Loss Aversion (Dan Kenapa Kita Menumpuk Barang-barang di Rumah)

4:30:00 pm

Loss Aversion adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia lebih takut kehilangan sesuatu daripada mendapatkan sesuatu--meskipun "sesuatu" itu bernilai sama. 

Simulasinya gini. Di sebuah kelas yang berisi 50 orang, dibagikanlah 25 mug. Jadi, hanya separuh yang mendapatkan mug, dan separuh lainnya tidak mendapat. 

Siswa yang tidak mendapat mug diminta untuk melihat mug milik temannya (yang kebetulan duduk di sebelahnya).

Siswa yang punya mug, kemudian diberi pertanyaan oleh gurunya: "Berapa harga yang mau kamu pasang, jika kawanmu hendak membeli mug yang kamu miliki?" Ada pilihan ganda yang bisa mereka ceklis:

A. Rp 10.000
B. Rp 20.000
C. Rp 30.000 

Pertanyaan serupa juga diberikan kepada siswa yang tidak punya mug. "Berapa uang yang bersedia kamu keluarkan untuk membeli mug dari kawanmu?" Dan pilihan jawabannya sama seperti di atas. 

Tau ga? Siswa yang punya mug rata-rata mau jual di angka Rp 20.000, sementara siswa tanpa mug rata-rata mau beli di angka Rp 10.000.

Inilah contoh Loss Aversion. Setelah saya punya sebuah mug, saya keberatan untuk melepaskannya. Tapi jika saya belum punya mug, saya tidak punya urgensi untuk membelinya. 

Ketika manusia melepaskan atau kehilangan sesuatu, rasa sakitnya jauh lebih besar intensitasnya daripada rasa gembira ketika mendapatkannya. (When they have to give something up, they are hurt more than they are pleased if they acquire the very same thing)

Hal menarik berikutnya dari teori Loss Aversion ini adalah, manusia cenderung tidak tepat dalam memprediksi nilai sebuah barang. Harga mug semacam itu di pasaran biasanya di Rp 8.000 hingga Rp 10.000 saja. Tapi orang yang memiliki mug malah memasang nilai jual 2x lipat--yang jika diterapkan ke bisnis beneran akan ngaco banget.

Lantas kenapa kebanyakan dari mereka ingin melepas mug di harga tinggi? Saya ngga tahu, tapi berhubung manusia itu sangat bias & emosional kalo membuat keputusan (walaupun dia yakin seribu persen bahwa dia rasional banget), maka kemungkinannya adalah mereka terlanjur punya "ikatan" dengan mug tersebut.

"Ini mug saya. Saya sudah pegang, sudah lihat, dan saya suka.
Apa? Kamu mau beli mug ini? Hmm.
Tapi nanti saya minum pake mug yang mana?
Saya mesti cari lagi yang baru dong?
Yah... kalo kamu emang mau beli, saya lepas di harga Rp 20.000 deh!"

Tapi coba kalo mereka membayangkan sejenak, ketika mereka belum memiliki mug itu. Bukankah hidup mereka baik-baik saja? 


Ketika kita memiliki suatu barang, kita (mau tidak mau) akan mengembangkan ikatan (tak terlihat) dengan barang tersebut. Jika kita menggunakannya setiap hari, akan timbul "ketergantungan" (yang tidak disadari) terhadap objek itu. Padahal, sebelum dia hadir (sebelum kamu beli), yaa keadaanmu biasa aja sih. 

Gw pernah liat video orang di Jepang yang melakukan decluttering besar-besaran; hidup sebagai Minimalist. Setelah mengerti Loss Aversion, gw yakin yang sulit dari decluttering adalah: merelakan barang-barang kita dijauhkan/dibuang dari kita, meskipun ada rasa nyaman/familiar yang telah terbentuk di antara kita dan barang tersebut.


Case 1: Ketika mau sumbangin/jual sofa

Pemikiran yang meletup-letup:
"Lo mau buang sofa empuk itu? Hellaw, lo inget ngga dulu lo belinya sampe nabung 3 bulan? Terus lo mau duduk di mana nantinya? Lesehan gitu? Ntar punggung lo pegel, bokong lo tepos. Lo ngga bisa lagi rebahan empuk!"

(Padahal mah, tanpa sofa juga punggung dan bokong dia baek-baek aja. Emang nantinya mesti beradaptasi untuk hidup tanpa sofa sih. Tapi ya overall BIASA AJA)


Case 2: Ketika mau buang setengah isi lemari baju

Pemikiran yang meletup-letup:
"Baju yang ini masih bisa lo pake buat ke mall. Rok ini kapan-kapan bisa lo pake ke gereja. Nah, celana bahan yang ini emang kebesaran, tapi kan lo tinggal bawa ke tukang jahit buat dikecilin. Hayoo..? Terus kemeja batik ini dari jenis langka loh, yakin lo ngga butuh dia lagi?"

(Padahal baju-baju itu sebenernya udah 1 tahun belakangan ngga pernah lo pake. Numpuk doang di lemari, dan lo mesti beli kamper tiap bulan supaya dia ngga dikerubutin ngengat. Sia-sia aja.)

Loss Aversion ternyata bikin kita denger suara-suara ilusional! LOL.

Padahal, ketika berhasil membuang barang-barang yang udah ngga terpakai, kita dapet manfaat yang sangat besar. Biaya dan energi untuk bersihin dan ngerawat barang tersebut, otomatis berkurang. Hidup kamu jadi lebih fokus hanya kepada hal-hal esensial. Singkatnya begitu. Tonton aja video di atas buat cari tahu manfaat dari decluttering.

---

Referensi:

(ini buku kayak berlian banget, insight-nya padat dan kaya. Baru baca sampe halaman 30-an dan gw udah kaget berkali-kali! Ternyata,  kita sering banget ditipu sama pikiran sendiri. Bahkan pengetahuan yang kita miliki, ngga selalu bisa menolong kita. Pokoknya ni buku bener-bener bikin kita definisi-ulang semua common sense yang selama ini kita bangga-banggakan!)


You Might Also Like

0 komentar

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest