tombol Undo dalam hidup gw. Kembali lagi ke kondisi pada saat gw belum memilih apapun, dan mengawali lagi semuanya dari titik 0. Seandainya bisa. Tapi temen gw bilang, sepertinya hidup justru bakal lebih mengerikan jika tombol itu sungguh ada.

Karena lebih suka main aman (padahal lebih seru main petak umpet atuh ya! hehe), gw akhirnya mengulur-ulur waktu agar seolah-olah pilihan itu tak lagi menghantuiku dan gw gak perlu bikin keputusan apapun. Yup, gw bagaikan memprogram diri gw sendiri dengan mantra “abai-abai-abai” dan “tunda-tunda-tunda”. Jika si nurani mulai menggelitik dengan gurauannya seperti, “Ayo dong, ambil tindakan. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?” Gw udah siapin jawaban: “Nggak kapanpun. Nggak selamanya.” Nurani ini seperti sedang bertanding pakuat-kuat dengan gw, dan siapa yang bisa terus bersabar maka dia yang menang. Gw akui, bahwa gw tidak pernah menjadi atlet yang sportif. Sama sekali kagak. Daripada harus menerima resiko kekalahan—meskipun kemungkinan untuk menang juga terbuka lebar—gw lebih baik mundur dari gelanggang.

Berharap bahwa si lawan pertandingan akan bersikap pasrah saja memandang kepergianku yang angkuh dengan kepala tegak ini.

Berharap bahwa penonton juga tidak menyoraki gw atau menimpuk gw dengan kulit pisang dan tomat mentah.

Berharap bahwa wasit akan menganggap kompetisi ini sudah-sampai-di sini-saja tanpa dilakukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut sikap nir-profesional gw.

Berharap bahwa kemudian gw tidak lagi harus menghadapi kompetisi memualkan tersebut.

Yeah, harapan tersebut sepertinya akan terwujud dengan sangat mudah. Saat aku sudah mati.

Namun apa yang bisa kulakukan sekarang? Toh aku sedang hidup. Si nurani masih juga menanti di ujung lapangan itu. Dia bersiap menyerangku kembali di babak ke-entah-berapa ini. Stamina dia tak kunjung loyo. Dari kejauhan gw bisa melambaikan tangan, mengatakan salam perpisahan. Tetapi gw akan selalu berada dalam gelanggang. Selama gw hidup. Gw nggak akan bisa lari kemanapun.

Pilihan demi pilihan semakin lama semakin mengantre. Nurani kini tidak bercanda pake basa-basi sepeti dulu. Bagaikan sudah menelan belasan butir permen Fisherman’s Friend, dia sekarang berteriak dengan suara yang hampir merobek gendang telinga gw, “Cepet buat keputusan!”

Gw bergeming. Kadang gw memohon, “Semoga dia gak peduli bahwa gw cuekin dia.” Kadang gw meminta, “Ya Tuhan, buatlah supaya aku tiba-tiba menyukai sesuatu di tengah kerumunan pilihan ini, sehingga secara alamiah aku bisa memilih tanpa usaha internal dalam batinku.

You Might Also Like

1 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest