KECEWA!

10:30:00 am


Ngga ada angin, ngga ada ujan, tulisan gw di Quora yang judulnya 50 Pelajaran Hidup lumayan rame bahkan ampe sekarang. Dapet upvote 7000+, shared 300+, and still counting. Thanks, virtual folks!

Orang-orang mungkin merasa relate dengan 50+ poin yang gw tulis, makanya sampe cukup viral. Tapi buat gw pribadi cuma satuuu aja poin yang paling ngena dan selalu gw inget. Alesannya? Karena pelajaran yang satu ini mesti dilakuin seumur hidup. Dan susah banget!

Pelajaran nomor 34 - Memaafkan orang lain adalah ajaran agama tersulit. Karena di dalamnya termasuk: tidak mengharapkan yang buruk terjadi pada orang itu & tidak membalas dendam ketika kamu punya kesempatan.

Gw nulis kayak gitu apakah gw udah jadi ahli pengampun? Ngaco! Justru gw struggle terus. Jatuh lagi, maapin lagi, coba lagi, capek. Tapi, apa ada pilihan lain? Jika dengan marah dan balas dendam hidup gw bakal lebih baik, gw akan jalanin itu. Tapi kan itu terbukti hanya menambah masalah, bukan menyelesaikannya.

Kita pasti kecewa. Objek kekecewaan terbesar kita bukan musuh, loh. Maafin musuh (yakni seseorang yang sejak awal emang nyebelin dan gangguin kita) justru lebih gampang. 

Tapi ketika lo harus maafin orang yang TADINYA lo percayai, lo andalkan, dan lo harapkan... BARU DI SITU letak susahnya. Orang ini tadinya baik, lalu berubah jadi tidak baik (apapun definisi "baik" dan "tidak baik" yang lo maksudkan). 

Lo kecil hati, kaget, ngga terima, lalu murka. Terus lo teriak-teriak di kupingnya sambil nangis berderai: "Kenapa lo lakuin ini semua ke gw? Apa lo ngga inget semua yang udah gw lakuin ke elo? Jadi ini balasan yang gw terima?"

OK. Itu terlalu dramatis. 

Kasus yang paling umum dalam hidup gw adalah, memaafkan sesama orang Kristen. Damn, ini susah. Najis banget buat dilakuin. Ketika gw kerja di sebuah institusi pelayanan kristiani, betapa tercengangnya gw karena menyadari mereka lebih menyerupai sosok iblis daripada malaikat. Serius.

Ketika gw bergereja, gw nemu pendeta-pendeta yang omongannya kayak ngga pake mikir. Mentang-mentang berdiri di mimbar yang tinggi, komentarnya ngelantur sana-sini. Terus mereka-mereka tuh, yang nyanyi dan main musik di panggung. Jangan ketipu sama gayanya yang holy, when actually kelakuannya like a shit. (Nulis ginian kok triggering ya. Gw langsung inget detil-detilnya, tapi ngga sanggup menuliskannya saat ini. Haha. Mungkin nanti.) 

Terus gw? Gw mengembangkan sinisme yang amat tinggi terhadap makhluk-makhluk di gereja. Sekarang gw udah ngga pelayanan di gereja manapun. Dengan begitu gw merasa "sedikit lebih bener." Secara umum, di mata gw gereja hanya organisasi yang tidak lebih baik dari dewan perwakilan rakyat (yang tikusnya banyak) atau partai politik (yang dramanya banyak). 


Gw ga percaya mengampuni orang itu se-enteng ngomong, "Oke, gw maafin elo."

No no! Itu cuma lip service doang. Ketika lo bener-bener sadar apa yang sudah dilakukan orang itu dan ketika lo benar-benar tahu siapa orang yang harus lo ampuni, pengampunan itu terasa SAKIT. Bahkan lo bisa nangis karena itu sebuah tindakan yang bertentangan dengan "daging" lo.

Ketika kita ngucapin berkat atau mendoakan orang yang harus kita ampuni, udah pasti sulit! Tapi anugerah Tuhan ada supaya kita bisa melakukan hal-hal sulit. 

Izinkan saya mengupas sedikit tentang hal-hal sulit. 

Dalam hidup, jauh lebih gampang bagi kita untuk meminta Tuhan melakukan persis seperti yang kita harapkan. Kalau saya sakit, adalah normal bagi saya kalo meminta Tuhan mengangkat penyakit saya dan menyembuhkannya. 

Tapi most of the time, entah mengapa, Tuhan tidak mengabulkan apa yang kita minta. Padahal dia Tuhan! Dia bisa lakukan apapun, dan permintaan itu mudah banget buat Dia. Lagipula ngga ada yang salah kan dengan doa seperti itu?!

Well.. Menurut gw, kita harus belajar bahwa tidak sembuh bukan berarti tidak mengalami mujizat. Tetap sakit bukan berarti kita tidak diberkati. Juga sebaliknya! Tetap sehat bukan berarti perkenanan Tuhan ada buat kita loh. Gw bisa aja sehat, tapi kehilangan Dia. Tidak semua permintaan kita akan dijawab sesuai ekspektasi kita, sebab Dia ingin kita berhadapan dengan hal-hal sulit. 

Jika seorang anak minta dibelikan kinderjoy sampai menangis merengek-rengek, mana yang lebih mudah dilakukan sang orangtua: membelikannya atau tidak membelikannya? Tentu lebih mudah membelikannya. Lagipula kinderjoy tidak mahal, dan isinya bukanlah barang beracun. Tapi kenapa banyak orangtua yang tidak membelikan kinderjoy? Jawabannya: karena tidak semua permintaan perlu dituruti. Sang anak harus belajar bahwa setelah dewasa dia juga ngga akan dapetin smua yang dia mau , meski dia udah berusaha keras. (kenapa tuh?)

Si anak harusnya nanti mengerti bahwa, "It's not a big deal. I couldn't always get what I want, but it's okay! Mom and Dad know what's best for me."

Ketika kita meminta kepada Tuhan: "Ya Tuhan, buatlah orang itu menderita dan selalu gagal sepanjang hidupnya. Sebab ia telah melukai aku. Aku ini anak-Mu. Lakukan pembelaan terhadapku. Amin." Sekilas, adalah sangat normal jika Ia mengabulkannya kan? Tapi Dia ngga jawab itu, karena jika demikian maka kita adalah anak-anak gampangan.

Well, kadang kita ngga berdoa seperti di atas sih. Tapiiii... ketika ada kesialan dan malapetaka yang menimpa orang yang kita benci, di pikiran kita langsung muncul, "Nah loh, rasain. Makanya dulu lo jangan begini-begitu sama gw!" Lah, sama aja atuh. 

Kalo lo serius udah maafin, lo pasti ngarepin yang baek-baek kok buat dia. 


Kembali lagi ke orang-orang Kristen menyebalkan yang gw sebutin di atas. Setelah makin berumur (baca: tua) gw memahami bahwa gw ngga lebih baik dari mereka. Gw bukan pemusik yang jago nyembah, bukan pendeta yang pinter kotbah. Tapi, status mereka jelas bukan tolak ukur bahwa mereka lebih suci. Sedikit demi sedikit gw mulai ngerti bahwa, dengan jabatan gerejawi yang mereka sandang, hidup itu lebih sulit. 

Kenapa lebih sulit? Karena sementara mereka jadi panutan dan teladan, mereka masih hidup dengan emosi dan kecenderungan mereka: emosi untuk gampang marah, kecenderungan untuk jatuh di dosa seksual, emosi untuk gampang baper, kecenderungan untuk ingin perfect dan meremehkan kemampuan orang lain... itu semua masih tersimpan di diri mereka. Hey, status itu ngga mengubah orang! Jabatan, posisi, gelar itu ngga pernah mengubah orang! Apa yang ngga pernah diselesaikan, ngga akan diubahkan. Sama aja kayak pernikahan, itu cuma mengubah status tapi tidak mengubah orangnya. 

Dengan status sebagai "orang nge-roh" di organisasi gereja, mereka harus look alright, act okay, do anything well. Jika pendeta mengkotbahkan soal iman dan pengharapan, yaa hidupnya harus mencerminkan hal itu dong! Jika worship leader menyanyikan lagu sukacita, yaa kesehariannya harus jauh dari problem dan duka dong!

Lo tau sendiri lah, jemaat gereja itu judging-nya kayak apa. Lidahnya tajem boss! Ngga kalah sama netijen mahabenar. Lo pikir orang di gereja ngga suka bergunjing? Yhaa, kita sih diajarin untuk ngga melakukan itu, tapi tetep aja banyak dari kita melakukannya. 

Intinya apa? Baik jemaat,  pemimpin pujian, maupun pendeta... semuanya ngga luput dari dosa. Cuman beda varian dosa aja. 

Lo bayangin, suatu kali ada satu pendeta yang lo benci setengah mati karena perilaku nistanya yang telah mencemari karir rohaninya. Misalkan, dia berzinah. Sebagai jemaat lo kecewa banget ama doi, dan memutuskan untuk ngga mengampuni doi. Lo menjalani hidup sebaik-baiknya, berusaha ngga melakukan dosa yang telah dilakukan si pendeta brengsek tersebut. 

Tapi suatu kali dia bertobat. Dia menyelesaikan perkaranya, dan Tuhan Yesus udah ampuni dia. Di akhir hayatnya, si pendeta tersebut masuk surga. 

Bertahun-tahun kemudian, lo meninggal dan roh lo terangkat sampai ke teras surga. Baru teras loh ya, kan elo mesti melewati penghakiman dulu. Katakanlah, sang malaikat bertanya ke kamu, "Lo mau masuk surga? Coba jelasin, apa alasannya lo berhak menerima surga?" Kemudian dengan santai lo jawab, "Iya nih, selama di dunia saya sudah melakukan ini, saya percaya bahwa Tuhan adalah ini, lalu blablablabla."

Singkatnya, malaikat cukup puas dengan wawancara tersebut, dan mengijinkan lo masuk ke surga. Tapi pas pintu surga kebuka, lo liat ada si pendeta geblek itu dong di dalem. Dan lo langsung bilang ke si malaikat, "Ngga deh, ngga jadi. Kalo ada dia di surga mending gw ngga usah masuk ke situ."

(Insight ini gw dapet dari Cristofer Tapiheru dalam podcast berjudul Locked Out Of Heaven. Dengerin versi lengkapnya di sini: Revivo app)

Ketika lo berpikir si pendeta itu harusnya ngga ada di surga, lo membuat diri lo ngga pernah sampe surga juga. 

Inget ngga dengan ayat ini:
Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. (Matius 7:2)

Yang mengerikan dari kasus hypothetical di teras surga tadi adalah: Tuhan ngga lagi menghakimi elo, namun sayangnya lo ngga sadar betapa lo sudah diampuni sama Tuhan, sehingga lo bersikeras ngga mau ngampuni si pendeta. 

Gw pernah nulis soal victim yang menjadi villain di blog berjudul Balas Dendam Paling Paripurna. Intinya adalah kita akan menjadi orang yang kita paling benci. Di akhir, gw mencantumkan kesimpulan begini: "Balas dendam akan menjadi paling paripurna ketika kita sama jahatnya dengan musuh kita. Setara, kalau bisa lebih."

Maksud gw adalah, balas dendam bikin lo lebih parah atau sama parahnya dengan musuh lo. Mengampuni adalah pilihan yang jauuuuuuh lebih baik, bahkan menguntungkan lo secara spiritually, mentally, juga secara fisik. Walaupun itu SUSAH BANGET.  

Tapi ya, balik lagi ke yang tadi: anugerah Tuhan itu dikasi supaya lo mampu melakukan hal-hal sulit. 


70 x 7. Belajar matematika bentar yuk! 

Tuhan Yesus mengajar untuk mengampuni 70 x 7 = 490 kali dalam sehari (1 hari=24 jam, dan 24 jam = 1440 menit), itu berarti setiap tiga menit mengampuni satu kali; 

atau kalau jam tidur tidak dihitung (sebab waktu tidur tidak bertemu seseorang, tidak berbuat salah) maka ada 17 jam kemungkinan untuk berbuat salah (24 jam –7 jam tidur=17 jam). Ini berarti satu kali mengampuni setiap 2 menit!

Setiap 2 menit mengampuni satu kali. Kalau 1 kali setiap 2 menit, ini berarti 20 kali setiap jam = 490 kali setiap hari.

Ah pusing atulah. Intinya apa? Kalo yang gw tangkep sih, ketika kita memaafkan seseorang, kita juga SIAP memaafkannya LAGI untuk kesalahan yang SAMA yang bakal dia lakukan di depan. Huft. 

Susah? Emang. Mendingan kita bobo aja. Ngga ketemu orang nyebelin, ngga ketemu orang yang mesti dimaafin. Zzz.


Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

You Might Also Like

1 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest