20 Cognitive Biases that Screw Up Your Decisions
8:13:00 pm
Kita membuat ribuan keputusan
setiap hari.
Entah keputusan soal mau makan apa
hari ini atau mau pindah kerja kemana, riset menunjukkan bahwa ada sejumlah
penghalang dalam kemampuan kognisi kita yang akan mempengaruhi perilaku kita.
Penghalang tersebut akan mempengaruhi kualitas dari keputusan yang kita buat.
Business Insider dalam artikelnya
yang dipublikasikan Agustus 2015 lalu, mengumpulkan sejumlah bias (anggapan) yang
bisa mengacaukan proses pembuatan keputusan kita.
Ini menarik, lho! Baca
satu-persatu, deh.
#1 Anchoring Bias.
Kita umumnya terlalu bergantung pada informasi pertama yang kita dengar.
Contohnya, ketika kita melakukan negosiasi gaji dengan sebuah perusahaan.
Ketika kita pertama kali mengetahui sebuah nominal rupiah maka kita bisa
menganggapnya sebagai standar untuk kisaran gaji di tempat tersebut.
#2 Availability heuristic.
Kita cenderung melebih-lebihkan makna informasi yang kita pernah terima. Seseorang
bisa berargumen bahwa merokok tidaklah berbahaya karena dia mengenal orang lain
yang bisa hidup hingga usia 100 tahun meskipun merokok 3 dus perhari.
#3 Bandwagon effect.
Kemungkinan bahwa seseorang
mempercayai sesuatu jika semakin banyak orang yang mempercayainya. Inilah
kekuatan dari sebuah ’pemikiran kelompok’,
dan itu sebabnya banyak rapat seringkali tidak menghasilkan keputusan apa-apa.
#4 Blind-spot bias.
Ketidaksadaran dalam diri seseorang bahwa ia menganut anggapan yang keliru. Kita lebih menyadari adanya
anggapan yang keliru dalam diri orang lain, bukan di dalam diri kita sendiri.
#5 Choice-supportive bias.
Ketika kamu telah memilih sesuatu,
maka kamu akan menilai hal itu sebagai sesuatu yang positif, meskipun pilihanmu
itu sebetulnya memiliki
ketidaksempurnaan. Misalnya, anjing peliharaanmu selalu terlihat hebat
bagimu—meskipun anjing itu sering menggigit orang yang lewat di pinggir jalan.
#6 Clustering illusion.
Kecenderungan untuk melihat pola dalam kejadian acak.
Inilah salah satu penyebab kegagalan dalam berjudi. Orang cenderung berpikir
bahwa warna merah tidak akan muncul atau justru akan muncul kembali setelah kemunculan
sederet merah sebelumnya.
#7 Confirmation bias.
Kita cenderung hanya mendengarkan
informasi yang mendukung/sejalan dengan dugaan
kita. Contohnya terjadi saat perbincangan seputar perubahan iklim.
#8 Conservatism bias.
Sebuah kondisi dimana orang-orang
lebih suka atau lebih yakin dengan informasi sebelumnya dibandingkan dengan informasi
yang baru mencuat. Contohnya, masyarakat sulit
untuk menerima bahwa bumi itu bulat sebab mereka telah mengatur pemikiran
mereka untuk yakin pada informasi sebelumnya—bahwa bumi itu datar.
#9 Information bias.
Kecenderungan untuk mencari informasi yang tidak akan
mempengaruhi tindakan. Lebih banyak informasi bukan berarti lebih baik.
Dengan informasi yang lebih sedikit, kita seringkali bisa membuat informasi
yang lebih akurat.
#10 Ostrich effect.
Keputusan untuk mengabaikan informasi negatif atau berbahaya,
dengan cara “menguburkan” kepala di dalam pasir, persis seperti yang dilakukan
seekor burung unta. Riset menunjukkan bahwa para investor hampir tidak mengecek
nilai saham mereka ketika pasar bursa sedang anjlok.
#11 Outcome bias.
Menilai sebuah keputusan
berdasarkan hasilnya—bukannya melihat
cara keputusan itu dibuat. Hanya karena kamu menang banyak di Vegas, bukan
artinya berjudi adalah keputusan yang cerdas.
#12 Overconfidence.
Beberapa orang terlalu percaya diri dengan kemampuannya, dan hal ini menyebabkan
mereka mengambil keputusan dengan risiko besar. Ilmuwan dan pakar cenderung lebih
sering mengalami bias kognitif ini dibandingkan dengan orang awam, sebab mereka
umumnya sangat yakin bahwa mereka benar.
#13 Placebo effect.
Ketika kita ‘dengan polosnya’ mempercayai bahwa sesuatu benar-benar memiliki
dampak, maka dampak itu benar-benar terjadi. Dalam pengobatan, orang yang
diberikan obat palsu biasanya mengalami dampak fisiologis yang sama dengan
orang yang diberikan obat asli.
#14 Pro-innovation bias.
Ketika para pendukung inovasi
cenderung melebih-lebihkan manfaat
dari inovasi buatannya dan meremehkan kekurangannya. Biasanya dilakukan oleh
pengembang produk teknologi, seperti orang-orang Silicon Valley.
#15 Recency.
Kecenderungan untuk lebih mementingkan informasi terbaru
dibandingkan data yang lama. Jika bursa terlihat baik pagi ini, maka para
investor cenderung berpikir bahwa bursa pun akan baik di sore hari, dan hal ini
memicu mereka membuat keputusan yang asal-asalan.
#16 Salience.
Kecenderungan untuk berfokus pada bagian paling sederhana dari seseorang
atau sebuah konsep. Misalnya: ketika kamu berpikir soal ‘sekarat’, kamu mungkin
membayangkan dirimu dianiaya oleh seekor singa. Padahal, menurut data statistik,
keadaan sekarat paling banyak ditemukan dalam kecelakaan kendaraan bermotor.
#17 Selective perception.
Membiarkan ekspektasi kita mempengaruhi cara kita mengenali dunia
ini. Hal ini tercermin dari sebuah eksperimen yang melibatkan pemain futbol
antarmahasiswa. Sebuah tim meyakini lawannya melakukan lebih banyak pelanggaran
dibandingkan dengan timnya sendiri.
#18 Stereotyping.
Sebuah ekspektasi bahwa seseorang
atau sekelompok orang memiliki kualitas tertentu tanpa benar-benar memiliki
informasi tentangnya. Hal ini menyebabkan kita menentukan mana kawan dan mana
lawan terlalu dini.
#19 Survivorship bias.
Kesalahan yang terjadi karena
berfokus hanya pada sejumlah contoh yang bertahan, sehingga kita menyalahartikan sebuah situasi.
Contohnya, kita berpikir bahwa menjadi wirausahawan itu mudah karena kita tidak
pernah mendengar ada yang gagal di antara mereka.
#20 Zero-risk bias.
Ahli sosiologi menemukan bahwa kita menyukai kepastian—meskipun kontraproduktif.
Dengan menghilangkan risiko kita yakin bahwa tidak ada celah untuk kegagalan
atau bahaya.
SUMBER: Business Insider
0 komentar