Berkawan dengan Rasa

2:43:00 pm


(Judul asli "Sahabat Rasa" oleh Raditya Oloan)

Gimana kabarmu hari ini? Baik kah? Atau ngga baik kah?
Lagi senang? Lagi sedih? Lagi bersemangat? Lagi down?

It's okay, karena keadaan hari ini tuh cuman sementara. Dan karena kita percaya bahwa kita mau jadi lebih baik, kita harus punya pengharapan: apapun yang gw rasa hari ini,  gw harap semuanya bisa jadi lebih baik nanti.

Nah, berbicara soal PERASAAN.. 

Orang-orang yang punya keahlian dalam mengenali perasaannya lalu mencoba untuk mengelolanya dan menjadikannya kekuatan, adalah orang-orang yang sangat beruntung. Kenapa? Riset mengatakan bahwa emosi adalah penentu yang menekan tombol sebuah keputusan. Namun, banyak orang membantah: "Ngga dong, kan dengan berpikir-lah baru kita bisa merasa." Tapi pada kenyataannya, kita suka merasionalkan apa yang kita rasakan. Artinya, kita mencoba untuk melogikakan based on our feelings. Itu sebabnya, we need to master our feelings. Kita perlu menjadi tuan atas perasaan kita. Karena pada akhirnya, bukan perasaan kitalah yang menguasai kita, namun kitalah yang harus menguasai perasaan kita. 

Pada dasarnya juga, ketika kita mengambil keputusan, keputusan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan kita (daripada logika). At least, kita bisa me-manage perasaan kita, supaya perasaan itu membuat kita lebih produktif. Kita produktif jika perasaan itu bisa dikelola; sehingga perasaan itu memunculkan informasi-informasi yang penting banget untuk kita pelajari, sadari, dan bantu kita ambil keputusan.

Jadi walaupun emosi adalah penentu yang menekan tombol sebuah keputusan, tetap kita-lah yang membuat keputusan! Misalnya, kalau gw lagi marah banget. Perasaan amarah itu bisa mendorong gw untuk mengambil sebuah keputusan. Tetapi kalau gw ngerti sistem kerja perasaan gw, maka ketika gw mau memutuskan, gw bisa mengintervensi. Artinya gw bisa berhenti sejenak, gw bisa mencoba mencari alternatif, dan tidak di-takeover oleh perasaan amarah tersebut.

Kenapa sih gw pengen banget sharing ini? Karena jujur gw juga struggle di situ. Pekerjaan atau keseharian gw adalah seorang konselor, dan pemimpin dalam sebuah organisasi keagamaan, juga bisa dibilang seorang love motivator. Gw banyak berhadapan dengan orang-orang yang mengalami masalah ini. All of us have this problem.

Pertama-tama kalau kita mau memiliki jiwa yang sehat, kita perlu sadari bahwa kita punya perasaan, and it's real. Perasaan itu real, tapi ngga semuanya harus kita ikutin. Jadi, kalau kita ngerasa takut, maka the fear is real. Tapi apa yang fear itu bicarakan, belum tentu real. Kalau gw sedih, ya sedih itu real. Tapi belum tentu apa yang gw sedihkan itu real. 

Jadi, feeling is a message. Feeling itu kayak kode. Sama kalo gw lagi nyetir mobil, lalu di speedometer itu indikator bensin nyala, artinya gw mesti isi bensin. Kalo indikator oli yang nyala, ya artinya ada masalah di olinya. Atau, kalau cruise control bermasalah, artinya ada sesuatu yang harus gw kerjakan. Itu semua memunculkan pesan-pesan supaya gw bisa tahu what's going on with the car, dan gw harus melakukan sesuatu. Sama juga dengan tubuh kita. Ketika kita ngerasain sesuatu dalam tubuh kita, maka kita perlu untuk denger. Kalau kita terus menekannya, atau berusaha ignore itu, jadinya bahaya banget. Nanti ada sistem kerja di otak kita (yakni, pusat kita merasa) yang bisa men-takeover itu sehingga nantinya akan timbul hal yang ngga kita inginkan.

Gw ngga lagi ngomongin masalah hardware: otak rusak, dan sebagainya. Tapi gw ngomongin masalah software: bagaimana informasi itu bisa dikoding atau diterjemahkan dengan benar. Karena kebanyakan dari kita sebenernya ngga ada masalah dengan hardware (otak), tapi masalahnya di software (bagaimana memproses/menerjemahkannya).

Kalau hari ini lo punya perasaan, lo mesti bisa memiliki itu. You need to own it. Karena kalau perasaan lo ngga lo miliki, nanti seseorang akan berusaha untuk memilikinya. 

Mungkin hari ini lo berpikir, "Gw orangnya ga bisa sedih kok! I already set my heart untuk ngga broken." Sebenernya, kalau lo mau telusuri, pikiran kayak gitu terjadi karena sesuatu di masa lalu (bisa jadi sebuah peristiwa, atau orang-orang, atau apa yang lo lihat dan lo dengar), dan akhirnya lo memutuskan untuk mematikan/shutdown your feelings. Dan, lo mengatakan, "I controlled my feeling," padahal sebetulnya lo ngga mengendalikan perasaan lo. Sebaliknya, kejadian dari masa lalu-lah yang mengendalikan elo. So, basically lo jadi budak. Somebody/something else took over your life. Seseorang atau sesuatu sudah mengambil alih hidup lo. Lo jadi kayak sebuah TV, yang remote-nya tinggal dipencet-pencet sama orang lain, dan TV itu akan bekerja mengikuti remote.

Makanya, lo harus ambil kembali perasaan yang lo punya. Karena Tuhan mendesain elo untuk merasa. So, no matter how bad how you're feeling right now, lo harus memiliki itu karena itu bagian dari diri elo. Tuhan buat itu supaya elo bisa punya hidup yang produktif. Kalo ngga, lo akan kehilangan arti hidup yang sesungguhnya. 

Gw suka banget film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Ada satu adegan ketika si Angkasa bilang, "Gimana kita mau bahagia, kalau sedih aja kita ngga tahu gimana rasanya?" Dan gw setuju banget. Perasaan itu kan ada di tempat yang sama--kita ngga bisa hanya mau merasakan perasaan yang baik saja tapi ngga mau merasa sedih. "Gw mau perasaan semangat aja ah, kalo perasaan depresi gw ngga mau. Gw mau perasaan yang bikin hepi aja, tapi perasaan sendiri dan ditolak gw ngga mau." Ngga bisa begitu. Perasaan itu ada di satu tempat yang sama. Satu bagian, it's in you. Ketika lo mematikan satu perasaan, besar kemungkinannya lo sedang mematikan perasaan yang lain. Nanti lo jadi sulit banget untuk bahagia.

Beberapa waktu belakangan gw menyadari hal ini. Asli, kita sering banget lupa. Gw udah sering belajar, sering mengalami, memproses, tapi tetep aja gw sering lupa. Kayak kemarin nih contohnya, gw dapet banyak berkat, hal-hal dahsyat di hidup gw. Gw merasa sungguh diberkati dalam hidup ini. Banyak surprise lah. Tapi ketika gw ngalamin itu kok gw ngga bisa hepi. Hepinya cuma kayak sedikit. What's wrong? 

Ketika gw coba ambil waktu sendiri, masuk ke dalam diri gw... ternyata ada beberapa hal yang gagal untuk gw manage. Ada beberapa hal yang gw tolak untuk gw rasakan. Ada hal-hal yang gw berusaha suppress/tekan, sehingga ketika ada hal yang baik terjadi, gw ngga bisa senang. 

Hari ini, gw cuma mau bilang, lo perlu bersahabat ama perasaan lo. Tapi lo ngga perlu jadikan perasaan lo sebagai tuan. Ga perlu juga lo musuhin perasaan itu. Lo adalah tuan atas perasaan lo. Nikmati itu, karena itu bagian dari diri elo. Itu bukan setan, bukan dajjal, bukan sebuah kutukan. Itu cuma program dalam diri lo. That's your feelings. 

Just take it slow. Hang on with me. Tarik nafas pelan-pelan sambil bilang, "Gw lagi sedih, lagi depresi." It's okay.. tenang, tenang. 

Terus lo mulai memiliki perasaan itu: "Terima kasih atas perasaan ini. Terima kasih karena kamu lagi mencoba bicara sama aku bahwa aku lagi sedih dan stress. Kamu bagian dari aku." 

Yuk, sama-sama kita menghadapinya. Kita jadikan perasaan ini sebuah supporter supaya kita hidup lebih baik.

Kadang-kadang, ketika lo mulai berkawan sama perasaan, nanti berbagai perasaan mulai masuk satu persatu. Tapi lama-lama lo bisa belajar mengendalikan itu. Ada beberapa buku yang gw baca tentang hal ini, dan pernah ada statement yang bilang, "Kalau kita menolak perasaan & berusaha acuh terhadap perasaan, justru secara ngga sadar itu akan menciptakan lubang yang sangat besar. Sesuatu yang lo ngga mau akui, nantinya akan berbalik dan mengendalikan hidup lo." Kita jadinya under control secara ngga sadar. Tapi kalau kita merengkuhnya, menerimanya, memilikinya... maka sesungguhnya dia akan ada di bawah kendali kita.

Sekali lagi, gw bukan ahli tapi gw percaya ini bisa ngebantu lo. So, jangan kuatir berlebih, karena ini cuman sementara. Besok pasti lebih baik lagi. Kita berjuang sama-sama, dan kita akan lihat... in the end kita bahagia. God bless.

--
Photo by Jasmin Chew on Unsplash

You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest