Borobudur Setelah 20 Tahun

11:15:00 am

Jadi, itu adalah sehari sebelum kami akan lari Half Marathon, dan kami menyempatkan untuk berkunjung ke Candi Borobudur.

Ngomong-ngomong ini adalah HM pertama kami, dan buatku & Marria adalah event lari luar-Bandung pertama. Sepertinya akan menyebalkan jika kami ke Yogyakarta tapi melewatkan candi legendaris ini. Jadi, ketika kami baru mendarat di tanah Yogya, kami menuju Borobudur sebagai kunjungan wisata pertama.

Hoamm.. ngantuk sekali selama di jalan, apalagi kami berangkat naik kereta api dari Jawa Barat (Bandung dan Jakarta) sekitar pk 20.00 hari sebelumnya, dan baru tiba di Yogya sekitar pk 3.30. Kami menemukan cafe ciamik bernama LOKO Coffee Shop Malioboro, dan beruntung sekali karena kami bisa tidur-tidur ayam, sebelum nantinya check in.

Selesai istirahat sekaligus makan wedang ronde, saya, Irma, dan Marria menuju penginapan kami yang super homey. Sumpah Irma sampai ngebet banget pengen dateng lagi ke penginapan itu sama temen-temen gerejanya. Lokasinya kayak di desa gitu, tapi ga jauh dari jalan raya sebenernya. Terus ya, ada kandang sapi dan ayam di halaman rumahnya. Mata memandang ke teras, kami sudah lihat hamparan sawah. Ditambah host-nya, Bu Rika, yang super baek (kita early check-in di hari pertama dan late check-out di hari terakhir tapi gak kena charge! Dan ia memastikan semua kebutuhan kita terpenuhi). Nama propertinya, catet ya: Alya Homestay.

Oke, kembali ke tour sekejap menuju Borobudur. Selesai naro tas-tas gembolan di penginapan, kita langsung cuss nyari Grab Car. Perjalanan hampir 2 jam kalo ga salah, secara candi ini letaknya tuh udah beda propinsi (di Magelang, Jawa Tengah). Kami dihibur dengan udara cukup hangat dari matahari yang baru nongol dan barisan pepohonan hijau yang mirip Lembang (tapi masih sejukan Lembang yeaa).

Sampai di candi, buset deh. Rame bener sama anak sekolahan. Ini kayaknya lagi ekstrakurikuler atau emang study tour. Pas ngantri tiket, gw mencoba ingat-ingat waktu ke Borobudur pas SD dulu. Saat itu, sekitar 20 tahun lalu, Borobudur yang terekam di otak gw bisa digambarkan dengan 2 kata: panas dan luas. Beneran sih, setelah kami turun dari mobil tuh langsung kerasa sengatan matahari yang membuat gw mesti pake pashmina ala-ala kerudung. Dan area Borobudur ini luas banget; mulai dari jalan masuk ke spot utama aja kita harus jalan kaki lagi 15 menitan. Kalau ada bajaj atau becak lebih bagus sih.

Waktu gw kecil dulu, Borobudur seakan tidak mungkin sanggup dikelilingi seluruhnya. Areanya luas banget. Tapi pas sekarang gw berkunjung, kok Borobudur menciut. Yaah, setidaknya menurut bola mata gw. Borobudur masih batu, hitam, kokoh tapi dia tidak se-raksasa kelihatannya. Mendakinya emang masih bikin gempor, tapi semua tingkat bisa dijangkau. Umur emang gak menipu, guys. Sumpah pinggul gw pegel-pegel disko sesampainya di puncak. 







Coba lihat di gambar, nampaknya si Borobudur ini magis, ya? Harusnya memang demikian, karena waktu SD dulu aku dan kawan-kawan berdecak kagum dengan raksasa ini. Tapi ketika tiba di puncak aku terkejut.

Ternyata Borobudur biasa saja.

Sebagai latar untuk berfoto manis ala artis, tekstur bebatuannya memang cantik. Tapi itu saja sudah. Mau kelilingin areanya 360 derajat? Rasanya bosan. Tengok kiri tengok kanan, yang dilihat sama saja. Sudah berkurang jauh antusiasmenya.

Sekarang coba kamu membayangkan sedang berdiri di puncak candi itu. Kamu berdiri tegap, di ketinggian, dan anggaplah tidak ada orang lain di sekitarmu. Apa yang kamu rasakan? Karena aku sudah mengalaminya, aku akan memberitahukannya. Di sana sepi, sunyi. Suara ter-cempreng sekalipun seakan bisa diserap kekuatannya oleh batu-batu yang sudah duduk di sana ribuan tahun. Tidak ada suara burung-burung yang mungkin memberikan nuansa hutan atau pegunungan. Tidak ada apapun yang memberi inspirasi.

Lebih kacau lagi karena saat kami turun ke bawah candi untuk pulang, ada rombongan baru datang dan ketua panitianya membuat polusi suara dengan toa-nya. Sungguh antiklimaks yang membuat pusing kepala.

Akhirnya kami pulang, menuju sebuah kedai alakadarnya yang menjual nasi gudeg. Pengalaman makan gudeg itu masih jauh lebih menarik daripada manjat candi. Dan Borobudur--kalau tidak butuh banget--akan kumasukkan ke blacklist destinasi saja. Haha. 

You Might Also Like

1 komentar

  1. first, selamaaaat atas medali HM nya yang pasti berharga banget
    borobudur jd blacklist? nanti dia nangis loh, susah nanti kita kasih balon nya

    ReplyDelete

CONNECT ON TWITTER

Blog Archive

connect on Pinterest